by : WINDRY RAMADHINA
Saya ingin bercerita tentang
penokohan. Seringkali, kita menemukan tokoh-tokoh yang, well, klise dalam
sebuah novel. Banyak penulis, semoga saya tidak termasuk, kesulitan
menghadirkan sebuah tokoh yang utuh, yang terasa nyata dan mampu melekat dalam
benak pembaca untuk waktu yang lama.
Seorang penulis harus mengenal
karakternya dengan mendalam. Bayangkanlah karakter-karakter kita hidup, seperti
kita. Mereka punya suara yang khas, cara berpikir, dan nilai-nilai yang
ditentukan oleh hal-hal yang mereka alami dalam hidup. Dan, semua itu akan
menentukan perbuatan mereka, seperti apa mereka bereaksi terhadap suatu
masalah, dan bagaimana mereka menyelesaikannya (atau apakah mereka memang akan
menyelesaikannya).
Kita bisa meminjam orang di
sekitar kita untuk dijadikan tokoh. Saya pernah melakukannya saat menulis
Montase. Teman-teman Rayyi (si tokoh) sesungguhnya adalah teman-teman saya di
kehidupan nyata.
Cara itu jauh lebih mudah daripada
kita menciptakan tokoh yang sama sekali baru, tetapi tidak setiap saat kita
bisa menemukan model nyata yang pas untuk cerita kita. Jadi, seringnya, kita
harus mengembangkan tokoh kita dari nol.
Ada beberapa panduan sederhana
untuk mengembangkan tokoh dalam novel. Saya telah mempraktikkan ini dan ingin
menyarankannya kepada teman-teman.
Pertama. Deskripsikan ciri fisik tokoh kita secara detail. Tinggi
dan berat badan, gaya rambut, bentuk tubuh, postur (bagaimana cara dia berdiri,
duduk, melangkah, dll), warna kulit, warna rambut, warna mata, bentuk hidung,
suara, dan seterusnya.
Catat juga apabila dia memiliki
tanda lahir, bekas luka yang tidak bisa hilang seperti bekas jahitan yang dia
dapat ketika umur tujuh tahun. Bagian tubuh mana dari dirinya sendiri yang dia
sukai, bagian mana yang dia tidak sukai. Berikan alasan.
Kedua. Deskripsikan ekspresi-ekspresi wajah dan bahasa tubuh yang
sering ditampilkan tokoh kita. Apakah dia punya gerak-gerik khusus yang menjadi
kebiasaannya, seperti mengusap-usap tengkuknya saat gugup atau mengetuk-ngetuk
lutut dengan jemari saat merasa bosan.
Samuel Hardi, misalnya. Tokoh
dalam novel terbaru saya (Last Forever) ini menghadapi seseorang dengan raut
muka datar dan dagu yang sedikit terangkat. Dia menanggapi perkataan orang itu
hanya dengan gerakan alis, atau dengan menaikkan ujung bibirnya dengan niat
mencemooh, atau melengos jika tidak ingin mendengar lebih banyak.
Haru Enomoto (Montase), senang
memanyunkan mulut dan menggembungkan salah satu pipinya saat sedang bingung.
Dia juga kerap memiringkan kepalanya ke satu sisi sambil tersenyum lebar sekali
sampai biji matanya tidak terlihat, seperti bonekan kokeshi yang lehernya
patah.
Ketiga. Deskripsikan isi lemari pakaian tokoh kita (pakaian,
sepatu, tas, aksesori). Penualis harus tahu persis apa-apa saja yang biasa
tokohnya kenakan. Apa pakaian kesukannya, sepatu kesukaannya, tas yang
dijinjingnya. Bagaimana dia bergaya dalam situasi tertentu--pesta, misalkan.
Bahkan, penulis harus tahu brand yang karakternya pakai, di mana
pakaian-pakaian itu dibeli, berapa kisaran harganya, apakah dia memang sanggup
membeli itu atau itu barang palsu. Kesan apa yang ingin ditampilkan lewat itu.
Apakah dia glamor, chic, kasual, rapi, kuno, feminim, maskulin, metroseksual,
dll.
Lana Hart (Last Forever) paling
suka memakai kemeja tanpa lengan warna biru pupus dan putih, dipadukan dengan
celana safari krem yang pendek dan sepatu bot semata kaki. Rambutnya dikucir
kuda. Dia selalu membawa-bawa koper kecil berbahan kulit yang penuh stiker
perjalanan dan ras kamera tua. Penampilannya memberi kesan dewasa, santai,
tetapi tetap menarik.
Keempat. Deskripsikan properti apa saja yang dimiliki tokoh kita.
Apakah dia punya rumah atau mengontrak atau menumpang? Di mana? Bagaimana dia
mendapatkannya? Seperti apa tempat yang dia tinggali, seluas apa, bagaimana
lingkungan dan tetangganya. Apa dia punya kendaraan? Motor, mobil, atau sepeda?
Apa tipe, warna, dan brand kendaraan itu (atau malah kalau bisa keluaran tahun
berapa)? Apa dia punya aset seperti perusahaan, tanah, emas, dll.
Di Last Forever, Lana digambarkan
memiliki apartemen di Washington, tidak jauh dari kantor pusat National
Geographic, tempat dia bekerja. Apartemennya berantakan, penuh barang-barang
yang dia dapatkan dari hasil perjalanannya ke kota-kota terpencil di pelosok
dunia: tembikar, kain bercorak tradisional, pipa isap Indian, dll. Hanya
dapurnya yang rapi karena dia jarang menggunakan ruangan itu.
Sementara itu, Samuel tinggal
dalam rumah luas yang bernuansa modern dan nyaris monokrom (didominasi warna
hitam dan abu-abu). Satu-satunya warna adalah cokelat dari sofa kulit dan
lantai kayu. Perabot-perabotnya didesain secara khusus dan ditata sedemikian
rupa agar apik. Dia memiliki kolam renang dan perpustakaan film. Ruang duduknya
dihiasi kamera-kamera tua yang dia gunakan di awal karier.
Samuel seorang sineas dokumenter.
Dia membangun studio film sendiri bernama Hardi saat usianya masih dua puluh
empat tahun. Studionya bekerja sama dengan National Geographic. Letaknya di
Cilandak, tidak jauh dari rumahnya.
Kelima. Deskripsikan barang-barang yang dimiliki tokoh kita,
termasuk benda-benda kenangan yang dia simpan secara khusus. Dalam Memori,
novel saya yang lain, Simon memiliki sketsa usang yang mempertemukan dia dengan
Mahoni. Dalam Orange, Faye memiliki kamera kesayangan Nikon F5, Diyan memiliki
ponsel berisi nomer telepon Rera dan kumpulan foto Paris di kamarnya. Dalam
Metropolis, Johan memiliki banyak CD Nouvelle Vague.
Keenam. Deskripsikan ketertarikan dan hobi tokoh kita. Apakah dia
penggila fotografi, penyuka acara dokumenter Mega Structures, atau penggemar
Frank O Gehry. Apa musik, film, buku, makanan, minuman kesukaannya? Apakah dia
memilih Jazz atau Rock? Ethan Hawk atau Brad Pitt? Film roman atau komedi? Junkfood atau salad? Kopi atau teh? Jus
atau soda? Apa yang dia lakukan di waktu luang? Apa hobinya? Apakah dia punya
hobi yang kini telah dia tinggalkan? Banyak sekali yang bisa kita gali dalam
hal ini.
Gilang (London: Angel), penggila
buku. Dia juga penulis. Idolanya adalah F. Scott Fitzgerald. Dia sampai
menamakan situsnya Fitzgerald dan Sebotol Wiski. Dia juga memasang foto F.
Scott Fitzgerald di profil Facebook kepunyaannya. Terkadang, pada Hari Sabtu,
dia berkumpul dengan teman-temannya di sebuah pub bernama Bureau. Mereka akan
minum Jack Daniel’s sepuasnya selama dua jam.
Ketujuh. Deskripsikan sifat dan kepribadian tokoh kita. Melankolis,
plegmatis, koleris, atau sanguinis? Introvert atau extrovert? Pemalu atau
pandai bergaul? Senang bercanda atau serius? Cermat atau ceroboh? Penakut atau
pemberani? Feminim atau tomboi? Cerewet atau pendiam? Cuek atau sensitif?
Pemarah atau sabar?
Di Last Forever, Samuel melankolis
dan koleris, Lana sangunis dan koleris. Samuel penuh perhitungan dan selalu
merencanakan sesuatu. Lana justru spontan. Dia menyukai kejutan. Samuel
penggerutu. Lana jail dan senang memancing kemarahan Samuel. Tetapi, keduanya
ekspresif dalam menunjukkan ketertarikan satu sama lain.
Sediakan waktu yang cukup banyak
untuk mendalami kepribadiannya. Ini hal penting yang akan berpengaruh kepada
tingkah lakunya, keputusan yang dia ambil, tindakannya, dan ujung-ujungnya
jalan cerita. Karena, saya percaya, karakter lah yang menentukan arah cerita
kita. Bukan penulis. Konflik semata-mata adalah perbenturan karakter dengan
karakter, kepentingan dengan kepentingan.
Terakhir. Ceritakan perjalanan hidup tokoh kita sebanyak beberapa
halaman, dari dia lahir hingga titik yang diinginkan dalam kisah. Fokus kepada
hal-hal penting yang dia alami, yang menentukan arah hidupnya.
Itu adalah delapan poin yang
selalu saya gali untuk tokoh-tokoh novel saya. Biasanya, saya menggunakan
sebuah buku tulis khusus untuk pendalaman karakter tokoh-tokoh tersebut dan
menyertakan sketsa wajah dan tubuh.
Barangkali tidak semua informasi
di atas akan terpakai dalam novel, tetapi percaya kepada saya, semua itu tidak
akan sia-sia. Semakin banyak informasi yang kita miliki, semakin kuat tokoh
dalam novel kita. Kita pun akan memiliki keterkaitan emosi dengannya.
Pesan dalam novel kita bisa
tersampaikan apabila pembaca memiliki empati kepada tokoh kita. Seperti Johan.
Dia jelas-jelas tokoh antagonis, tetapi kebanyakan pembaca Metropolis justru
terpikat kepadanya dan sedih ketika tokoh itu berakhir dengan tragis. Dan,
empati diawali dari kedekatan antara pembaca dengan tokoh.
Penting juga untuk memilih tokoh
yang tepat. Tokoh tertentu hanya cocok untuk konflik tertentu. Saya sendiri
selalu memulai dari konflik, lalu semua elemen dalam novel dikembangkan dari
hal tersebut. Untuk itu, kita harus mahir menganalisis dan konsisten.
Nah, selamat mencoba. Ayo, buat
tokoh-tokohmu utuh dan kuat!
Biodata Pemateri :
WINDRY RAMADHINA lahir dan tinggal di Jakarta;
pencinta hujan dan masa lalu; senang berjalan tanpa payung di bawah gerimis;
berharap bisa terlempar ke Batavia abad kesembilan belas.
Ia menulis fiksi sejak 2007; pernah mengikuti Bengkel
Penulisan Novel DKJ dan dua kali dinominasikan dalam Khatulistiwa Literary
Award.
Buku-bukunya yang telah terbit adalah Orange (2008),
Metropolis (2009), Memori (2012), Montase (2012), London (2013), Interlude
(2014), Walking After You (2014), dan Last Forever (2015).
Windry bisa dihubungi lewat e-mail
windry.ramadhina@yahoo.com atau blog www.windryramadhina.com
**
Sesi Diskusi
Pertanyaan
dari Atria Dewi Sartika :
Mendeskripsikan tokoh kadang sulit
terutama menggambarkan fisiknya. Seperti menyebutkan bahwa tokoh "memiliki
mata yang tajam terkesan dingub" apa deskripsi semacam itu cukup? Bagaimana
deskripsi yg pas yg tetap membuat pembaca memiliki ruang untuk berimajinasi
Jawaban :
Penulis punya pilihan dalam
mendeskripsikan ciri fisik seorang tokoh, secara detail atau tidak. Tergantung
apakah kita ingin pembaca memiliki gambaran yang persis sama dengan kita
mengenai tokoh tersebut.
Supaya asyik dibaca, deskripsi
fisik bisa disisipkan dalam adegan, atau--misalnya--melalui pengamatan tokoh
lain. Libatkan juga subjektifitas pengamat.
Jika tidak ingin terlalu detail,
penulis bisa menggunakan perumpamaan. Contoh (dalam novel London): Dia lelaki
blasteran Indonesia-Eropa usia tiga puluhan tahun berambut klimis dan berkumis
Prancis. Dagunya runcing dan senyumnya yang mengandung muslihat mengingatkan
aku pada topeng Guy Fawkes yang dikenakan Hugo Weaving dalam “V for Vendetta”.
Pertanyaan Atria
Dewi Sartika :
Hm.. Apakah etis menggambarkan ya
menyerupai artis tertentu?
Jawab :
Boleh-boleh saja. Tidak ada
masalah dengan hal itu. Tetapi, menurut saya teknik itu paling cocok untuk penceritaan
dengan sudut pandang pertama. karena si Aku memiliki referensi-referensi yang
subjektif. Di dunia nyata, kita sendiri kerap membandingkan ciri fisik
seseorang dengan orang lain (salah satunya, tokoh terkenal).
Pertanyaan
dari Hairi Yanti :
Berapa lama waktu yang diperlukan
untuk membuat deskripsi karakter sedetail itu? Dalam menulis satu novel, apa
hal pertama yang dilakukan mb Windry? Menentukan tema kah? Atau konflik? Atau
karakter? Atau semuanya secara bersamaan?
Tentang pemilihan nama, Bagaimana
mb Windry menentukan nama tokoh dalam novel2 Mbak Windry? Apakah nama bisa
berpengaruh terhadap karakter tokoh tersebut?
Jawab :
Waktu yang saya gunakan untuk
mengembangkan karakter biasanya sekitar satu bulan. Pernah juga lebih lama dari
itu, untuk karakter-karakter yang sulit saya pahami jalan pikirannya atau yang
latar belakangnya tidak familier. Biasanya saya menggunakan notes khusus.
Pertama, saya akan menggambar sosok si tokoh, lalu mendeskripsikan sedetail
yang saya bisa, lalu berlanjut ke poin-poin lain yang sudah saya sebutkan di
artikel.
Seringnya, saya memulai
perencanaan novel dari konflik. Berdasarkan konflik, baru saya membentuk
elemen-elemen lainnya. Konflik yang nanti akan menentukan tokoh-tokoh yang akan
terlibat, set tempat dan waktu, adegan-adegan, alur, dll. Pernah juga saya
memulai dari tema (novel Memori). Tema yang dipilih adalah rumah. Lalu, saya
mengeksplorasi tema itu untuk menemukan konflik apa yang bisa diangkat.
Cara saya memilih nama
macam-macam. Salah satunya, dengan menentukan arti nama yang saya inginkan.
Misalnya, dalam novel Interlude, saya mencari nama lelaki yang berarti “laut”
untuk memberi hubungan emosi dengan tokoh perempuannya. Pernah saya memilih
nama-nama kayu untuk tokoh-tokoh dalam novel Memori.
Nama tokoh juga bisa dipengaruhi
latar belakang keluarganya. Seperti Lana Lituhayu Hart. Dia perempuan blasteran
Indonesia-Amerika. Ibunya berdarah Jawa. Ayahnya dari New York. Nama Lituhayu
itu sendiri berarti “cantik”, imaji yang memang saya inginkan melekat dalam
diri Lana.
Penulis bisa menentukan nama
sesuai karakter tokoh juga. Atau, coba berpikir sebaliknya. Seringnya, nama
adalah doa orangtua. Penulis bisa berpikir seperti orangtua si tokoh. Bagaimana
kira-kira orangtua tokoh itu memberi nama anaknya?
Pertanyaan
dari Irhayati Harun :
Bagaimana cara menuliskan cara
bercerita tiap tokoh? karena setiap tokoh pasti berbeda dalam berkata kata.
Tapi saya sering membaca novel dimana dialog tiap tokoh dan gayanya hampir
mirip. Apakah dalam cerita harus ada tokoh antagonis? dan berapa besar porsinya
bila harus ada dalam novel?
Jawab :
Cara bercerita tokoh lahir dari
karakter. Latar belakang tokoh sangat berpengaruh. Usianya, pendidikannya,
lingkungan tempat dia dibesarkan atau tinggal, orang-orang yang bersama
dengannya, sifatnya, dll. Tokoh-tokoh yang berada dalam satu lingkungan bisa
memiliki kesamaan kosa kata. Karena, komunitas cenderung membentuk sesuatu yang
homogen. Tetapi, biasanya akan tetap muncul perbedaan walau tidak langsung
kentara jika masing-masing tokoh memiliki sifat berbeda. Misalnya, ada yang
berbicara secara runut, ada yang berbicara tidak terarah, ada yang
meletup-letup, ada yang tenang dan sinis, dll.
Saya sudah lama tidak terpaku pada
panduan protagonis-antagonis. Buat saya, konflik adalah benturan kepentingan
antara tokoh dengan tokoh atau tokoh dengan situasi. Tanpa perlu membuat tokoh
baik dan buruk, jika dua karakter tidak sejalan, dengan sendirinya akan muncul
cerita. Dan, saya lebih suka meletakkan tokoh-tokoh saya dalam lingkungan
abu-abu. Buat saya, mereka sama seperti kita, punya sisi buruk dan baik.
Kalaupun pada akhirnya, harus ada
protagonis dan antagonis... tantangan penulis adalah menciptakan protagonis
yang bisa membuat pembaca mempertanyakan keputusan-keputusannnya dan
menciptakan antagonis yang bisa mencuri simpati pembaca.
Pertanyaan
dari Shirei Shou :
Saya bingung sama "bagaimana
cara dia berdiri, duduk, melangkah, dll"
Ada contohnya? Saya enggak terpikir bagaimana
mendiskripsikan cara duduk dan langkah seseorang. Atau memang sengaja dibuat
yang 'khas' ?[yang terpikir hanya jalan lurus seperti biasa, tegak dan
langkahnya lebar-lebar].
Jawab :
Banyak yang bisa dieksplorasi dari
gerak-gerik. Gerak-gerik atau bahasa tubuh lahir dari jiwa dan karakter tokoh.
Jika tokoh itu angkuh dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi, misalnya, dia
akan berjalan dengan langkah tegas, tenang, dada dibusungkan, dagu sedikit
diangkat, sesekali mengerling ke arah sekitar. Mungkin dia akan melipat kedua
tangannya di depan dada saat mendengarkan orang lain berbicara, atau dia tidak
perlu melihat mata orang itu. Atau, bisa bentuk yang lain. Cobalah menganalisis
tokoh tipe ini.
Jika tokoh itu memiliki masa lalu
yang buruk dan pernah menjadi korban kekerasan, bisa jadi dia akan cenderung
menciutkan tubuhnya. Dia akan sulit membiarkan tangannya bergelantung bebas di
kedua sisi tubuh. Karena, dia lebih suka menggunakan tangannya untuk
menyembunyikan dirinya, dengan mendekap tasnya mungkin. Dan, dia akan sering
menunduk dalam-dalam. Jika melewati orang banyak, dia akan mempercepat langkah,
mungkin. Dia duduk menjaga jarak dari orang lain. Dia tersentak hanya karena
sesorang yang berada di sebelahnya mengangkat tangan.
Kurang lebih, seperti itu
contohnya.
Pertanyaan
dari Dian Nafi :
Masih suka ngedesain arsitektur
nggak? Gimana membagi waktunya? Terima kasih
Jawab :
Saya masih menjalankan studio
desain sampai sekarang (jendelaputih.com). Khusus untuk menulis, saya
melakukannya pagi hari, sebelum beraktivitas. Tidak lama, hanya satu-dua jam.
Tapi sebisa mungkin rutin setiap hari.
Pertanyaan
dari Anne Adzkia Indriani :
Banyak novel yang sudah saya baca
dan ada yang menarik tentang karakter ini. Mbak Windry konsisten membawa
karakter tersebut dari awal sampai akhir hingga seringkali masih membekas di
ingatan saya meski sudah selesai membaca buku. Bagaimana menjaga konsistensi
karakter tersebut, supaya tidak saling memengaruhi?
Berapa lama mbak Windry
menyelesaikan satu novel, krn menurut saya lamanya menulis berpengaruh pada
konsistensi juga, penulis tidak lupa atau kehilangan feelnya? Apakah saat
menulis novel mbak Windry menyambi dengan menulis yang lain atau fokus menulis
satu novel sampai selesai?
Jawab :
Sebagai penulis, saya berusaha
memahami semua tokoh, termasuk yang peranannya kecil. Dengan begitu, saya
berharap bisa selalu menghadirkan mereka sebagai diri mereka secara konsisten.
Konsistensi ini harus dicek secara berkala, mulai dari proses penulisan sampai
editing, agar tokoh tidak keluar dari karakter mereka.
Lama penulis novel saya
bermacam-macam, sih. Dari yang tercepat, Montase, tiga bulan. Sampai yang
terlama, Walking After You, dua tahun. Tergantung kerumitan cerita. Biasanya,
saya menulis satu novel dalam satu waktu agar tetap fokus dan maksimal. Saya
jarang menulis novel-novel bersamaan, kecuali memang butuh melakukan itu. Saat
menulis Memori, saya sengaja menyambi menulis Montase untuk memastikan dua
suara pencerita di dua novel itu berbeda. Tetapi, hanya satu kali itu saja.
Pertanyaan
dari Naqiyyah Syam :
Kalau riset soal profesi tokoh
diluar yang mbk kuasai, bagaimana caranya, mbk? Apakah nanya ke teman dg profesi
yang ditulis atau cari tau di internet aja? Lalu, apa aja bacaan pendamping mbak
dalam menulis novel yang sedang digarap? terima kasih
Jawab :
Saat saya menulis novel dengan
tokoh yang profesinya tidak familier, saya harus riset. Bentuk risetnya macam-macam.
Yang paling mudah memang lewat internet. Tetapi, untuk memahami gaya hidup,
pola pikir, filosofi, dan karakter, penulis perlu melakukan pengamatan dan
wawancara langsung. Kalau memang memungkinkan, saya mencari narasumber dan
meminta waktu untuk bertemu. Hasilnya akan jauh lebih solid kalau dibandingkan
dengan riset melalui internet.
Saat ini, saya sedang membaca
buku-buku yang berhubungan dengan seni keramik. Saya juga menemui beberapa
seniman, terutama seniman keramik yang karyanya menurut saya mewakili tokoh
dalam novel saya.
Pertanyaan
dari Ade Delina Putri :
Idealnya dalam cerita fiksi aka
novel harus berapa tokoh yang diciptakan? Sebab saya pernah membaca sebuah
novel lokal yang tokohnya sangat banyak. Dan itu semua digambarkan secara
jelas. Hal itu justru membosankan bagi saya, bahkan saya tidak ingat
watak" tokohnya karena saking banyaknya.
Yang kedua, riset seperti apa yang
dilakukan mbak Windry hingga setiap novel yang mbak tulis selalu jelas da n
detail sampai pembaca bisa turut hanyut dalam ceritanya.
Jawab :
Tidak ada aturan baku mengenai
jumlah tokoh dalam sebuah novel. Novel dengan tokoh yang banyak bisa bagus,
sama halnya dengan novel dengan tokoh yang sedikit. Bukan masalah banyak atau
sedikit. Tetapi, lebih ke masalah komposisi.
Yang perlu dipahami adalah tokoh
dalam novel memiliki tingkat peranan. Ada yang utama, ada yang sifatnya
pendamping, ada yang—sebut saja—penggembira. Penulis harus mahir-mahir mengatur
komposisi tokoh dalam novelnya. Informasi dan keutuhan tokoh harus sesuai
dengan peranan. Jangan biarkan mereka berebut perhatian.
Dan, jangan sampai keberadaan
tokoh-tokoh itu diada-adakan. Pastikan tokoh-tokoh itu memang dibutuhkan dan
keberadaannya tidak bisa digantikan. Jika tokoh itu hilang dan cerita tetap
berjalan seperti semula, berarti keberadaannya tidak penting.
Mengenai riset, saya melakukan
sebanyak yang saya bisa. Dari buku, internet, wawancara, sampai pengamatan.
Selama saya masih membutuhkan informasi untuk menulis, pasti saya akan tetap
melakukan riset. Terkadang, proses riset ini berjalan bersamaan dengan proses
menulis.
Pertanyaan
dari Binta Almamba :
Di beberapa novel (kadang baca
draf tulisan sendiri :D) kadang sy mrasa suka bosan sendiri klo baca novel deskripsi
tokoh trlalu detil gitu... Hmm gimana caranya deskripsi detil dan terkesan
hidup tp nggak membosankan?
Jawab :
Cara paling mudah, sisipkan
deskripsi dalam adegan. Misalnya, si tokoh lagi malas-malasan di kamar, lalu
tiba-tiba gadis yang disukainya mengajak video-conference. Pastinya si tokoh
antara senang dan tegang. Lalu, dia memeriksa penampilannya. Penulis bisa
memberikan deskripsi di bagian ini. Hasilnya akan lebih dimanis. Masukkan
subjektivitas dan kaitan emosi, agar semakin hidup.
Si tokoh jengkel saat menyadari
jenggotnya belum dicukur, rambutnya berantakan dan sedang sulit diatur, warna
kausnya tidak jelas. Buat juga si tokoh kalang kabut karena ternyata di lemari
pakaiannya tidak ada baju bersih, misalnya. Lemari pakaiannya seperti rak toko
setelah obral besar. Si tokoh meringis menemukan tumpukan baju kotor di sudut
kamar yang lupa dibawa ke penatu. Dari rangkaian sederhana ini, penulis sudah
bisa memasukkan banyak info secara "halus" untuk pembaca. Dari ciri
fisik tokoh, sifat, kebiasaannya, sampai situasi kamarnya.
Pertanyaan
dari Shirei Shou :
Saya pernah mendapatkan masukan
tentang novel saya di wattpad. Katanya "Tokoh yang saya buat terlalu
komikal."
Saat saya tanya komikal itu
seperti apa? Hanya dijawab "Ya seperti tokohmu itu."
Trus saya bingung jadinya. Lalu
bagaimana supaya tidak ada kesan komik di dalam novel saya. Apa kesukaan saya
terhadap komik memengaruhi cara saya merancang tokoh?
Jawab :
Semua hal yang kita baca pastinya
akan berpengaruh terhadap kreativitas kita. Tokoh-tokoh komik seringkali tidak
dekat dengan kenyataan dan memiliki gerak-gerik yang berlebihan. Untuk
melepaskan diri dari tokoh-tokoh yang cenderung komikal, saran saya, setop
membaca komik dulu. Atau, paling tidak, kurangi secara drastis. Ganti bacaanmu.
Pilih yang genrenya berbeda jauh dengan komik, seperti novel sastra yang
cenderung realis dan membumi. Kalau bisa, baca sebanyak mungkin genre. Dengan
begini, pengetahuan kamu mengenai ragam tokoh akan berkembang, tidak melulu
komikal.
Pertanyaan
dari Linda Satibi :
1. Bagaimana cara menjaga chemistry dgn tokoh2
ciptaan kita?
2. Apakah pernah mengalami, dlm proses penulisan
novel, karakter tokoh menuntun pd ending yg berbeda dgn outline yg tlh dibuat?
3. Ini tdk terkait langsung dgn materi. Tapi sbg fans
Windry, saya pingin tau jg, buku yg paling larisnya brapa kali cetak ulang?
Jawab :
Untuk pertanyaan pertama, sebelum
menjawab, saya perlu memperjelas dulu: apakah yang dimaksud adalah hubungan
penulis dengan tokoh atau hubungan antartokoh yang dibuat penulis?
Untuk pertanyaan kedua, dalam
penulisan novel, karakter saya jarang berselisih dengan outline, termasuk
membelokkan akhir cerita. Karena, seringnya, saat saya menyusun outline
(plotting), ide cerita dan penokohan sudah dibuat utuh. Pastinya ada tarik-ulur
saat pengembangan ide cerita dan penokohan. Penulis tidak bisa memaksakan
cerita ke tokoh. Tetapi, penulis bisa menganalisis, bagaimana cerita bergulir
jika dia memakai tokoh tersebut. Karena itu, penting untuk memilih tokoh yang
tepat dan sesuai dengan ide yang ingin disampaikan.
Untuk pertanyaan ketiga, Montase
dan London. Jumlah cetaknya, saya tidak terlalu hafal.
Pertanyaan
dari Linda Satibi :
Pertanyaan pertama itu, antara penulis dan tokohnya.
Jawab :
Biasanya, saya berusaha memahami
dan jatuh hati kepada tokoh-tokoh saya. Semua tokoh, tidak hanya tokoh utama.
Dengan begitu, saya punya keterkaitan dengan tokoh tersebut. Saya mudah
berempati kepadanya dan proses penulisannya pun menjadi menyenangkan. Di awal
penokohan pun, saya selalu memilih tokoh-tokoh dengan karakter yang saya sukai.
Percuma memaksakan diri berhubungan dengan tokoh yang karakternya kita benci.
Pertanyaan
dari Dwi Aprilytanti Handayani :
Mbak Windry Ramadhina kalau
misalnya ide cerita terinspirasi dari kisah nyata teman dekat apakah perlu
meminta izin. Dan bagaimana tanggapan mbak Windry jika tema tersebut merasa
keberatan dengan penokohan meski sebelumnya telah memberikan izin.
Jawab :
Saya akan lebih leluasa menulis
novel yang idenya diambil dari pengalaman teman jika sudah mendapat izin dari
yang bersangkutan. Tentunya, saat mendapat izin, kita perlu memperjelas sejauh
mana kita boleh mengembangkan ceritanya. Kita perlu memberi tahu yang
bersangkutan, sejauh mana kita akan mengekspos cerita tersebut atau apakah kita
akan mengubah cerita. Jadi, proses penulisan bisa berjalan lancar dan tidak ada
yang merasa dirugikan.
Pertanyaan
dari Ratna Hana Matsura :
1. Bagaimana menghidupkan karakter dari percakapan si
tokoh, Mbak?
2. Kadang dalam menulis hampir usaha dilakuan,
membuat daftar ciri-ciri fisik tokoh, kebiasaan dan sikap tokoh. Tapi entah
kenapa tokoh masih terasa belum kuat dan terkesan hanya masih suka terpengaruh
atau saling tindih dengan tokoh lain. Itu bagiamana mengatasinya?
Jawab :
Untuk menghidupkan karakter tokoh
lewat perkataannya, masukkan kepribadiannya ke dialog dan ke caranya
mengucapkan dialog. Setiap tokoh punya gaya dan kata-kata sendiri. Perhatikan
saja orang-orang di sekeliling kita. Bagaimana mereka menyapa kita pasti
berbeda-beda. Bagaimana mereka menanggapi suatu masalah juga berbeda. Ada yang
bersemangat. Ada yang tidak peduli. Ada yang memilih diam. Ada yang optimis.
Ada yang pesimis.
Jika karakter tokoh belum
tercermin dalam tulisan, barangkali penulis belum cukup detail mengembangkan
tokoh itu. Tokoh tidak utuh. Penulis tidak punya cukup banyak informasi untuk
dimasukkan ke dalam adegan, dialog, deskripsi. Atau, bisa jadi, penulis bahkan
tidak cukup memahami kepribadian tokoh itu. Maka, dia hanya bisa menampilkan
tokohnya secara umum.
Cara mengatasinya, penulis harus
kembali ke penokohan. Gali informasi lagi dari si tokoh, kembangkan dia sampai
utuh dan terasa nyata. Penulis juga harus taktis dalam mengatur komposisi
tokoh-tokoh di novelnya. Jangan memakai tokoh-tokoh dengan karakter yang mirip.
Pilih yang berbeda jauh, atau kalau perlu bertolak belakang.
Pertanyaan
dari Leilaneranti Arsyana :
Bagaimana cara paling sederhana
mengatur emosi pribadi penulis, agar tidak ikut mempengaruhi pandangan/cara
bertindak tokoh dalam naskah?
Jawab :
Jika mengenal karakter tokoh kita
dengan baik, kita bisa membedakannya dengan karakter diri kita sendiri.
Sehingga kita bisa memastikan apakah emosi, tindakan, dialog yang kita tulis
merupakan milik kita atau milik tokoh. Untuk menjaga kepribadian kita dengan
tokoh tidak bercampur, usahakan untuk berkonsentrasi saat menulis. Kita harus
sadar betul bahwa kita sedang "menjadi" si tokoh. Sesekali, kita
perlu memeriksa apakah emosi itu sudah sesuai dengan tokoh. Berlatih seni peran
bisa membantu kita terbiasa "menjadi" seseorang yang bukan diri kita.
Pertanyaan
dari Eni Lestari :
Gimana cara bikin tokoh yg
manusiawi? soalnya pernah bikin cerita katanya tokohnya too good to be true. apa harus tokoh yg kita ciptakan dikasih
'cela', jadi keliatan manusiawi? makasih jawabannya
Jawab :
Tokoh yang manusiawi ya harus
seperti manusia. Dan, pada dasarnya, manusia tidak sempurna. Punya kelebihan
dan kekurangan. Saya paling senang menghadirkan tokoh yang tidak sempurna, yang
bisa membuat kita jengkel, gemas, kecewa, atau bahkanmarah. Kelemahan-kelemahan
itulah yang bisa menimbulkan konflik, yang lantas kita olah dalam cerita, lalu
di sepanjang kisah tokoh kita akan berkembang perlahan-lahan menjadi seseorang
yang lebih baik, yang berhasil keluar dari keburukan-keburukannya, sehingga
pembaca tersenyum di lembar terakhir. Lagi pula, ada yang manis dalam
kelemahan, ada yang membuat kita sayang. Cobalah untuk memandang kelemahan
sebagai sesuatu yang bisa menghubungkan tokoh kita dengan pembaca.
Pertanyaan
dari Annisa Azzahra :
1. Bagaimana menjaga agar penokohan tetap konsisten
dari awal cerita hingga akhir? Pada cerpen yang alurnya pendek saja kadang saya
suka kurang konsisten dalam memberikan penokohan, apalagi dalam penulisan novel
yang jelas alur lebih panjang dan bisa melebar.
2. Tips dan trik apa yang dipakai Kakak dalam menguatkan
penokohan pada setiap tokoh sehingga banyaknya tokoh di satu atau lebih buku
jarang atau tidak ada sama sekali karakter yang sama?
3. Bagaimana cara agar kita lebih peka pada sekitar,
sehingga penokohan yang kita buat akan benar-benar hidup dan kuat?
Jawab :
Agar konsisten dalam penokohan di
sepanjang proses penulisan, kita harus disiplin dan setia pada panduan yang
telah kita buat sebelumnya. Sebelum menulis, saya selalu merancang setiap
elemen (termasuk tokoh). Rancangan ini adalah panduan. Semakin detail rancangan
kita, semakin mudah kita mengikutinya.
Sebagian besar trik sudah saya
sebutkan di artikel. Saya mengembangkan semua tokoh saya dengan cara tersebut.
Dengan menciptakan detail-detail, kita bisa lebih mudah membedakan karakter
yang satu dengan yang lain. Kita diarahkan untuk menciptakan perbedaan
tersebut. Tokoh-tokoh kita pun bisa lebih beragam.
Biasakan diri untuk mengobservasi
dan menganalisis orang-orang di sekitar kita. Setiap gerakan, kata-kata,
perbuatan, pemikiran seseorang memiliki dasar dan alasan. Semua itu ditentukan
oleh kepribadian, latar belakang, ideologi, dll. Lama kelamaan kita akan
memahaminya dan mahir melihat sesuatu di balik perilaku seseorang.
Pertanyaan
dari Djuni Yadi :
Bolehkah kita buat dulu kerangkanya ato sinopsisnya
dulu agar nanti novel yang kita buat lebih terstruktur?Mengingat saya orangnya
moody banget, trus penokohan itu xbisa berubah karakter di tengah cerita?
Berapa waktu yang baik dalam menulis novel, saya coba buat gak pernah sampe
selesai, kadang malah jadi males meneruskan, kadang sampe hilang filenya
Jawab :
Begini biasanya proses perencanaan
novel saya.
Pertama, saya menentukan konflik, lalu mengembangkannya menjadi
sinopsis singkat dengan memusatkan pada apa yang mengawali cerita, apa yang
menjadi masalah, dan bagaimana penyelesaiannya.
Lalu, saya menentukan (biasanya
lewat analisis) tokoh yang pas untuk cerita dan mengembangkannya. (Dalam waktu
yang bersamaan, saya menentukan pula set waktu dan lokasi). Setelah itu, saya
kembali ke sinopsis, memeriksa apakah tokoh dan cerita sudah sesuai, apakah
hubungan sebab-akibatnya telah tepat. Karena, cerita dijalankan oleh tokoh.
Penulis bisa menganalisis bagaimana jalan cerita yang bisa terjadi pada tokoh
tertentu, tetapi tidak bisa memaksakannya.
Setelah penokohan dan pengembangan
cerita beres, baru saya masuk ke plotting (pembuatan outline). Di sini, saya
memikirkan cerita secara lebih detail, mengatur alur, pembagian bab, adegan,
dan bagaimana memberikan informasi-informasi dalam cerita kepada pembaca secara
bertahap.
Lama waktu pembuatan novel tidak
bisa ditentukan. Itu tergantung ide kita. Ada yang menulis novel hanya dalam
satu bulan, ada yang butuh belasan tahun. Tidak masalah. Yang penting selesai
grin emoticon. Agar hubungan kita dengan novel tidak terputus, jangan
meninggalkannya untuk waktu yang lama. Tetap bersentuhan dengan naskah
(walaupun sekadar membaca yang telah kita tulis) akan menjaga rasa kita
terhadap naskah tersebut.
Pertanyaan
dari Eni Martini :
Buku apa yang menjadi favoritmu,
Win? Setidaknya yang sangat mempengaruhi karyamu? Kedua sepenting apa adegan
mesra secara fisik ada dalam novel roman? Ketiga. Bagaimana kamu mendapat
segala deskrip mulai lokasi,dll di novelmu dengan begituuu detil?
Jawab :
Buku-buku yang paling berpengaruh
terhadap tulisanku barangkali adalah karya-karya Ichikawa Takuji (Be With You)
dan Naoki Urasawa (Monster, 20th Century Boys). Apa yang ingin kuceritakan,
bagaimana menceritakannya, seperti apa nuansanya, siapa tokoh-tokohnya, dll.
Mengenai interaksi fisik dalam
novel romance, kurasa ini sangat tergantung dari nuansa cerita yang ingin
diangkat si penulis sendiri. Setiap penulis punya preferensi dan batasan
masing-masing. Yang penting bukan seintim apa interaksi fisik itu, melainkan
apakah interaksi itu bisa menghubungkan emosi para tokoh, apakah interaksi itu
memiliki arti yang dalam.
Interaksi yang tidak melibatkan
fisik pun bisa melakukan tugas yang sama. Kata-kata, misalnya. Jadi, itu
kembali kepada si penulis.
Pertanyaan
dari Endang Indri Astuti :
Mau tanya mengkarakterkan tokoh
lebih mudah dengan narasi atau dialog?
Jawab :
Keduanya. Lewat narasi, kita bisa
menggambarkan perilaku tokoh, gerak-geriknya, latar belakangnya, dunianya.
Lewat dialog, kita bisa mengekspresikan perasaan tokoh, pemikirannya,
ideologinya, nilai-nilai yang dianutnya.
*end*
Gimana cara gabung menjadi anggota Be a Writter ?? mohon informasinya, terima kasih :) Magfirahnirma@gmail.com
ReplyDeletetips nya bisa buat jadi bahan pertimbangan agar semua org bisa jadi seorang penulis novel.. mantabbbbbb
ReplyDeletesalam kenal dari Dua Backpacker , backpackernya sih masih 1, yang satu lagi masih dalam proses pencarian :)
ReplyDeletewww.duabackpacker.com
Dulu pas SMA sering ikut lomba ceprn fiksi mbak... tapi karena gak pernah menang jadi ya.. aku mundur aja dari percerpenan dan menjadi content writer seperti ini ^^ makasih mbak tipsnya.. saya sukaaa...
ReplyDeleteSaya suka sekali menulis, tetapi kadang suka bingung kalo lagi menentukan karakter tokoh. Lewat artikel ini, saya jadi sedikit banyak tahu cara mengatasinya. Terimakasih :)
ReplyDeleteDuuh... komplit banget! Terimakasih ilmunya yaa..:)
ReplyDeletegaya penulisannya cakep dah. sy senang bacanya..
ReplyDeleteKerajinan Besi
ReplyDeleteFurniture Besi
Kusi Sofa Besi
Kaligrafi Jepara
Furniture Rotan Sintetis
Furniture Rotan Sintetis
Jual Furniture RotanKerajinan Besi
Kerajinan Besi
Kusi Sofa Besi
Kaligrafi Jepara
Furniture Rotan Sintetis
Furniture Indonesia
Jual Furniture Rotan
rumah murah sidoarjo perumahan murah yang terletak di sidoarjo, letaknya sangat strategis
ReplyDeleteTerima kasih ilmunya, Kak. Sangat bermanfaat dan membantu saya dalam belajar menulis.
ReplyDelete