Kita
adalah sepasang rindu
Yang
bercakap dalam diam
Berkirim
puisi lewat pikiran
Dan
bertukar kabar melalui kenangan
~Syifa Dhani~
Cinta pertama?
Mmm… siapa ya yang
kujatuhi cinta pertamaku? Aneh juga kenapa aku bisa lupa? Mungkin karena aku
terlalu cuek dan tomboy saat masih kecil? Mungkin juga karena hidupku kerepotan
didominasi oleh dua sahabat laki-laki, yang bisa jadi mereka adalah cinta
pertamaku…
Ah, bukan! Masa
Dimas atau Meidi? Impossible!
Oke, coba kuurut
panjang kebelakang kehidupanku, sekitar lima belas tahun yang lalu, dalam
masa-masa reformasi negara ini. Aku baru pakai seragam putih biru,
“Araaaa… sepedahan
yuuuk!”
Suara Dimas
membuatku terlonjak melempar komik, Lalu mengenakan celana training dan
menguncir rambutku ala ekor kuda.
Di depan rumah
sudah terparkir dua sepeda berwarna hitam kumbang bermerk United. Pemiliknya,
satu berwajah tampan dengan hidung mancung dan satunya si gendut dengan muka
imut-imut, berselonjor di bawah pohon kersen sambil main ayam-ayaman jempol.
“Ayooo…” teriakku.
“Loh, sepeda kamu
mana?” tanya si gendut, Meidi.
“Isssh… nggak mau
ah! Aku bonceng Dimas aja…”
Dimas dan Meidi
mendengus. Mereka tau persis sepedaku yang berwarna pink dengan pita-pita di
stangnya. Pasti Bapak pikir sepeda itu imut untuk anak sulung perempuannya,
tapi justru agak mengerikan untukku.
Hap! Aku berdiri
di ‘jalu’ sepeda Dimas. Berpegangan di bahunya yang mulai jadi, menghirup bau
keringatnya yang mulai mendewasa. Aku selalu lupa dia sudah hampir SMA, sudah
banyak yang naksir dan menjadikanku sumber kecemburuan.
Tiba-tiba,
“Ban Becak…!”
Kami mengerem
mendadak, pak RW menghampiri.
“Tolong bagikan
ini ke warga ya, pengumuman Idul Adha…”
“Owh, siap Pak!”
Dimas dan Meidi menghormat pada pak RW macam Hansip komplek. Aku sih cuma
cengar-cengir.
Tak lama kemudian
kami sudah menyusuri komplek sepuluh RT itu, dimulai dari RT paling belakang
komplek, terus kedepan, kearah rumahku di RT 1.
Tapi kami lalu
menyeberang ke RT 2 dulu, dan kedua sobatku itu mulai membagikan surat ke
rumah-rumah disekitaran situ, sementara perhatianku tersirap pada seekor kucing
yang sedang menyusui keempat anaknya.
Agak seru
membelai-belai kucing-kucing kecil itu, aku melihat Dimas dan Meidi mengobrol
dengan seorang cowok seusia mereka di depan rumahnya. Tama. Dia kakak kelasku
saat SD, teman main juga saat kecil,
tapi sekarang wajahnya sudah heboh ditumbuhi kumis dan jenggot.
“Hei Ara…” sapa
Tama, sambil memakai kacamatanya.
Aku hanya
melambaikan tangan lalu kembali memperhatikan kucing-kucing itu. Tapi kok si
Tama itu kayanya ngelihatin aku ya? Hihihi…
“Ih, kenapa
mukanya merah begitu sih?” tanya Dimas.
Aku memegang kedua
pipiku, diperutku terasa seperti ada jangkrik berlompatan, teringat wajah heboh
bulu milik Tama. “Masa sih?”
“Kamu sama Tama
aja, Ra. Pinter loh anaknya!” Meidi mengacungkan jempolnya, membuat mukaku
makin seperti kepiting rebus.
“Nggak ah….” Aku nemplok
lagi di belakang Dimas, siap melanjutkan perjalanan.
“Kenapa?” tanya
mereka kompak.
“Mukanya buluan,
kayak onyet…”
“Whuekekekek…”
Mungkin… mungkin
itu namanya cinta pertama, cinta pada onyet. Kelas satu SMP, dan merasa
ada jangkrik berlompatan diperut.
Selanjutnya aku
jatuh cinta pada Agus, yang berkacamata dan lagi-lagi dengan sebaran bulu
diwajahnya. Lalu dengan Musa, teman kuliahku dengan peta wajah yang serupa.
Selanjutnya ada Adit, yang wajahnya tak jauh-jauh amat. Tapi sayang,
semua tak bertahan lama, dan aku tetap sendiri.
Dimas menikah
dengan Pipit. Aku satu-satunya perempuan berjilbab yang masuk dan duduk di
barisan terdepan acara pemberkatannya. Dan saat resepsi, Dimas memintaku
memakai songket yang sama dengan keluarganya. Aku hanya tersenyum bahagia
untuknya.
Sekelebat kulihat
wajah yang sungguh kukenal, wajah bulat berkacamata dengan janggut lebat. Muda
namun matur. Bukan Agus, bukan Musa, bukan juga Adit. Dia tak lebih tinggi
dariku, apalagi saat aku memakai alas kaki bertumit tinggi begini.
Aku mengikuti
sosok itu diantara kerumunan orang pada pesta kebun itu. Suaraku tak sanggup
memanggilnya. Serak.
Lalu,
“Ara,”
Meidi! Ganggu aja…
“Ngapain sih? Ayo
ke depan, ada bos kamu tuh!”
Aku menarik nafas,
berharap tak hilang kesempatan. Tapi sampai selesai resepsi, tak kulihat lagi
sosoknya.
Posisiku sudah ada
ditempatnya dalam profesiku. Belum layak naik jabatan karena usia dan masa
kerja. Memang itu konsekwensinya menjadi pegawai negara. Pergi pagi, pulang
sore, terlambat sedikit saja, potong gaji jadi ancamannya. Positifnya, aku bisa
tak menjadi penggila kerja dan tetap menjaga banyak persahabatan.
Aku menyukai
bagian kerjaku sebagai staf humas, membuatku banyak punya kolega dan punya
teman di hampir setiap instansi. Selain itu aku juga sering ditugaskan untuk
menghadiri diskusi dan rapat di luar kantor.
Hari itu menjelang
siang, bosku menelepon, memintaku menyusulnya ke Hotel Borobudur, ke sebuah
acara rapat yang dilaksanakan oleh
sebuah badan keuangan.
Tak buang waktu,
aku langsung berderap ke hotel itu dengan modal Id Card.
Acaranya di lantai
lima, aku langsung naik dan bertanya pada panitia di meja registrasi. Tepat saat
itu aku melihat segerombolan orang keluar dari ballroom, berdasi, rapi dan
mewah. Salah seorang dari mereka tersenyum khas…
Lagi-lagi aku
tergagu sesaat. Kemudian kakiku melangkah mengejar mereka. Aku hanya perlu
menampakkan diri supaya dia melihatku.
Hanya itu….
Liftnya tertutup,
aku mengejar dengan lift sebelahnya.
Tuhan, aku hanya
ingin dia melihatku…
Di lantai dasar,
liftku terbuka tepat didepan puntu masuk hotel. Gerombolan lelaki keren itu
masuk mobil. Dan pergi.
“Dia nggak pernah benar-benar hadir, Meid…”
kataku pada Meidi. Sekarang hanya dia tempat curahan hatiku. Pun dia akan
menikah bulan depan, dan aku akan sendiri.
“Hahaha… kena
tulah kan? Dulu kamu bilang dia kayak onyet…”
“hihihi…” aku
cekikikan juga. “Aku nggak pernah inget, tapi selalu ada ketertarikan kuat
setiap ketemu. Dan kenapa musti ketemu coba?!”
“Namanya takdir…”
Meidi mencubit hidungku. “Makanya cari cowok sana, kelamaan ngejomblo tuh…”
Aku menyeringai,
tak bisa menjawab.
“Lupain dia ya…
jalani aja hidupmu sebaik mungkin, nggak usah pusing sama hal-hal begitu. Buka
hatimu…”
Rasanya aku sayang
luar biasa pada sahabatku itu. Dia seperti Spiderman untukku. Spiderman gendut
tapinya.
Hidup terlalu
rumit diusiaku yang sudah seperapat abad. Mendadak saja ada lelaki yang
berucap, “Nikah yuk,” di usia perkenalan kami yang baru seminggu selama
pendidikan kilat.
Aku cuma jawab, “Situ demam ya?!”
“Nggak, cuma rasanya memang situ
orangnya.” Jawabnya santai. “Pokoknya kita nikah hari ini, tahun depan!”
Aku hanya tergelak. Orang ini positif
gila!
Tanto, seseorang
yang tak mirip dengan cinta pertamaku, tapi betul-betul membuatku yakin dengan
cinta sejati.
Keluarga kami
saling mengenal dan bersiap menuju kebersamaan ikatan.
Tapi lalu hancur
dengan mudah saat gedung sudah disewa, menu hidangan sudah dipilih dan
pelaminan sudah terbayar.
Kami menumpahkan
air panas bernama komitmen. Tanto yang melepas pegangannya karena mendadak
memiliki pegangan yang lain. Pegangannya yang lama hilang dan kembali diantara
kami.
Hubungan kami
memang tak sampai ‘Hari ini, tahun depan!’, tapi aku tak pernah meragukan
cintanya saat itu –sampai kami sepakat untuk mengakhiri semuanya- bahkan
mungkin sampai sekarang. Dan kenangan itu masih saja membuatku tersenyum-senyum
geli. Cinta itu memang tulus dan apa adanya, hanya saja tergantung apakah kita
sepakat bertahan atau tidak.
Dan aku sepakat
untuk tak bersepakat dengannya.
Kami berakhir
karena tak ingin lebih menyakiti yang lain.
Tapi Tanto membuat
luka besar di jantungku. Membuatku menghapus semua cintaku yang lain, melupakan
rasa manis dengan siapapun.
Aku hanya menangis
semalaman, tapi kemudian berjalan lagi di jalurku. Meyakini bahwa cinta itu
bisa pergi begitu mudahnya, sederhana saja sebenarnya.
Yang kumiliki hanya
diriku sendiri.
Setahun berlalu
lebih sederhana. Aku memiliki lebih banyak tanggung jawab di kantor, membuatku
lebih sering lembur sekarang dan lebih sering berangkat lebih pagi.
Karena rumahku
diluar Jakarta, orang-orang tak terlalu suka naik kendaraan pribadi. Aku pun
selalu naik bis yang sama sejak kuliah di Salemba.
Pagi itu agak
berbeda ceritanya. Aku harus menhadiri rapat dengar pendapat di MPR-DPR, tapi
harus berangkat dari kantor. Bos sudah mewanti-wanti agar aku berangkat lebih
pagi, dengan pakaian rapi dan make up.
Salah seorang
rekan laki-laki kuminta menjemputku di terminal, supaya kami lebih cepat sampai
dan aku tak perlu kerepotan dengan dandanan ini.
Aku melompat naik
ke bis pertama di halte depan komplek. Sial! Tak ada sisa bangku kosong.
Si kondektur yang
mengenaliku hanya tersenyum bersimpati, aku membalasnya dengan anggukan,
menyatakan bahwa aku tak apa-apa. Aku memeluk tas bahuku sambil menyandar di
punggung kursi belakang yang paling dekat dengan pintu. Setelah nyaman, aku
membuka ponselku, sebentar berseluncur masuk surat elektronik, membaca bahan
rapat hari ini yang baru subuh tadi dikirimkan finalnya oleh Pak Bos.
Mendadak saja bulu
kudukku meremang. Aku merasa ada yang memperhatikanku. Sembilan tahun
bolak-balik dengan angkutan umum membuat intuisiku cukup tajam menerima
reaksi-reaksi seperti ini. Aku memandang berkeliling dengan tatapan seolah
biasa. Hampir semua penumpang adalah pekerja seperti aku, dan lebih dari
separuhnya sudah terlelap.
Aku menarik nafas,
kembali menekuni ponselku.
“Ara… mau duduk?”
Degh…
Badanku kaku dalam
tegap. Lumpuh layuh,
“Ra…?”
“Ah, nggak usah…”
Bapak yang ada
diantara kami, duduk disamping Tama, tampak kikuk.
“Kerja dimana?”
Wajahnya, matanya,
pipinya… membuatku cair.
Aku tersenyum,
mengumpulkan kekuatanku seperti biasanya aku menjadi juru bicara untuk
instansiku, bicara dihadapan ribuan orang. Aku siap menjawab pertanyaannya
dengan lugas.
Kami bicara… ya,
bicara! Dia bukan hanya melihatku, tapi memandangku dengan matanya yang hidup,
memperhatikan ucapanku, dan membalasnya dengan manis.
Perjalanan itu
sempurna. Bapak-bapak disampingnya turun di pintu tol. Aku bisa duduk disamping
Tama, kami bicara dan tertawa dan saling memperhatikan dan saling bercerita
seolah-olah banyak ketertinggalan dalam hidup masing-masing yang lain.
Sungguh, wajahnya
yang penuh bulu tak lagi seperti onyet.
Masuk musim hujan,
aku sudah terbiasa menunggu Tama di halte depan Mall Segitiga. Kami tidak
pacaran, tapi selalu menyenangkan melihat dia jalan dari kejauhan,
menghampiriku dengan senyum berlesung pipi.
Tama tak pernah
mengumbar kata-kata manis, tak menyemprotkan seember parfum, tak membawakan
bunga atau boneka. Dia cuma hadir dengan jaket, ransel dan sepatu hitamnya plus
bau asam khas laki-laki. Lalu kami bicara, menceritakan semua hal yang terjadi
dalam hari kami. Seolah semuanya sudah menjadi kebiasaan kami selama
bertahun-tahun.
Kami lalu duduk
bersisian di bis. Berbagi camilan dan tawa, malah kadang mengomentari pengamen
layaknya juri kompetisi penyanyi.
Aku tak pernah
menunggu apapun. Hidupku berhenti saat bersamanya, dan menyenangkan. Itu saja.
Tiba-tiba…
“Witing tresno
jalaran soko kulino!”
“Hah? Apaan tuh
artinya?”
“Laper!”
Entah apa
maksudnya. Tapi aku merasakan sesuatu yang kuat.
Tangerang,
24 Agustus 2012
17.05
cakep :D
ReplyDeletealur ceritanya cepat, tp bisa sy nikmati :D
salam kenal mbak :D
kalo sekedar dijalani tanpa ada konsep yg jelas juga rawan. kalo sy seh, cinta tumbuh setelah nikah, awalnya cuma suka2an aja, berasa pas. nikah deh
ReplyDeleteMantep dah meskipun alurnya singkat tapi semua kejadiannya terceritakan dengan baik .
ReplyDelete