Linda Satibi |
Pengalaman yang lalu-lalu, bila novel diangkat ke layar lebar, akan lebih banyak mengecewakannya daripada menyenangkan. Sebut saja Hafalan Shalat Delisa, Negeri 5 Menara, Bidadari-bidadari Surga, dll. Nah, ketika kemarin aku mendapat kesempatan menonton Refrain (big thanx to Mbak Eni Martini), aku kebetulan belum baca novelnya. Padahal dulu ketika pertama kali melihat novel itu, aku jatuh cinta sama covernya, dan nama Winna Efendi cukup menjadi jaminan bahwa novelnya tentu sebuah romance yang manis dan lembut. Sayangnya dompetku ga mendukung, maka membelinya pun jadi urung.
So.. aku akan menuliskan rasa-ku pada film ini tanpa membandingkan dengan novelnya. Gimana mau membandingkan, lha.. baca novelnya aja belum.. :)
Kisah Refrain agak ga jauh beda sama Ai, novel Winna terdahulu. Yaitu kisah persahabatan dua orang berbeda jenis kelamin yang dimulai sejak mereka masih anak-anak. Beranjak remaja, hadirlah orang ketiga yang jatuh cinta pada si perempuan, mereka jadian, dan si sahabat cowok berdarah-darah karena hatinya patah.
Refrain, berkisah tentang Niki (Maudy Ayunda) dan Nata (Afgansyah Reza). Benar-benar cerita mereka, dunia remaja, dunia SMA. Ga ada sosok orang dewasa ikut serta. Ga ada orang tua masing-masing, ga ada guru yang berpengaruh, atau siapa saja yang turut mendominasi perjalanan mereka berdua. Kalaupun ada tokoh kakak Nata, itu tak lebih sebagai pelengkap saja.
Niki dan Nata bertetangga sejak kecil. Mereka akrab hingga bangku SMA, yang menjadi latar waktu film tersebut. Konon orangtua mereka, sama-sama bertugas di Papua.
Konflik mulai muncul dengan hadirnya Oliver (Maxime Bouttier), cowok keren-kapten basket sekolah lain- yang naksir Niki. Gayung bersambut, mereka pun menjadi sepasang kekasih. Nata yang tidak bisa mengelak dari hadirnya rasa cinta kepada Niki, merasa kecewa. Sementara itu, ada Anna (Chelsea Elizabeth Islan), anak baru yang kemudian menjadi sahabat Niki dan Nata, diam-diam jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Nata.
Bagaimana Nata meredam rasa cemburu yang membara? Akankah Niki tahu bahwa Nata ternyata punya perasaan lebih dari sekedar sahabat? Lalu cinta Ana, apakah Nata menyambutnya?
Secara umum, film garapan sutradara Fajar Nugros ini biasa-biasa aja. Ga menampilkan bagian yang mengharu biru. Kalaupun ada sedih-sedihnya, ga sampe membuatku menitikkan airmata. Padahal aku nih cengeng banget. Sedih sedikit aja, pasti mewek. Air mata ga bisa ketahan, langsung membasahi pipi. Tapi ternyata Refrain hanya membuat perasaan terharu aja, sedikit memainkan emosi.
Akting pemain juga standar. Cuma Maudy yang agak menonjol, mungkin karena jam terbang. Afghan dan para pemeran pembantu, cukuplah. Karakter mereka cuma remaja biasa aja, yang permasalahannya seputar cinta, tanpa gejolak emosi yang kuat.
Yang membuatku merasa terhibur, lagu-lagu yang menjadi backsound. Macam lagu-lagunya Afgan gitu deh.. :)
Ada yang tanya, kenapa sih harus Afgan yang jadi tokoh utama? Karena peran Nata itu seorang remaja yang musisi, jadi aktornya harus penyanyi beneran kali yaa supaya ga pake lipsing dan main pianonya ga pura-pura.
Kalau segmen penonton remaja, sepertinya cukup puas dengan film ini. Lain halnya dengan emak yang cerewet (baca: kritis) macam aku. Duh, kenapa sih seragam rok sekolahnya pendek banget? Kok anak SMA ga seru ya kegiatannya, masa’ Niki mainnya di sekolah cuma bedua mulu sama Nata, trus pas ada Ana, jadi bertiga doang? Apaan tuh sekilas tradisi Valentine’s Day, fungsinya tempelan aja? Etc etc.
Btw, kata Mbak Eni, ini filmnya bagus, film yang sopan, ga ada adegan syur. Putra-putri beliau yang berusia 7 dan 4 tahun menangkap film ini sebagai film bertema persahabatan. Karena baru kali ini aku nonton film remaja, maka pertanyaanku: apakah film remaja yang lain kerap menampilkan adegan syur? Dalam Refrain, memang cukup bersih, ga ada kissing, atau wajah yang sangat mendekat dengan tatapan lekat. Adegan berpegangan tangan pun hanya sekali . Yang lainnya, ngobrol-ngobrol berdua sambil makan, duduk bersisian di mobil, jalan bareng, udah gitu aja.
Kepingin juga sih aku baca novelnya, tapi sayang cover novel edisi baru, membuatku lagi-lagi urung membelinya. Yo wis, cukup nonton filmnya aja deh, lumayan manis juga kok.. setidaknya wajah Afgan mewakili kata manis itu.. hahaha..
Bangus banget :)
ReplyDeleteFilm yang menarik, Maudy Ayunda punya kesungguhan dalam memberikan dirinya untuk setiap peran-perannya. Semoga bisa terus mewarnai dengan karya-karyanya, dan semoga juga perfilman semakin sadar untuk memberikan tema-tema yang membangun dan produktif bagi segenap penontonnya. :-)
ReplyDelete