|
|
|
Pujia Achmad |
Dear, BAW-ers, udah lama nih gak ngomongin Buku Pilihan Admin. Kali ini Bundamin mau mewawancarai penulis novel TAKBIR RINDU DI ISTANBUL, Bunda Pujia Achmad. Kebetulan kan sedang ada lomba resensinya. Sebelum hunting bukunya, yuk simak proses kreatif penulisannya ^^
J Ceritain dong proses penulisan novel ini. Dari mana dapat
idenya, judulnya, trus konon kabarnya novel ini pernah diterbitkan dengan judul
Bulan Sabit di Rotterdam, ya?
Sebenarnya ide penulisan novel Takbir Rindu di Istanbul ini sudah
ada sejak saya masih kuliah di Belanda, yang kemudian setelah jadi saya beri
judul Bulan Sabit di Rotterdam. Tapi karena kesibukan kuliah, nyusun thesis
dll, ide itu akhirnya hanya mengendap di pikiran. Begitu kembali ke tanah air,
back to the real world, saya masih belum sempat menuliskannya karena kesibukan
di kantor. Hingga tidak sengaja membaca pengumuman kalau ada lomba menulis
novel yang dilaksanakan Penerbit Indiva (2010).
Saya kebutlah novel itu, jadi, lalu
submit, dengan judul seperti yang sudah saya singgung, Bulan Sabit di
Rotterdam. Meskipun tidak lolos, tapi hikmah yang bisa dipetik, lomba itu
memacu imajinasi saya untuk menyelesaikannya. Belakangan baru saya tahu
pemenangnya ternyata teman sendiri, Mbak Riawany Elyta dengan novelnya Persona
Non Grata. Atas informasi teman, Leutika Prio sedang mengadakan Lomba Menulis
Novel, lalu saya ikutkan novel Bulan Sabit di Rotterdam di lomba itu, dan
lolos. Sebagai hadiahnya novel ini diterbitkan indie oleh Leutika Prio dan
dijual online dengan system Print On Demand. Sempat pula menjadi best seller di Leutika Prio. Bahkan pernah
diterbitkan offline (di toko buku) dalam jumlah terbatas setelahnya. Saat novel
ini beredar secara online, saya menulis sekuelnya, Takbir Rindu di Rotterdam.
Setting novel ini kan di Rotterdam, Belanda dan Istanbul, apakah Mba
Pujia sudah pernah tinggal di sana?
Sempat tinggal di Rotterdam dan singgah di beberapa kota lain di
Belanda. Setting Belanda yang saya sebut di novel itu semuanya sudah pernah
saya kunjungi. Kalau Istanbul, belum, hanya dengar dari cerita teman yang
pernah kesana, pengalamannya, dan hasil googling.
Aktivitas Mba Pujia sehari-hari selain nulis, apa aja sih? Kapan
biasanya waktu untuk menulis di tengah padatnya aktivitas?
Saya bekerja sebagai PNS di Pemkot Blitar, Bumi Bung
Karno (kalau ke Blitar kabar-kabari ya, nanti kita wisata kebangsaan *wisata
apa tuh* wisata mengenal Presiden Pertama RI dengan segala kehidupannya di masa
lampau) hehehe. Kembali ke topik pembicaraan, harus saya akui, urus pekerjaan
kantor, rumah dengan 3 anak yang masih kecil, 5 tahun, 3 tahun dan 9 bulan,
sangat menyita waktu dan menguras tenaga dan pikiran, tapi menulis adalah jiwa
saya. Menulis bahkan bisa menjadi pengobat lelah. Biasanya saya menulis setiap
ada kesempatan, waktunya tidak tentu, kadang jam 10 malam ketika anak-anak
sudah tidur, atau dini hari ketika anak-anak terbangun minta asi, setelah
mereka tidur, saya lalu menulis. Kadang-kadang siang atau sore hari pada hari
libur kalau anak-anak dijemput neneknya main di sana.
Selain novel ini, apakah Mba Pujia akan menerbitkan novel lain atau
sedang menulis novel lain?
Selain novel, saya menulis beberapa antologi bersama teman-teman
yang memiliki hobi sama, menulis. Nilai positifnya, antologi itu diawali
audisi, jadi meskipun tidak diterbitkan penerbit besar saya tetap senang bisa
bergabung. Diantaranya : Narsis Unlimited, Di Dalam Genggaman Tangan Tuhan, Di
Masjid Hatiku Terkait, Bidadari Berkostum Badut dan Asimorfosa.
Saat
ini sedang menyelesaikan tiga novel, tapi masih belum kelar, still in process.
Ada satu novel saya yang saat ini berada di Elexmedia, sudah revisi satu
kali, dan sekarang menunggu kabar
selanjutnya.
Berapa lama penulisan novel ini, trus gimana ceritanya sampai bisa
diterbitkan oleh Puspa Populer?
Jadi ceritanya, saat novel Bulan Sabit di Rotterdam diterbitkan
Leutika Prio sempat berharap akan dilirik penerbit mayor, karena berdasarkan
info dari penerbit indie itu, mereka bekerja sama dengan penerbit mayor, yang
layak dan terpilih akan ditarik diterbitkan penerbit mayor. Ternyata mimpi itu
menjadi nyata. Saya dapat ‘surat cinta’ dari editor Puspa Populer yang
‘melamar’ novel Bulan Sabit di Rotterdam untuk diterbitkan mayor. Gayung mereka
saya sambut dengan suka cita. Dimulailah editing novel ini dengan beberapa
modifikasi, penambahan konflik, dll, dan bagian pentingnya, sekuel yang sudah
saya siapkan sebelumnya, Takbir Rindu di Rotterdam, digabung menjadi satu
dengan judul barunya : Takbir Rindu di
Istanbul. Nama Istanbul dipilih karena kota itu menjadi tempat pertemuan
kembali antara Zaida dan Ilham setelah sekian lama mereka berpisah dan
masing-masing telah menikah.
Jadi kalau teman2 baca novel ini, ada dua bagian, bagian pertama
adalah novel Takbir Rindu di Rotterdam yang sudah ‘dipermak’ dan bagian kedua
lanjutannya. Yang sudah baca novel Bulan Sabit di Rotterdam, harus baca novel
ini karena akan terjawab ending kisah cinta antara Zaida dan Ilham (promosi
MODE ON J). Penulisan
bagian pertama 6 bulan (waktu diikutkan lomba Indiva itu). Bagian keduanya 1
tahun karena kebetulan sedang punya bayi dan sibuk-sibuknya dengan pekerjaan di
kantor.
Ini kan genrenya novel islami, apa kelebihan novel ini dibandingkan
novel islami lainnya?
Hhhmmm apa ya? Kalau menurut saya pribadi, ada sisi ‘manusiawi’ yang
hendak ditunjukkan. Mungkin saya bisa menggambarkan dengan kalimat berikut,
“Pemahaman agama yang tinggi tidak bisa mencegah seseorang untuk jatuh cinta,
tapi dengan pemahaman itu, bisa mengendalikan hati yang sedang jatuh cinta.”
Jadi lebih ‘membumi’, hehehe, dan menurut saya akan lebih bisa diterima
nilai-nilai kebaikan yang akan ditanamkan. Kalau ingin lihat beda lainnya, sok
atuh dibaca novelnya, hehehe
Kenapa Mba Pujia memilih untuk menulis novel islami dibandingkan
novel umum?
Untuk sekarang iya, tapi saya belum tahu apakah ke depan genre ini
berubah atau tidak. Yang jelas novel Islami saya pilih karena saya ingin
berdakwah lewat tulisan, dakwah yang elegan, tidak menggurui tapi menusuk dalam
ke lubuk hati. Tapi seandainya pun nanti berubah, saya akan tetap membawa
nilai-nilai dakwah itu dalam setiap tulisan saya, Insya Allah. Saya paling
miris melihat bacaan yang ‘merusak’ moral dan etika generasi muda.
Ada gak penulis yang dijadikan teladan oleh Mba Pujia? Siapa saja
tuh?
Banyak. Beberapa diantaranya penulis BAW. Mbak Afifah Afra yang
menggabungkan dengan sempurna teori dan selera baca masyarakat sehingga selalu
menjadi tulisan yang hidup dan enak dinikmati. Mbak Leyla Hana, yang selalu
membuat saya terkesima dengan caranya memasukkan unsur dakwah dalam setiap
novelnya. Saya juga suka gaya bahasa Asma Nadia yang renyah. Saya juga ingin
bisa menulis seperti Mbak Riawani Elyta yang menyisakan rasa penasaran di
setiap n tidak ingin berhenti sebelum habis. Tapi pada dasarnya saya mengagumi
sastrawan jaman dahulu, gimana ya, gaya bahasanya santun, indah, puitis, ibarat
lagu mendayu-dayu dan membuat daya imajinasi membubung ke angkasa, hehehe.
Sejak SD saya suka baca tulisan mereka
seperti Buya Hamka, Marah Rusli, Mochtar Lubis, NH Dini, terlepas segala kontroversi
yang ada. Karena kebanyakan dari mereka bukan penulis Islami, itu yang membuat
saya mempunyai mimpi membuat tulisan seindah karya mereka tapi yang Islami.
Kalau masa SD saya bisa menangis sesunggukan baca novel Sukreni Gadis Bali,
saya yakin saya bisa membuat orang melakukan hal sama kalau saya serius
‘menggarap’ setiap tulisan saya *terlalu PD ya? Hehehe*
Menurut Mba Pujia, penting gak sih seorang penulis bergabung dengan
komunitas menulis? Apa saja komunitas menulis yang Mba Pujia ikuti?
Sangat penting menurut saya. Karena dengan bergabung dengan
komunitas menulis kita bisa terus belajar mengenai dunia tulis-menulis, menambah
wawasan, pengetahuan, tukar-menukar info terutama info lomba menulis, saling
menyemangati dan memotivasi bahkan semangat bisa terlecut tiba-tiba begitu
melihat teman lain menerbitkan buku. Dengan komunitas pula kita bisa
mempromosikan buku-buku kita dan saling membantu teman untuk promosi bukunya.
Saya ngebayangin bagaimana kalau di BAW ada kewajiban saling mempromosikan buku
teman, alangkah indahnya J
Beberapa komunitas menulis yang saya ikuti, tentu saja BAW (ada di
hati dan pikiran saya setiap waktu..huhuhuhu…dududu…duuuu…lalauu….*singing*),
Kampung WR (Writing Revolution) terbagi lagi dalam beberapa fokus, Kampung
Cerpen, Kampung Essay, Kampung Novel, IIDN Interaktif, IIDN Luar Negeri, Komunitas Penulis Bacaan Anak dan masih banyak
lagi namun tidak terlalu aktif.
Ada pesan-pesankah untuk para penulis pemula yang sampai sekarang
masih kesulitan menembus penerbit?
Teruslah menulis, jangan putus asa menemukan ‘jodoh untuk setiap
tulisanmu’. Bila sedang mengirim naskah ke penerbit, jangan diingat-ingat
terus, lupakan sejenak dan segeralah membuat tulisan baru. Lalu kirim, lupakan
dan menulislah lagi. Begitu seterusnya.
Baru kalau sudah dapat kabar dari penerbit dan belum diterima segera kirim ke
penerbit lain. Kalau boleh beri kata-kata mutiara, ‘Teruslah menulis dan
biarkan dunia mengabadikan namamu selama-lamanya.”
Nah, teman-teman, jangan lupa ya ikut lomba resensi novel Takbir Rindu di Istanbul. Infonya di sini ini...
|
|
|
|
|
Pujia Achmad |
Dear, BAW-ers, udah lama nih gak ngomongin Buku Pilihan Admin. Kali ini Bundamin mau mewawancarai penulis novel TAKBIR RINDU DI ISTANBUL, Bunda Pujia Achmad. Kebetulan kan sedang ada lomba resensinya. Sebelum hunting bukunya, yuk simak proses kreatif penulisannya ^^
J Ceritain dong proses penulisan novel ini. Dari mana dapat
idenya, judulnya, trus konon kabarnya novel ini pernah diterbitkan dengan judul
Bulan Sabit di Rotterdam, ya?
Sebenarnya ide penulisan novel Takbir Rindu di Istanbul ini sudah
ada sejak saya masih kuliah di Belanda, yang kemudian setelah jadi saya beri
judul Bulan Sabit di Rotterdam. Tapi karena kesibukan kuliah, nyusun thesis
dll, ide itu akhirnya hanya mengendap di pikiran. Begitu kembali ke tanah air,
back to the real world, saya masih belum sempat menuliskannya karena kesibukan
di kantor. Hingga tidak sengaja membaca pengumuman kalau ada lomba menulis
novel yang dilaksanakan Penerbit Indiva (2010).
Saya kebutlah novel itu, jadi, lalu
submit, dengan judul seperti yang sudah saya singgung, Bulan Sabit di
Rotterdam. Meskipun tidak lolos, tapi hikmah yang bisa dipetik, lomba itu
memacu imajinasi saya untuk menyelesaikannya. Belakangan baru saya tahu
pemenangnya ternyata teman sendiri, Mbak Riawany Elyta dengan novelnya Persona
Non Grata. Atas informasi teman, Leutika Prio sedang mengadakan Lomba Menulis
Novel, lalu saya ikutkan novel Bulan Sabit di Rotterdam di lomba itu, dan
lolos. Sebagai hadiahnya novel ini diterbitkan indie oleh Leutika Prio dan
dijual online dengan system Print On Demand. Sempat pula menjadi best seller di Leutika Prio. Bahkan pernah
diterbitkan offline (di toko buku) dalam jumlah terbatas setelahnya. Saat novel
ini beredar secara online, saya menulis sekuelnya, Takbir Rindu di Rotterdam.
Setting novel ini kan di Rotterdam, Belanda dan Istanbul, apakah Mba
Pujia sudah pernah tinggal di sana?
Sempat tinggal di Rotterdam dan singgah di beberapa kota lain di
Belanda. Setting Belanda yang saya sebut di novel itu semuanya sudah pernah
saya kunjungi. Kalau Istanbul, belum, hanya dengar dari cerita teman yang
pernah kesana, pengalamannya, dan hasil googling.
Aktivitas Mba Pujia sehari-hari selain nulis, apa aja sih? Kapan
biasanya waktu untuk menulis di tengah padatnya aktivitas?
Saya bekerja sebagai PNS di Pemkot Blitar, Bumi Bung
Karno (kalau ke Blitar kabar-kabari ya, nanti kita wisata kebangsaan *wisata
apa tuh* wisata mengenal Presiden Pertama RI dengan segala kehidupannya di masa
lampau) hehehe. Kembali ke topik pembicaraan, harus saya akui, urus pekerjaan
kantor, rumah dengan 3 anak yang masih kecil, 5 tahun, 3 tahun dan 9 bulan,
sangat menyita waktu dan menguras tenaga dan pikiran, tapi menulis adalah jiwa
saya. Menulis bahkan bisa menjadi pengobat lelah. Biasanya saya menulis setiap
ada kesempatan, waktunya tidak tentu, kadang jam 10 malam ketika anak-anak
sudah tidur, atau dini hari ketika anak-anak terbangun minta asi, setelah
mereka tidur, saya lalu menulis. Kadang-kadang siang atau sore hari pada hari
libur kalau anak-anak dijemput neneknya main di sana.
Selain novel ini, apakah Mba Pujia akan menerbitkan novel lain atau
sedang menulis novel lain?
Selain novel, saya menulis beberapa antologi bersama teman-teman
yang memiliki hobi sama, menulis. Nilai positifnya, antologi itu diawali
audisi, jadi meskipun tidak diterbitkan penerbit besar saya tetap senang bisa
bergabung. Diantaranya : Narsis Unlimited, Di Dalam Genggaman Tangan Tuhan, Di
Masjid Hatiku Terkait, Bidadari Berkostum Badut dan Asimorfosa.
Saat
ini sedang menyelesaikan tiga novel, tapi masih belum kelar, still in process.
Ada satu novel saya yang saat ini berada di Elexmedia, sudah revisi satu
kali, dan sekarang menunggu kabar
selanjutnya.
Berapa lama penulisan novel ini, trus gimana ceritanya sampai bisa
diterbitkan oleh Puspa Populer?
Jadi ceritanya, saat novel Bulan Sabit di Rotterdam diterbitkan
Leutika Prio sempat berharap akan dilirik penerbit mayor, karena berdasarkan
info dari penerbit indie itu, mereka bekerja sama dengan penerbit mayor, yang
layak dan terpilih akan ditarik diterbitkan penerbit mayor. Ternyata mimpi itu
menjadi nyata. Saya dapat ‘surat cinta’ dari editor Puspa Populer yang
‘melamar’ novel Bulan Sabit di Rotterdam untuk diterbitkan mayor. Gayung mereka
saya sambut dengan suka cita. Dimulailah editing novel ini dengan beberapa
modifikasi, penambahan konflik, dll, dan bagian pentingnya, sekuel yang sudah
saya siapkan sebelumnya, Takbir Rindu di Rotterdam, digabung menjadi satu
dengan judul barunya : Takbir Rindu di
Istanbul. Nama Istanbul dipilih karena kota itu menjadi tempat pertemuan
kembali antara Zaida dan Ilham setelah sekian lama mereka berpisah dan
masing-masing telah menikah.
Jadi kalau teman2 baca novel ini, ada dua bagian, bagian pertama
adalah novel Takbir Rindu di Rotterdam yang sudah ‘dipermak’ dan bagian kedua
lanjutannya. Yang sudah baca novel Bulan Sabit di Rotterdam, harus baca novel
ini karena akan terjawab ending kisah cinta antara Zaida dan Ilham (promosi
MODE ON J). Penulisan
bagian pertama 6 bulan (waktu diikutkan lomba Indiva itu). Bagian keduanya 1
tahun karena kebetulan sedang punya bayi dan sibuk-sibuknya dengan pekerjaan di
kantor.
Ini kan genrenya novel islami, apa kelebihan novel ini dibandingkan
novel islami lainnya?
Hhhmmm apa ya? Kalau menurut saya pribadi, ada sisi ‘manusiawi’ yang
hendak ditunjukkan. Mungkin saya bisa menggambarkan dengan kalimat berikut,
“Pemahaman agama yang tinggi tidak bisa mencegah seseorang untuk jatuh cinta,
tapi dengan pemahaman itu, bisa mengendalikan hati yang sedang jatuh cinta.”
Jadi lebih ‘membumi’, hehehe, dan menurut saya akan lebih bisa diterima
nilai-nilai kebaikan yang akan ditanamkan. Kalau ingin lihat beda lainnya, sok
atuh dibaca novelnya, hehehe
Kenapa Mba Pujia memilih untuk menulis novel islami dibandingkan
novel umum?
Untuk sekarang iya, tapi saya belum tahu apakah ke depan genre ini
berubah atau tidak. Yang jelas novel Islami saya pilih karena saya ingin
berdakwah lewat tulisan, dakwah yang elegan, tidak menggurui tapi menusuk dalam
ke lubuk hati. Tapi seandainya pun nanti berubah, saya akan tetap membawa
nilai-nilai dakwah itu dalam setiap tulisan saya, Insya Allah. Saya paling
miris melihat bacaan yang ‘merusak’ moral dan etika generasi muda.
Ada gak penulis yang dijadikan teladan oleh Mba Pujia? Siapa saja
tuh?
Banyak. Beberapa diantaranya penulis BAW. Mbak Afifah Afra yang
menggabungkan dengan sempurna teori dan selera baca masyarakat sehingga selalu
menjadi tulisan yang hidup dan enak dinikmati. Mbak Leyla Hana, yang selalu
membuat saya terkesima dengan caranya memasukkan unsur dakwah dalam setiap
novelnya. Saya juga suka gaya bahasa Asma Nadia yang renyah. Saya juga ingin
bisa menulis seperti Mbak Riawani Elyta yang menyisakan rasa penasaran di
setiap n tidak ingin berhenti sebelum habis. Tapi pada dasarnya saya mengagumi
sastrawan jaman dahulu, gimana ya, gaya bahasanya santun, indah, puitis, ibarat
lagu mendayu-dayu dan membuat daya imajinasi membubung ke angkasa, hehehe.
Sejak SD saya suka baca tulisan mereka
seperti Buya Hamka, Marah Rusli, Mochtar Lubis, NH Dini, terlepas segala kontroversi
yang ada. Karena kebanyakan dari mereka bukan penulis Islami, itu yang membuat
saya mempunyai mimpi membuat tulisan seindah karya mereka tapi yang Islami.
Kalau masa SD saya bisa menangis sesunggukan baca novel Sukreni Gadis Bali,
saya yakin saya bisa membuat orang melakukan hal sama kalau saya serius
‘menggarap’ setiap tulisan saya *terlalu PD ya? Hehehe*
Menurut Mba Pujia, penting gak sih seorang penulis bergabung dengan
komunitas menulis? Apa saja komunitas menulis yang Mba Pujia ikuti?
Sangat penting menurut saya. Karena dengan bergabung dengan
komunitas menulis kita bisa terus belajar mengenai dunia tulis-menulis, menambah
wawasan, pengetahuan, tukar-menukar info terutama info lomba menulis, saling
menyemangati dan memotivasi bahkan semangat bisa terlecut tiba-tiba begitu
melihat teman lain menerbitkan buku. Dengan komunitas pula kita bisa
mempromosikan buku-buku kita dan saling membantu teman untuk promosi bukunya.
Saya ngebayangin bagaimana kalau di BAW ada kewajiban saling mempromosikan buku
teman, alangkah indahnya J
Beberapa komunitas menulis yang saya ikuti, tentu saja BAW (ada di
hati dan pikiran saya setiap waktu..huhuhuhu…dududu…duuuu…lalauu….*singing*),
Kampung WR (Writing Revolution) terbagi lagi dalam beberapa fokus, Kampung
Cerpen, Kampung Essay, Kampung Novel, IIDN Interaktif, IIDN Luar Negeri, Komunitas Penulis Bacaan Anak dan masih banyak
lagi namun tidak terlalu aktif.
Ada pesan-pesankah untuk para penulis pemula yang sampai sekarang
masih kesulitan menembus penerbit?
Teruslah menulis, jangan putus asa menemukan ‘jodoh untuk setiap
tulisanmu’. Bila sedang mengirim naskah ke penerbit, jangan diingat-ingat
terus, lupakan sejenak dan segeralah membuat tulisan baru. Lalu kirim, lupakan
dan menulislah lagi. Begitu seterusnya.
Baru kalau sudah dapat kabar dari penerbit dan belum diterima segera kirim ke
penerbit lain. Kalau boleh beri kata-kata mutiara, ‘Teruslah menulis dan
biarkan dunia mengabadikan namamu selama-lamanya.”
Nah, teman-teman, jangan lupa ya ikut lomba resensi novel Takbir Rindu di Istanbul. Infonya di sini ini...
Terima kasih Mbak Ela, dimuat di blog BAW itu 'sesuatu' bagi saya
ReplyDeleteselamaat buat Mbak Pujia. Jadi ngerti nih perjalanan Takbir rindu, ternyata menemukan jodohnya di leutika prio kemudian di puspa ^_^
ReplyDeletesemangaaat teruuus