Setelah sebelumnya di tulisan sebelumnya kalian membaca tulisan tentang tanya jawab Bedah Novel YANG TERSIMPAN DI SUDUT HATI yang ditulis oleh Ade Anita, sekarang kita lanjutkan cerita kita yuk. Yaitu, setelah acara tanya jawab selesai, maka acara berlanjut ke tanya jawab dengan para hadirin di acara Bedah Novel tersebut.
Mbak Elita Duatnova yang supel dan ramah, sekarang mulai melemparkan kesempatan kepada para hadirin yang datang untuk bertanya perihal novel yang dibedah di sesi pertama ini. Berikut liputannya:
Pertanyaan Penanya pertama: Mbak, saya mau bertanya. Mengangkat isyu santet dalam sebuah novel Islami itu menurut saya merupakan sesuatu yang cukup berat untuk dilakukan ya. Dalam Islam sendiri, santet itu bagaimana sebenarnya posisinya, apa hukumnya, dan bagaimana sebenarnya sikap dan pandangan kita terhadap praktek Santet itu sendiri. Apakah hal-hal tersebut diceritakan juga di dalam novel mbak, dan sampai seberapa jauh mbak menceritakannya karena praktek santet itu sesuatu yang sebenarnya berseberangan dengan Islam itu sendiri. Itu pertanyaan pertama saya. Pertanyaan kedua saya, berapa lama waktu yang dibutuhkan dari mulai menulis hingga novel ini bisa diterbitkan? Gampang gak sih menerbitkan novel itu?
penanya pertama |
Jawaban Ade Anita: Saya akan jawab soal santet terlebih dahulu ya. Waktu saya menulis novel ini, itu kejadiannya tahun 2010. Waktu itu kebetulan isyu santet lagi santer-santernya diberitakan di media cetak, khususnya surat kabar. Ada korban santet yang dibakar hidup-hidup oleh masyarakat, bahkan ada yang dibakar tanpa diadili terlebih dahulu sebelumnya. Jadi haya berdasarkan isyu bahwa dia pelaku santet lalu masyarakat langsung percaya begitu saja dan langsung melakukan hukuman yang tidak manusia dan tidak adil bagi korban yang dituduh melakukan praktek santet. Dan isyu santet ini ternyata amat khas Indonesia menurut saya. Jadi, karena saya memang sedang ingin menulis cerita yang mengangkat lokalitas Indonesia, maka saya jadi teringat dengan kisah sahabat pena saya yang kebetulan juga fitnah serupa, yaitu dituduh melakukan santet.
Nah, sekarang bagaimana penulisannya agar cerita saya tidak berbenturan dengan nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri karena nyatanya praktek santet dan perdukunan itu kan sesuatu yang dilarang dalam agama Islam? Jadi, di satu sisi saya ingin bercerita tentang realitas yagn terjadi di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tapi di sisi lain saya juga tidak mau cerita saya nantinya malah jadi cerita yang mendukung sesuatu yang sebenarnya dilarang dalam Islam. Komprominya adalah, saya memberi fokus pada budaya yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia.
Kita gak bisa menampik bahwa meski mayoritas agama di Indonesia itu adalah agama Islam, tapi budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat tetap ada yang namanya aliran kepercayaan dan budaya percaya pada hal-hal yag berbau klenik dan magis. Santet termasuk di dalamnya karena santet dipercaya adalah bagian dari ilmu hitam yang dipelajari oleh beberapa anggota masyarakat kita dan kemudian dipraktekkan. Memang tidak boleh. Islam tegas-tegas melarang semua praktek ilmu hitam. Bagi para pelakunya, sudah pasti dijatuhkan ke dalam perbuatan syirik. Tapi, sampai detik ini kita tetap tidak berhasil melenyapkan budaya klenik dan magis yang ada di tengah-tengah masyarakat kita. Lucu memang, karena di satu sisi masyarakat kita menjadi penganut Islam yang taat, tapi di sisi lain masayrakat kita ternyata tetap percaya dengan hal-hal Ghaib. Di daerah yang menjadi setting novel saya tersebut, yaitu di daerah pedalaman Sumatra Selatan lebih tepatnya di daerah yang dilewati oleh Sungai Musi, masyarakat tetap percaya bahwa jika sudah lebih dari pukul sembilan malam jangan pernah turun ke sungai jika tidak mau celaka. Memang belum pernah ada yang membuktikan, tapi masyarakat percaya bahwa ada hantu air yang akan muncul untuk mencari mangsa setelah lewat pukul sembiilan malam itu. Belum lagi ada peraturan lain yang terkait dengan dunia lain seperti tidak boleh keluar kampung lewat dari tengah malam, atau harus bagaimana jika bertemu siapa, dan sebagainya. Semua kepercayaan itu masih tetap hidup sampai sekarang, meskipun menurut saya pemahaman Islam masyarakat di wilayah tersebut terbilang bagus. Mereka bahkan berusaha untuk meninggalkan semua hal-hal yang berbau bid'ah. Tapi tetap... mereka tetap saja percaya pada hal-hal yang berbau Ghaib.
Bagaimana memperbaiki kondisi ini? Itu bukan sesuatu yang akan saya kupas di novel saya dalam hal ini. Itu sebabnya jika membaca novel saya ini maka tidak akan bisa ditemui apa yang harus dilakukan oleh kita, sebagai Umat Islam, ketika berhadapan dengan santet. Karena yang saya ceritakan di dalam novel ini adalah ... ini loh, ada budaya santet, dan banyak kasus yang seram-seram akibat praktek santet.
Sedangkan pertanyaan kedua, saya mau cerita dulu nih. Ada perbedaan antara lamanya proses penulisan dan lamanya proses penerbitan. Jujur saja, sejak saya mengajukan draft novel ini ke penerbit dan ada jawaban diterima itu, hanya memerlukan waktu dua minggu. Sedangkan jarak setelah penerimaan dan akhirnya diterima itu, cuma tiga bulan. Jadi, kurang dari empat bulan novel saya sudah terbit terhitung sejak saya mengajukannya ke penerbit. Itu jika ditanya lama proses penerbitannya. Maka jawaban saya: tidak lama. Tapi, jika ditanya lama proses penulisannya, nah itu lain lagi ceritanya. Saya menulis novel ini sejak tahun 2010. Setelah separuh jadi, tiba-tiba saya membaca ada info lomba novel. Wah, saya semangat pingin mengikut sertakan novel ini di lomba tersebut karena saya merasa novel ini spesial. Lahir karena sebuah cita-cita idealis tersendiri. Tapi, ternyata saya belum beruntung di lomba ini. Jadi, saya endapkan dulu, lalu saya baca lagi, lalu saya edit lagi, perbaikan sana sini, lalu ada lomba lain saya masukkan lagi. Ngotot pokoknya harus ikut lomba dan pinginnya menang lomba. (hehehe). Tapi, ternyata masih kalah juga. Berbesar hati karena sempat masuk 100 besar. Tapi tetap saja... kalah. Lalu saya perbaiki lagi. Saya endap, saya baca, dan kembali diperbaiki. Dan ketika ada lomba ketiga ternyata masih juga belum berhasil, saya memutuskan untuk tidak lagi ngotot harus ikut lomba. Mungkin memang harus diterbitkan. Kebetulan ada teman yang memberitahu bahwa ada penerbit yang mencari naskah novel Islami. Saya coba kesana eh... memang jodohnya diterbitkan rupanya. Alhamdulillah. Jadi, kalah dalam lomba bukan berarti jelek. Tapi mungkin memang jodohnya bukan disana saja. hehehe.
Selanjutnya, moderator Elita Duatnova melemparkan kesempatan untuk pertanyaan kedua sebelum masuk ke sesi bedah novel selanjutnya, yaitu bedah novel Irhayati Harun, Rumah Mande.
Pertanyaan dari Penanya kedua: Mbak, saya pernah ketika sedang melewati rak-rak buku di toko buku, ada yang menulis tentang Menjadi Kaya raya Dengan Menulis. Nah, yang saya ingin tanyakan dari penulis-penulis kita ini, sebenarnya bisa tidak sih kita itu kaya raya dengan menulis?
Jawaban Ade Anita: Menjadi kaya raya dengan menulis, mungkin gak sih? Maka saya jawab amat sangat dimungkinkan pak.
Saya, punya teman yang memiliki penghasilan tiga puluh juta sebulan hanya dengan menulis saja. Jumlah nominal sebesar itu benar-benar jumlah yang fantastis kan ya? Terus gimana caranya? Nah... saya ingin memberi penekanan sekali lagi pada pernyataan, Menjadi Kaya Raya dengan Menulis ya pak, jadi kita pisahkan dulu dengan dunia penerbitan.
Menulis dan menerbitkan buku itu sesuatu yang berbeda. Menerbitkan buku berarti kita membuat sebuah buku lalu diedarkan dan royalti dari penjualan buku tersebutlah yang akan kita terima kelak. Ada seorang penulis di Amerika sana, saya lupa namanya, yang menulis dalam setahun itu 24 buku. Wow, fantastis kan ya. Nah, karena buku-bukunya best seller semua maka dia pun menjadi penulis terkaya di Amerika sana dan penghasilannya bahkan melebihi penghasilan pegawai tetap di kantor-kantor. Di Indonesia bagaimana, bisa gak kita melakukan hal seperti itu? Bisa saja. Karena begini, sebuah buku itu, jika memakai sistem royalti maka royalti turun setiap enam bulan sekali. Gimana caranya agar kita bisa mendapat penghasilan setiap bulan? Berarti kita harus berusaha agar bisa menulis dan menerbitkan dua belas buku dalam setahun. Setiap tahun. Sanggup tidak? Jika sanggup, insya Allah kita akan bisa kaya raya dari menulis.
Tapi, teman saya yang berpenghasilan tiga puluh juta sebulan itu, ternyata tidak hanya menerbitkan buku pak. Dia benar-benar melakukan pekerjaan full time sebagai penulis. Kesempatan menulis apa saja dia ambil dan kerjakan. Dia mengerjakan permintaan penulisan jalan cerita untuk slot iklan di televisi. Untuk iklan yang punya jalan cerita di televisi itu, sinopsis yang kita tulis itu bisa dihargai minimal lima ratus ribu untuk beberapa detik tayang iklan. Lalu, teman saya juga mengambil kesempatan untuk menulis iklan di media cetak. Jika bapak memperhatikan iklan di halaman media cetak, kan suka ada jalan ceritanya tuh meski diutarakan dengan bahasa gambar dan kalimat persuasif iklan. Nah, dia dibayar minimal dua juta rupiah untuk selembar sinopsis iklan tersebut. Belum lagi dia mengambil jasa penulisan sebgai Ghost Writer, juga sinopsis sinetron, film pendek, dan event-event lomba yang berhadiah materi, dan jangan lupa. Sekarang itu eranya Ngeblog. Menulis review di blog itu juga ada bayarannya. Nah, jadi bisa dimengerti jika kita sanggup untuk mendedikasikan diri kita untuk menjadi penulis full time, maka bisa saja menjadi kaya raya dengan menulis. Semua tergantung kemauan dan kemampuan masing-masing kok pak.
Elita Duatnova: Nah pak, gimana? Mau mencoba? Gak usah susah-susah kok pak, cukup bisa menerbitkan buku setiap dua bulan satu buku jadi kita juga bisa kok dapat royalti setiap bulannya nanti.
Nah.. dengan demikian, berakhir ya bedah novel "Yang Tersimpan di Sudut Hati". Sekarang, kita akan membedah novel berikutnya nih teman-teman. Yaitu novel dari Irhayati Harun, Rumah Mande.
Selanjutnya, mari membaca laporan dari Irhayati Harun ya di tulisan berikutnya.
makasih
ReplyDelete