Oleh : Ade Anita
Masih ingat tulisan saya bahwa sebuah
diary bisa menjadi sebuah kotak harta karun untuk sebuah tulisan? Nah, berikut
ini ada sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh teman kita Riani Desinastiti.
Simak bareng-bareng yuk pertanyaannya:
Diary
day
Tersandung
Kaki Sendiri Ini sebenarnya kejadian berulang yang saya alami. Bukan sekali dua
kali, tapi beberapa kali. Bahkan berpotensi menjadi bahaya laten. Buat saya
sendiri tentunya. Tersandung kaki sendiri di sini bukan secara harfiah (walau
pernah juga mempermalukan diri sendiri dengan cara ini di tempat umum). Saya
sering tersandung kaki sendiri saat menulis cerita. Selalu ada peristiwa
tertentu yang menggerakkan saya untuk menulis. Dan biasanya peristiwa itu
‘jleb’ banget di hati.
Saya rasa semua penulis juga begitu, karena pada
fasarnya cerita fiksi mendasarkan diri pada sekumpulan fakta yang dialami
penulis, langsung atautidak langsung. Hanya saja, mungkin, penulis lain sudah
lebih dulu menemukan cara melangkah yang rapi sementara saya masih serampangan
(jadinya keserimpet sendiri deh, hehehe).
Jelasnya begini: saya sering terbawa
oleh perasaan sendiri. Tenggelam menjadi si tokoh, dan sulit menjaga jarak
dengan jalan cerita. Nggak membahayakan siapa-siapa sih, memang. Tapi membuat
alur atau penggambaran karakter jadi nggak jelas. Pilihan diksinya bisa menjadi
lebay atau terlalu datar dan nggak fokus. Benar
nggak sih? Sepertinya iya.
Maka jika ada yang pernah menyarankan setelah
menulis satu cerita, endapkan dahulu. Tinggalkan beberapa lama, untuk kemudian
kita baca ulang. Karena jika tak ada rentang waktu, tulisan kita akan terlihat
keren terus (ya iya lah, kan kita yang nulis hehehe). Ohya, ini nggak berlaku
buat banyak sekali penulis lain, lho. Banyak yang sekali jadi, dan benar-benar
keren.
Contohnya
begini, ada kejadian nyata yang membuat saya sedih dan saya tulis ceritanya
(tentu dengan tambahan peristiwa rekaan saya). Tentang laki-laki baik, tapi
terbawa nasib kurang beruntung, dan masuk penjara. Jika malam tiba, entah
kenapa, ia dipukuli penjaga. Kecuali ia membayar sejumlah uang, ia akan terus
dipukuli. Malangnya, ia tak punya uang. (Ini fakta. Serius.). Ini cuplikan
tulisan saya:
... Ia seolah berada di lingkaran pekat. Lelah, luka, dinding-dinding keangkuhan, menari-nari. Lilitan hutang, desakan istri, kecintaan dunia, menghempas-hempas. Ia ingin melepaskan semua. Ia tak bisa menggerakkan badannya. Bahunya kini berguncang. Ia ingin pulang ke pelabuhan cintanya, keluarga kecilnya. Jika tak bisa, ia ingin pulang ke tempat jiwa-jiwa terbuang. Tuhan tak boleh menolakku. Ia tak bertanya padaku saat menyimpanku di rahim mama. Jadi Ia tak boleh bertanya saat aku memaksa pulang. Laki-laki itu memejamkan mata. Ia tak punya pisau atau racun. Tapi ia punya do’a. Setelah do’a dipanjatkan, ia memutuskan untuk tidur dan berharap takkan pernah lagi melihat dunia. Tuhan pasti mengerti keinginannya… Ia tersenyum membayangkan akhirnya ia benar-benar akan pulang.
Saya,
penulis cerita ini, bisa menangis saat membaca paragraf di atas. Tentu karena
saya ‘tahu’ ceritanya. Tapi pembaca lain? Mungkin biasa saja, atau malah ada
yang mengerutkan kening nggak paham. Artinya, saya belum berhasil membawa
pmbaca mersapi penderitaan tokoh. Saya terlalu asyik dengan diri sendiri. Dan
tersandung. Masih ada beberapa contoh lain (tapi karena sepertinya lebih parah,
jadi tidak disertakan di sini hihihi). Nah, seperti apa sih cara paling efektif
untuk bisa konsisten berdiri di tempat yang seharusnya. Apa benar hanya dengan
mengendapkannya beberapa lama, atau meminta teman membaca dan mengomentari
tulisan kita? Ada nggak self-guardian yang cukup efektif buat kita?
Sudah membaca masalah di
atas?
Bagaimana menurut kalian? Apa yang
menjadi kendala dari Riani tersebut sehingga pengalaman dan khayalan dia
yang seharusnya menjadi kotak harta karun bagi tulisannya justru malah
menjadi kotak PANDORA. Yaitu kotak yang untuk membukanya, dibutuhkan pencarian
teka-teki dan harus menemukan kunci khususnya. Alias, "menyusahkan
banget".
Menurut saya pribadi, (ade anita),
kunci dari kesulitan yang dihadapi oleh Riani ini adalah:
1. Rencana menulis-nya, tidak dibuatkan
sebuah kerangka tulisan terlebih dahulu. Entah kenapa tapi saya selalu merasa
bahwa tulisan yang tidak dibuat kerangka akan cepat sekali menguap.
Apa itu kerangka tulisan: yaitu
sebuah rencana penulisan. Mungkin sebagian orang mengatakannya dengan istilah
PLOT atau Sinopsis.
Jika kalian punya sebuah diary, dan
ingin mengangkatnya menjadi sebuah tulisan, buatlah sebuah rencana matang
terlebih dahulu mau dibuat seperti apa tulisan itu kelak.
Ada banyak keuntungan dari pembuatan
rencana penulisan tersebut.
a. Kita jadi bisa berempati pada tulisan
kita. Tidak lagi simpati. JIka seorang penulis memiliki sebuah simpati pada tulisannya,
maka jika tulisan itu tulisan yang berisi kesedihan maka bisa jadi dia sibuk
dengan menangis dan menata hatinya ketika menyelesaikan tulisannya. Akhirnya,
dia jadi tidak fokus pada tulisannya. Buat dia tulisannya itu amat menyedihkan,
buat pembaca tulisan dia 'sesuatu yang absurb' alias sesuatu yang
membingungkan. Menulis adalah bercerita pada orang lain dan orang lain itu
tidak tahu apa-apa sebelumnya tentang cerita kita. Jadi, kalau cerita lucu lalu
kitanya kebanyakan ketawa sendiri akhirnya ceritanya lucunya juga jadi aneh
kan? atau cerita sedih tapi kita kebanyakan nangisnya daripada ceritanya,
sedihnya jadi nggak sedih sama sekali.
Ingat: menulis adalah
melakukan karya seni.
b. Jika kita lelah, kita bisa
meninggalkan sejenak tulisan tersebut. Istilahnya "mengendapkan".
Mengendapkan ini sebenarnya dalam rangka untuk ber-empati pada tulisan kita.
Setelah mengendapkan tulisan yang kita tulis itu akan menjadi tulisan berbeda
seakan-akan bukan kita yang membuatnya. Nah, kita bisa membacanya dengan lebih
objektif. Dan kerangka tulisan berfungsi untuk memberi petunjuk bagian apa lagi
yang masih harus ditambahkan atau dieksplore dan bagian mana yang sudah
berlebihan alurnya.
Sekarang, bagaimana cara membuat
SINOPSIS dari sebuah diary yang akan kita jadikan tulisan:
Ini rumus yang saya pegang. RUmus ini
saya dapatkan ketika duluuu pernah diajak buat nulis sinopsis macam2 di luar
sana. Yaitu rumus: 25 to 40.
25 to 40.
apa itu?
usia produktif seorang penulis?
Bukan. Itu adalah batas sebuah kerangka penulisan.
Yaitu, buat sebuah cerita, dari awal
sampai akhir dimana di dalamnya sudah ada tokohnya, konfliknya, settingnya,
openingnya, endingnya, dan semua itu harus dalam rangkaian kalimat yang
jumlahnya kata-katanya tidak boleh kurang dari 25 kata dan tidak boleh lebih
dari 40 kata.
Kenapa begitu?
Karena jika kurang dari 25 kata: cerita
yang kalian buat itu sudah pasti belum matang. Nanti kalian akan kesulitan
sendiri menyelesaikannya sampai berakhir.
Sedangkan jika lebih dari 40 kata: maka
kalian sudah menyulitkan diri sendiri. Ide-ide yang muncul banyak dan mungkin
sifatnya lebay, sementara inti cerita terabaikan. Akhirnya, idem, cerita kalian
tidak akan selesai juga.
Nah.. gimana?
Mau mencoba menerapkan rumus yang saya
miliki tersebut? Coba deh.
-----------------------------
Diary dari teman
kita di atas akhirnya mendapat beberapa komentar ketika ditayangkan pada hari
Senin, 21 April 2014 at 12:51. Berikut ini adalah beberapa komentar terpilih yang
bisa menjadi masukan tersendiri bagi Diary di atas.
------------------------------
Mugniar
Bundanya Fiqthiya Jadi, ide keren
tapi kalau konsep dan pengolahannya tidak matang .. bisa mentah lagi ya ....
Ade Anita Full Mugniar
Bundanya Fiqthiya: bener banget. Ide
keren
tapi kalo gak dimatengin jadi gak jadi dia.
Nur
Aliah Saparida maaf baru bisa
gabung..3 minggu lagi sibuk banget..pemilu, acaea keluarga daann mbah sakit
sekarang aku yang sakit *duniaharustahu #gapenting
aku sering banget kayak gitu tuch mba..meninggalkan tulisan separo jalan..susah banget buat konsisten..perlu sampe tiga hari buat menyelesaikan satu postingan blog...sedih ya...apalagi resensi buku..bisa empat hari...maaf ya contohnya blog soalnya kalau cerpen bisa lebih lama lagi...aku coba ah rumusnya mba Ade Anita Full..
aku sering banget kayak gitu tuch mba..meninggalkan tulisan separo jalan..susah banget buat konsisten..perlu sampe tiga hari buat menyelesaikan satu postingan blog...sedih ya...apalagi resensi buku..bisa empat hari...maaf ya contohnya blog soalnya kalau cerpen bisa lebih lama lagi...aku coba ah rumusnya mba Ade Anita Full..
Ade Anita Full Nur
Aliah Saparida: sama saja sebenarnya.
Nih.. misalnya nih, GA yang aku adain tuh... (hehehhe, sekalian promo bahwa aku
lagi bikin GA, liat di blog aku ya)... temanya kan tentang ikhlas. Yaitu
perbuatan ikhlas apa yang pernah dilakukan untuk memperoleh ketenangan. Nah..
sekarang mari pikirkan kira2 mau nulis apa disana. Susun dulu rencana
penulisannya dengan cara: siapa yang jadi tokoh ceritamu, berapa usianya, jenis
kelaminnya apa, konflik dia apa, apa faktor pendukung untuk dia melakukan
ikhlas, apa faktor penghambatnya, bagaimana penyelesaian untuk mewujudkan
ikhlas tersebut, apa hasil akhir yang diperoleh dari perbuatan itu.... nah..
coba susun rencana penulisannya dalam 25 s.d 40 kata... setelah mendapatkan
rencana penulisan itu.. saranku selanjutnya adalah: dengerin lagu2 yang
mendukung ke arah penulisan, atau baca-baca apa saja yang mendukung tulisanmu
atau mirip2 dengan kasusmu, atau nonton film... nah.. ini yang aku suka.. kalo
aku lebih sering nonton film buat nyari ide.... simak kata-kata mutiara atau
quotes-quotes cantik yang bisa bikin kamu terinspirasi... setelah itu.. baru
susun kalimatnya... usahakan tulisan itu tidak keluar dari kerangka penulisan
yang sudah kamu buat. Gimana? mau mencobanya?
Esti
Sulistyawan Aq baru denger
nih mbak Ade,
25-40...thx for sharing
Ade Anita Full Esti
Sulistyawan: ini tuh awalnya batas sinopsis
yang kita ajuin kalo mau ikutan audisi pembuatan iklan televisi atau sinetron
atau FTV... tapi ketika diterapkan ternyata ampuh untuk menyelsaikan masalah
penulisan.
Rena Puspa Berempati
sama tulisan kita... Iihh.,. Suka nih dg istilahnya, beneran... Aku jg klo dah
napsu pgn cpt beres... Rasanya jln crtanya pgn dibikin instan aja ... Xixi, tp
dg cara berempati dg tokoh2 yg kita buat... Crtanya jd ngalir...
Ade Anita Full Iya
benerr.. biar gimanapun posisi kita adalah dalang.. bukan wayang dalam tulisan
kita tersebut.
Riani
Desinastiti Siswanto yang nanya malah
baru nongol. maaf De. Ya bener. sepetinya itu yang aku butuhin ya. nulis plot.
belum membiasakan diri untuk itu. seringnya kalo ada ide, langsung dituangin.
baru edit2 sesudahnya. 25 sampai 40... menarik banget. aku mau lihat seberapa
jauh aku bisa buat yang ini. pasti perlu latihan banyak untuk bisa
Ade Anita Full Riani Desinastiti Siswanto:
sekarang, aku mau tanya dulu, sebenarnya kamu mau cerita apa? tokohmu usianya
berapa? cewek atau cowok? pendidikannya apa? tinggalnya dimana? siapa yang
bakalan jadi tokoh kontra untuk tokohmu? siapa yang bakalan jadi
tokoh pro-nya? konflik yang dihadapi tokoh utamamu itu apa? rencanamu
nantinya konflik itu mau diselesaikan dengan cara apa?... nah. coba tolong
jawab semua pertanyaanku ini dalam 25 s/d 40 kata deh. Nanti kamu akan dapat
sebuah kerangka penulisan. Eh... apa ini jadi PR buatmu aja ya? gimana?
sekalian latihan?
Riani
Desinastiti Siswanto walaaah... pe er
ya. hehehe. Boleh deh aku coba kerjain. Ditaruh di blog BAW? Boleh aja..
Ade Anita Full Riani Desinastiti Siswanto:
iya... soalnya kadang-kadang menulis itu harus dipaksa.. bisa dengan cara
pasang batas Dateline.. bisa juga dengan cara ubah dia menjadi PR yang wajib
dikerjain... kalau tidak ada target kadang malas yang muncul.
Riani
Desinastiti Siswanto Jadi ngerti aku
bahwa "hobi" menulis nggak sama dengan "menulis"...
persiapan dan tujuan harus matang. Aku senang baca buku, denger musik, apalagi
nonton... dan memang banyak yang masih nempel di kepala.. tapi hobi menulisku
itu memang benar-benar hobiyang aku lakukan senyaman yang aku mau.. hehehe.
Meski ada satu2nya tulisan yang lolos media, kayaknya itu kebetulan pikirannya
lagi lempeng. Jelas lah De Ade
Anita Full, aku mau nyoba. Siapa tahu bisa
bikin buku kayak ente hehehe (mimpi..). Tunggu ya nanti aku kirim pe erku. tapi
di inbox aja ya
- Shabrina
Ws Ada istilah, menulis
dengan emosi, tumpahkan semua perasaan dan endapkan baru perbaiki. Atau
tulis dengan hati dan perbaiki dengan pikiran.
Sebanyak apapaun masukan yang kita terima, pada akhinya kita yang menentukan mana yang akan kita pakai untuk naskah kita. Kalau untuk paragrap ini...
-----Ia seolah berada di lingkaran pekat. Lelah, luka, dinding-dinding keangkuhan, menari-nari. Lilitan hutang, desakan istri, kecintaan dunia, menghempas-hempas. Ia ingin melepaskan semua. Ia tak bisa menggerakkan badannya. Bahunya kini berguncang. Ia ingin pulang ke pelabuhan cintanya, keluarga kecilnya. Jika tak bisa, ia ingin pulang ke tempat jiwa-jiwa terbuang. Tuhan tak boleh menolakku. Ia tak bertanya padaku saat menyimpanku di rahim mama. Jadi Ia tak boleh bertanya saat aku memaksa pulang. Laki-laki itu memejamkan mata. Ia tak punya pisau atau racun. Tapi ia punya do’a. Setelah do’a dipanjatkan, ia memutuskan untuk tidur dan berharap takkan pernah lagi melihat dunia. Tuhan pasti mengerti keinginannya… Ia tersenyum membayangkan akhirnya ia benar-benar akan pulang.-----
mungkin karena hanya potongan kecil dari cerita yang Mbak Riani Desinastiti Siswanto tulis ya. Jadi saya membacanya pun juga nggak nangis. Mungkin bisa dishare di sini Mbak cerpennya? *jadi penasaran.
Untuk menyampaikan apa yang kita rasakan kepada pembaca juga bisa dengan mengurangi metafor, taruh di tempat yang tepat. Menggunakan majas-majas memang memperindah cerita, namun kalau kebanyakan akan memburamkan apa yang hendak disampaikan.
Ada lagi istilah AS Laksana, cobalah berdialog dengan tokoh kita, lakukan tanya jawab.
Fauziah
Fachra setuju ama Shabrina
Ws, metafor yg byk memang bisa memperindah
cerita, tapi berpotensi mengurangi 'kedalaman' cerita
Dwi
Rahmawati baru tahu rumus
25 to 40. tq mb ade
Riani
Desinastiti Siswanto aduh, memang
tadinya mau ditulis semuanya ke Ade
Anita Full, tapi kurang pede hehehe. boleh deh
tapi di inbox mbak Shabrina
Ws gimana? hehehe #nyengir malu
***
*) Tulisan ini adalah materi dan resume pertanyaan dari kelas diaryday di grup BAWCommunity
Terima kasih atas sharingnya, Bunda :)
ReplyDelete25-40 : segera dipraktikkan :)
Sama2
DeleteWah,..mantap, sharenya sangat membantu bagi kami yang masih belajar..kadang saya pribadi kalau menulis tidak hanya sebagai dalang, tapi lebih sering ikut menjadi wayangnya..soalnya lebih terasa mendalam ceritanya karena kita ikut langsung menyaksikan kisah yang kita tulis...(saya sering kesulitan untuk melepaskan diri dari alur cerita,.selalu saja ikut terjun..)
ReplyDeleteKekurangan kita jadi wayang itu adalah kita jadi gak tau bagaimana pendapat pembaca tulisan kita terhadap tulisan kita. Kitanya dah ngerasa lucu padahal sebenarnya buat pembaca masih garing... itu misalnya. Atau seperti kasus di atas. Kita ngerasa dah sedih duluan padahal pembaca belum namun dimanfaatkan sedihnya.
Delete25 - 40 ya? Ilmu baru ini
ReplyDeleteLalu, bagaimana cara mematangkan kerangka supaya eksekusinya nanti tidak berputar-putar?
Terimakasih sharenya, dik (saya panggil dik aja ya hehe ... maklum saya sdh tuwek, tapi masih gagal bikin tulisan)
saya catat, ah. Thx :)
ReplyDeleteGood Job
ReplyDelete