Thursday, May 29, 2014

Belajar Menulis Resensi

Santi Artanti

By : Santi Artanti

Dear temen-temen BaW community tersayang.. J
Sebenarnya saya pengin ngibrit trus ngumpet di belakang tembok besar China ketika menemukan nama saya ada dalam daftar pemateri di kelas ini. Bukan apa-apa, tapi saya ngerasa ilmu kanuragan saya di dunia silat kata ini masih dangkaaal banget. Malu sama suhu-suhu di sini yang uda mencapai taraf mahir, menjadi pendekar kata mumpuni.. nuhuuun *sungkem satu-satu.


So, sebelumnya saya mohon maaf kalau materi kali ini nanti masih banyak bolong-bolongnya. Mungkin sebagian uda pernah mendapat pencerahan serupa di padepokan lain.. bisa tolong ditambahin untuk sarana belajar bersama. Jujur, saya sempet bingung musti mulai dari mana hihihi.. Selain karena belum pernah cuap-cuap di depan kelas secara formal, saya juga belum pernah nulis buku pelajaran.  Baiklah, tolong abaikan saja kegugupan saya yang sama sekali tidak keren ini.. Intinya, kita saling berbagi aja ya, belajar bersama.. *bayangin  belajar kelompok ala anak SD...

Oke, supaya materinya tidak melebar ke mana-mana, saya akan menggunakan metode jurnalistik 5W1H aja ya… Let’s goooo...

What: Apa itu Resensi?
Resensi berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata kerja ‘revidere’ atau ‘recensere’ yang artinya melihat kembali, menimbang atau menilai. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah ‘review’, sedangkan dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah ‘recensie’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Resensi diartikan sebagai pertimbangan, pembicaraan atau ulasan sebuah karya (buku, film, drama, dll). Tapi di sini kita akan fokus pada resensi bukuaja lho ya. Tentu kita sering banget kan melihat resensi buku di media cetak maupun online, baik itu yang singkat (memaparkan isi buku secara garis besarnya aja) atau dengan pembahasan yang lebih mendalam. Resensi berbeda dengan kritik sastra. Kalau dalam kritik sastra, banyak sekali celah-celah yang dikritisi dan mungkin cenderung ‘membantai’. Sedangkan dalam resensi, pembahasannya lebih berimbang (ada kritik, ada masukan juga untuk penulis dan karyanya).

Untuk kritik sastra, moga nanti ada suhu kita yang bersedia membagi ilmunya.. *kedip-kedip ke semua suhu :D

Who: Siapa aja yang bisa meresensi?
Kita semua.. cowok, cewek, tua, muda, nyak, babe, engkong, pelajar, mahasiswa, ilmuwan, tukang siomay, tukang koran atau tukang ojek… asaaaaal,dia rajin dan serius baca buku J. Untuk masalah teknisnya, bisa dipelajari sambil jalan.

Jadi syarat utamanya bisa dipersingkat dengan moto ‘I love books so much.

Where: Di mana aja kita bisa nulis resensi?
Media cetak maupun media online memberikan ruang yang luas untuk rubrik resensi. Kalau  masih coba-coba, kita bisa menggunakan sarana blog pribadi atau goodreads. Kita bisa mulai berlatih mengomentari sebuah buku dengan metode ‘suka-suka’. Jangan takut, sampaikan aja apapun kesanmu setelah membaca sebuah buku. Suka-suka di sini bukan berarti tanpa etika lho ya. Ingat, tujuan kita meresensi adalah untuk memahami atau menangkap maksud penulis/pengarang dengan karya yang dibuatnya, bukan menghakimi, apalagi menjatuhkan. Saya sering blog walking dan suka membaca resensi temen-temen di blognya, dari yang gaya bahasanya santai sampai yang formal.

Ada  beberapa media online yang nerima resensi buku, seperti okezone.com, rimanews, nabawia (tanpa honor), annida-online (dapat honor berupa pulsa). Meskipun tanpa honor, ini bisa kita jadikan sarana belajar awal, karena tidak semua resensi layak tayang lho di sana. Kalau sudah pe-de, kita bisa melirik media cetak. Ada segambreng media cetak yang masih mempertahankan rubrik resensi, seperti kompas, Kompas Anak,Media Indonesia, Koran Jakarta, Jawa Pos, Suara Merdeka, Lampung Post, Solo Pos dan lain-lain. (lebih lengkapnya, bisa dicek di blognya Muhammad Rasyid Ridho ini ya,  https://penulispembelajar.wordpress.com/2013/11/20/daftar-media-yang-menerima-resensi-buku/).Sepengetahuan saya, untukkoran Republika dan koran Joglosemar (koran lokal Solo), rubrik resensi sudah ada pengasuh dari redaksinya. Honor yang diberikan dari koran-koran tersebut bervariasi.

Kalau tingkat kepe-dean kita sudah bertambah, kita bisa mulai ikut lomba-lomba resensi yang biasanya diadakan oleh penerbit atau media cetak yang lain. Hadiahnya lumayan lho.. Malah, penerbit Indiva sepertinya menjadikan lomba resensi sebagai ajang tahunan. Di sepanjang tahun 2014 ini aja, penerbit Indiva menyelenggarakan ajang ‘reading challenge’ yang hadiahnya cukup menggiurkan.. tertarik buat ikutan? Yuuk, kita cobain.. Plak *keplak pala sendiri, karena ga konsisten ikutan lomba yang ini :D

When: Kapan kita bisa meresensi?
Waktu yang paling tepat buat meresensi sebuah buku adalah saat kita selesai membaca sebuah buku, jadi ingatan kita tentang buku tersebut masih seger, belum campur-campur sama ingatan kerjaan kantor, bayar arisan atau gosip infotainment :D

Oiya, kira-kira kapan resensi yang uda kita kirimkan ke sebuah media bisa tayang? Jawabannya juga bervariasi. Menurut pengalaman saya.. Koran Jakarta bisa menayangkan resensi kita sehari sampai dua minggu dari jarak kita mengirim naskah. Kalau sudah lebih dari dua minggu, lebih baik kita tarik buat ditawarkan ke tempat lain. Ssstt, resensi saya bahkan pernah dimuat di media online setelah hampir setahun  mengirimnya. Ada beberapa media yang bersedia mengkonfirmasi tayangnya resensi kita, tapi kebanyakan tidak. Kita sendiri yang harus pro aktif ngecek media yang kita kirimi naskah resensi. Kalau punya banyak temen yang hobi ngeresensi, ini lebih mengasyikkan. Biasanya mereka akan saling bantu memantau.

Why: Mengapa kita meresensi?
Mmm, just hobby? Ini tidak sepenuhnya salah. Ada beberapa orang yang enjoy aja nulis resensi dan ditayangin di blognya sendiri. Kepuasan mereka biasanya kalau ada feed back dari pembaca. Tapi ada juga yang nulis resensi dan rajin mengirimnya ke media cetak. Apalagi kalau bukan karena honor? Yup, nulis resensi (kalau benar-benar ditekuni) bisa menjadi sumber tambahan penghasilan. Selain itu, jika resensi kita dimuat media cetak, ada penerbit buku yang memberikan tambahan  hadiah berupa  buku-buku. So, koleksi buku kita nambah tanpa susah-susah membelinya kan? Sekadar catatan, Penerbit Tiga Serangkai memberikan tambahan honor Rp sekian jika resensi kita dimuat di koran nasional dan Rp sekian jika resensi kita dimuat di koran lokal (tentu untuk resensi buku terbitan penerbit itu). Penerbit Divapress (kalau tidak salah ingat, tolong ingatkan kalau salah) juga memberikan tambahan honor selain buku. Kelompok Kompas Gramedia dan Agro Media hanya memberikan rewards berupa buku untuk resensi yang tayang di media cetak. Sedangkan Mizan Grup, mereka rajin memberikan hadiah buku-buku untuk resensi yang tayang baik di media cetak maupun online. Asyik kan? Tapi kepuasan kita yang sebenarnya sih  bukan karena urusan materi melulu. Kalau nama kita sering nongol di media cetak, itu bisa menjadi tambahan portofolio kita yang akhirnya bisa menaikkan ‘bargaining position’ kita di masa mendatang.

Tahukah kalian, saat saya dapet kiriman berupa kalender dari sebuah penerbit hanya karena saya pernah meresensi buku terbitan mereka yang hanya sekali, itu udah membuat saya tersenyum bahagia :D

Ssstt, jangan bilang-bilang ya.. sebagian buku-buku yang saya miliki juga hasil gretongan dari penerbit-penerbit itu.

And the last but not least..

How: Bagaimana menulis resensi?
Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, pertama-tama kita harus rajin baca. Membaca di sini tidak sekadar baca, tapi bener-bener total, berusaha memahami keseluruhan isi buku. Lalu buatlah catatan-catatan penting atau beri tanda khusus bagian mana aja yang menurut kita menarik. Atau bisa juga mencatat point-point kelebihandan kelemahan buku tersebut. Intinya kita harus cermat. Ini akan memudahkan kita mengolah resensi.

Kalau menurut Hernowo, ada tiga macam teknik membuat resensi. Yuk, kita simak apa aja itu..

 Pertama, teknik ‘cutting and glueing’ yaitu, seorang peresensi hanya memotong tulisan lalu merekatkan kembali potongan-potongan tulisan tersebut. Ini teknik yang paling sederhana. Kalau saya perhatikan, Koran Jakarta cenderung menggunakan teknik ini. Pada awalnya, beberapa kali saya mengirim resensi ke Koran Jakarta, entah kenapa selalu ‘mental’. Lalu saya pelajari beberapa resensi yang tayang di sana. Ternyata resensi yang diminati adalah yang menyertakan kutipan-kutipan dari buku yang diresensi. Saya jadi tahu di mana letak kesalahan saya.

Kedua, teknik ‘focusing’ yaitu, seorang peresensi memfokuskan pada satu hal yang dipaparkan penulis dalam bukunya. Teknik ini yang saya pakai ketika nulis resensi novel ‘Cinta yang Membawaku Pulang’ (saya sertakan di akhir tulisan ini ya).

Ketiga, teknik ‘comparing’, yaitu peresensi membandingkan buku yang diresensi dengan buku lain. Ini yang sedang saya pelajari. Tidak mudah memang membanding-bandingkan sebuah karya. Selain kita dituntut untuk melahap berbagai macam bacaan, kita juga harus memiliki pengetahuan luas dari berbagai disiplin ilmu. Ini akan berfungsi sebagai tolok ukur ketika mengemukakan keunggulan dan kelemahan buku yang sedang kita resensi. Contoh resensi yang menggunakan teknik ini dan berhasil memukau saya adalah yang menjadi  juara 1 lomba resensi buku Indiva 2013 kemarin (silahkah ubek-ubek sendiri di web Indiva).

Nah, sekarang apa aja sih yang musti kita sertakan ketika meresensi selain isi dari buku tersebut? Yang wajib dan tidak bisa ditawar adalah identitas buku (cover buku, nama penulis/pengarang, penerbit, bulan/tahun terbit, kalo ada cetakan ke berapa, ISBN, tebal, kalau perlu harganya juga). Oiya tentang penyebutan penulis/pengarang jangan terbalik-balik ya. Penulis, jika karyanya berupa nonfiksi. Sedangkan pengarang, jika karyanya berupa fiksi. Lalu, unsur-unsur lain yang musti kita cermati antara lain dari segi kebahasaan, editing penerbitnya, pengemasan bukunya dan kerelevanan isi dengan kondisi sekarang.

Lebih spesifik lagi, untuk resensi fiksi dan nonfiksi tentu beda cita rasa. Saat meresensi fiksi, ada unsur-unsur intrinsik (unsur dari dalam fiksi itu) yang wajib kita cermati, seperti tema, plot/alur cerita, setting, penokohan dan lain-lain.Perlu diingat, ada baiknya tidak membeberkan keseluruhan cerita saat meresensi fiksi. Itu mah spoiler namanya. Berikan penangguhan cerita, agar pembaca resensi penasaran dengan buku yang sedang kita resensi. Memancing rasa penasaran pembaca adalah ending yang manis dari sebuah resensi.

Sedangkan untuk resensi nonfiksi, lebih ke isi secara garis besarnya. Kalau boleh saya istilahkan, tugas peresensi nonfiksi adalah kebalikan dari penulis bukunya. Sang penulis buku menyusun outline lalu menjabarkannya menjadi sebuah buku. Seorang peresensi membaca buku secara keseluruhan, lalu meringkas gagasan-gagasan itu. Jadi, hal yang sangat membantu saat menulis resensi nonfiksi adalah melihat daftar isi/outline buku tersebut.

Resensi yang baik akan terbentuk saat kita mampu menganalisis gagasan-gagasan penulis dan mendapatkan selling point dari buku yang bersangkutan. Akan lebih baik lagi, kalau kita mampu memberikan masukan-masukan bagi penulis/pengarang atas karyanya. Balance dalam menimbang kelebihan dan kekurangannya. Argumen-argumen yang kita sampaikan tentu akan lebih berbobot kalau kita memiliki pengetahuan yang luas. Karena itu, baca, baca dan bacalah segala hal. Tapi bukan berarti, kita lantas memasukkan istilah-istilah sulit yang kemungkinan jarang didengar oleh pembaca. Saya ingin meminjam istilah teman saya dan memodifikasinya, KISS (Keep It Simple and Smooth). Artinya kira-kira begini, menulis itu bukan untuk memberi tahu kalau kita pinter dan ngerti banyak kata-kata, tapi untuk mengkomunikasikan maksud kita secara efektif kepada pembaca. (Ups, ini mah pengalaman pribadi.. yang selalu mumet lihat istilah-istilah rumit :D)

Gimana, uda siap nulis resensi? Ups, hampir kelupaan.. sebelum mengirimkan resensi ke media, pelajari dulu ya karakter media tersebut. Resensi di Koran Jakarta tentu berbeda dengan resensi yang ada di Kompas. Resensi buku-buku islami tentu akan direspon oleh media-media islami. Resensi buku anak, tentu lebih simpel dari segi kebahasaan. Buku-buku yang masuk dalam daftar tayang media biasanya buku-buku baru, terbitan tahun berjalan. Seperti di tulisan-tulisan lainnya, pakailah judul yang ‘eye cathcing’ agar resensi kita dilirik redaksi dan pembaca.

Satu lagi, agar kita konsisten meresensi.. Jadilah pegamat buku sekaligus kolektor plus predator buku!

Pemateri :
SantiArtanti, pembelajar yang menyukaiduniabaca-tulis. Karya perdananya dalam bentuk buku solo telah diterbitkan oleh Penerbit Elex Media Komputindo, berjudul Friendship Never Ends.
PenyukapadangrumputitupernahmenjadiJuara II LombaResensi Novel Republika 2012. Diaterbukamenerimakritikdan saran yang membangun demi perbaikannya, lewat email: dreamyhollic@gmail.com atauklik 
www.dreamyhollic.blogspot.com. Akun Facebook (SantiArtanti), Twitter (@SantiArtanti) danGoodreads (SantiArtanti).

1 comment:

  1. Balance dalam menimbang kelebihan dan kekurangannya.
    Ini salah satu poin penting.
    Terima kasih :D

    ReplyDelete

Terima kasih telah berkunjung ke blog BaW. Mohon kritik dan komentar yang membangun untuk setiap postingan ;)