Santi Artanti |
By : Santi Artanti
Dear temen-temen BaW community tersayang..
J
Sebenarnya saya pengin ngibrit
trus ngumpet di belakang tembok besar China ketika menemukan nama saya ada
dalam daftar pemateri di kelas ini. Bukan apa-apa, tapi saya ngerasa ilmu
kanuragan saya di dunia silat kata ini masih dangkaaal banget. Malu sama
suhu-suhu di sini yang uda mencapai taraf mahir, menjadi pendekar kata mumpuni..
nuhuuun *sungkem satu-satu.
So, sebelumnya saya mohon maaf
kalau materi kali ini nanti masih banyak bolong-bolongnya. Mungkin sebagian uda
pernah mendapat pencerahan serupa di padepokan lain.. bisa tolong ditambahin
untuk sarana belajar bersama. Jujur, saya sempet bingung musti mulai dari mana
hihihi..
Selain karena belum pernah cuap-cuap di depan kelas secara formal, saya juga
belum pernah nulis buku pelajaran. Baiklah, tolong abaikan saja kegugupan saya
yang sama sekali tidak keren ini.. Intinya, kita saling berbagi aja ya, belajar
bersama.. *bayangin belajar kelompok ala
anak SD...
Oke, supaya materinya tidak melebar ke mana-mana,
saya akan menggunakan metode jurnalistik 5W1H aja ya… Let’s goooo...
What: Apa
itu Resensi?
Resensi berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata
kerja ‘revidere’ atau ‘recensere’ yang artinya melihat kembali,
menimbang atau menilai. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah ‘review’, sedangkan dalam bahasa Belanda
dikenal dengan istilah ‘recensie’. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Resensi diartikan sebagai pertimbangan,
pembicaraan atau ulasan sebuah karya (buku, film, drama, dll). Tapi di sini
kita akan fokus pada resensi bukuaja lho ya. Tentu kita sering banget kan
melihat resensi buku di media cetak maupun online, baik itu yang singkat (memaparkan
isi buku secara garis besarnya aja) atau dengan pembahasan yang lebih mendalam.
Resensi berbeda dengan kritik sastra. Kalau dalam kritik sastra, banyak sekali celah-celah
yang dikritisi dan mungkin cenderung ‘membantai’. Sedangkan dalam resensi,
pembahasannya lebih berimbang (ada kritik, ada masukan juga untuk penulis dan
karyanya).
Untuk kritik sastra, moga nanti ada suhu kita yang bersedia membagi ilmunya.. *kedip-kedip ke semua suhu :D
Who: Siapa
aja yang bisa meresensi?
Kita semua.. cowok, cewek, tua, muda, nyak, babe,
engkong, pelajar, mahasiswa, ilmuwan, tukang siomay, tukang koran atau tukang
ojek… asaaaaal,dia rajin dan serius baca buku J. Untuk masalah teknisnya, bisa dipelajari sambil jalan.
Jadi syarat utamanya bisa dipersingkat dengan moto ‘I love books so much.’
Where: Di
mana aja kita bisa nulis resensi?
Media cetak maupun media online memberikan ruang yang
luas untuk rubrik resensi. Kalau masih
coba-coba, kita bisa menggunakan sarana blog pribadi atau goodreads. Kita bisa
mulai berlatih mengomentari sebuah buku dengan metode ‘suka-suka’. Jangan
takut, sampaikan aja apapun kesanmu setelah membaca sebuah buku. Suka-suka di
sini bukan berarti tanpa etika lho ya. Ingat, tujuan kita meresensi adalah untuk
memahami atau menangkap maksud penulis/pengarang dengan karya yang dibuatnya,
bukan menghakimi, apalagi menjatuhkan. Saya sering blog walking dan suka membaca resensi temen-temen di blognya, dari
yang gaya bahasanya santai sampai yang formal.
Ada beberapa
media online yang nerima resensi buku, seperti okezone.com, rimanews, nabawia
(tanpa honor), annida-online (dapat honor berupa pulsa). Meskipun tanpa honor,
ini bisa kita jadikan sarana belajar awal, karena tidak semua resensi layak
tayang lho di sana. Kalau sudah pe-de, kita bisa melirik media cetak. Ada
segambreng media cetak yang masih mempertahankan rubrik resensi, seperti
kompas, Kompas Anak,Media Indonesia, Koran Jakarta, Jawa Pos, Suara Merdeka,
Lampung Post, Solo Pos dan lain-lain. (lebih lengkapnya, bisa dicek di blognya
Muhammad Rasyid Ridho ini ya, https://penulispembelajar.wordpress.com/2013/11/20/daftar-media-yang-menerima-resensi-buku/).Sepengetahuan
saya, untukkoran Republika dan koran Joglosemar (koran lokal Solo), rubrik
resensi sudah ada pengasuh dari redaksinya. Honor yang diberikan dari
koran-koran tersebut bervariasi.
Kalau tingkat kepe-dean kita sudah bertambah, kita
bisa mulai ikut lomba-lomba resensi yang biasanya diadakan oleh penerbit atau
media cetak yang lain. Hadiahnya lumayan lho.. Malah, penerbit Indiva
sepertinya menjadikan lomba resensi sebagai ajang tahunan. Di sepanjang tahun
2014 ini aja, penerbit Indiva menyelenggarakan ajang ‘reading challenge’ yang hadiahnya cukup menggiurkan.. tertarik buat
ikutan? Yuuk, kita cobain.. Plak *keplak pala sendiri, karena ga konsisten
ikutan lomba yang ini :D
When: Kapan
kita bisa meresensi?
Waktu yang paling tepat buat meresensi sebuah buku
adalah saat kita selesai membaca sebuah buku, jadi ingatan kita tentang buku
tersebut masih seger, belum campur-campur sama ingatan kerjaan kantor, bayar
arisan atau gosip infotainment :D
Oiya, kira-kira kapan resensi yang uda kita kirimkan
ke sebuah media bisa tayang? Jawabannya juga bervariasi. Menurut pengalaman
saya.. Koran Jakarta bisa menayangkan resensi kita sehari sampai dua minggu
dari jarak kita mengirim naskah. Kalau sudah lebih dari dua minggu, lebih baik
kita tarik buat ditawarkan ke tempat lain. Ssstt, resensi saya bahkan pernah
dimuat di media online setelah hampir setahun
mengirimnya. Ada beberapa media yang bersedia mengkonfirmasi tayangnya
resensi kita, tapi kebanyakan tidak. Kita sendiri yang harus pro aktif ngecek media
yang kita kirimi naskah resensi. Kalau punya banyak temen yang hobi ngeresensi,
ini lebih mengasyikkan. Biasanya mereka akan saling bantu memantau.
Why:
Mengapa kita meresensi?
Mmm, just hobby? Ini tidak sepenuhnya salah. Ada beberapa
orang yang enjoy aja nulis resensi dan ditayangin di blognya sendiri. Kepuasan
mereka biasanya kalau ada feed back
dari pembaca. Tapi ada juga yang nulis resensi dan rajin mengirimnya ke media
cetak. Apalagi kalau bukan karena honor? Yup, nulis resensi (kalau benar-benar
ditekuni) bisa menjadi sumber tambahan penghasilan. Selain itu, jika resensi
kita dimuat media cetak, ada penerbit buku yang memberikan tambahan hadiah berupa buku-buku. So, koleksi buku kita nambah tanpa
susah-susah membelinya kan? Sekadar catatan, Penerbit Tiga Serangkai memberikan
tambahan honor Rp sekian jika resensi kita dimuat di koran nasional dan Rp
sekian jika resensi kita dimuat di koran lokal (tentu untuk resensi buku
terbitan penerbit itu). Penerbit Divapress (kalau tidak salah ingat, tolong
ingatkan kalau salah) juga memberikan tambahan honor selain buku. Kelompok
Kompas Gramedia dan Agro Media hanya memberikan rewards berupa buku untuk resensi yang tayang di media cetak.
Sedangkan Mizan Grup, mereka rajin memberikan hadiah buku-buku untuk resensi
yang tayang baik di media cetak maupun online. Asyik kan? Tapi kepuasan kita
yang sebenarnya sih bukan karena urusan
materi melulu. Kalau nama kita sering nongol di media cetak, itu bisa menjadi
tambahan portofolio kita yang akhirnya bisa menaikkan ‘bargaining position’ kita di masa mendatang.
Tahukah kalian, saat saya dapet kiriman berupa
kalender dari sebuah penerbit hanya karena saya pernah meresensi buku terbitan
mereka yang hanya sekali, itu udah membuat saya tersenyum bahagia :D
Ssstt, jangan bilang-bilang ya.. sebagian buku-buku
yang saya miliki juga hasil gretongan dari penerbit-penerbit itu.
And the last but not least..
How:
Bagaimana menulis resensi?
Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya,
pertama-tama kita harus rajin baca. Membaca di sini tidak sekadar baca, tapi
bener-bener total, berusaha memahami keseluruhan isi buku. Lalu buatlah
catatan-catatan penting atau beri tanda khusus bagian mana aja yang menurut
kita menarik. Atau bisa juga mencatat point-point kelebihandan kelemahan buku
tersebut. Intinya kita harus cermat. Ini akan memudahkan kita mengolah resensi.
Kalau menurut Hernowo, ada tiga macam teknik membuat
resensi. Yuk, kita simak apa aja itu..
Pertama,
teknik ‘cutting and glueing’ yaitu,
seorang peresensi hanya memotong tulisan lalu merekatkan kembali
potongan-potongan tulisan tersebut. Ini teknik yang paling sederhana. Kalau
saya perhatikan, Koran Jakarta cenderung menggunakan teknik ini. Pada awalnya,
beberapa kali saya mengirim resensi ke Koran Jakarta, entah kenapa selalu
‘mental’. Lalu saya pelajari beberapa resensi yang tayang di sana. Ternyata
resensi yang diminati adalah yang menyertakan kutipan-kutipan dari buku yang
diresensi. Saya jadi tahu di mana letak kesalahan saya.
Kedua, teknik ‘focusing’
yaitu, seorang peresensi memfokuskan pada satu hal yang dipaparkan penulis
dalam bukunya. Teknik ini yang saya pakai ketika nulis resensi novel ‘Cinta
yang Membawaku Pulang’ (saya sertakan di akhir tulisan ini ya).
Ketiga, teknik ‘comparing’, yaitu peresensi
membandingkan buku yang diresensi dengan buku lain. Ini yang sedang saya
pelajari. Tidak mudah memang membanding-bandingkan sebuah karya. Selain kita
dituntut untuk melahap berbagai macam bacaan, kita juga harus memiliki
pengetahuan luas dari berbagai disiplin ilmu. Ini akan berfungsi sebagai tolok
ukur ketika mengemukakan keunggulan dan kelemahan buku yang sedang kita
resensi. Contoh resensi yang menggunakan teknik ini dan berhasil memukau saya
adalah yang menjadi juara 1 lomba
resensi buku Indiva 2013 kemarin (silahkah ubek-ubek sendiri di web Indiva).
Nah, sekarang apa aja sih yang musti kita sertakan
ketika meresensi selain isi dari buku tersebut? Yang wajib dan tidak bisa
ditawar adalah identitas buku (cover buku, nama penulis/pengarang, penerbit,
bulan/tahun terbit, kalo ada cetakan ke berapa, ISBN, tebal, kalau perlu
harganya juga). Oiya tentang penyebutan penulis/pengarang jangan terbalik-balik
ya. Penulis, jika karyanya berupa nonfiksi. Sedangkan pengarang, jika karyanya
berupa fiksi. Lalu, unsur-unsur lain yang musti kita cermati antara lain dari
segi kebahasaan, editing penerbitnya, pengemasan bukunya dan kerelevanan isi
dengan kondisi sekarang.
Lebih spesifik lagi, untuk resensi fiksi dan nonfiksi
tentu beda cita rasa. Saat meresensi fiksi, ada unsur-unsur intrinsik (unsur
dari dalam fiksi itu) yang wajib kita cermati, seperti tema, plot/alur cerita,
setting, penokohan dan lain-lain.Perlu diingat, ada baiknya tidak membeberkan
keseluruhan cerita saat meresensi fiksi. Itu mah spoiler namanya. Berikan penangguhan cerita, agar pembaca
resensi penasaran dengan buku yang sedang kita resensi. Memancing rasa penasaran
pembaca adalah ending yang manis dari
sebuah resensi.
Sedangkan untuk resensi nonfiksi, lebih ke isi secara
garis besarnya. Kalau boleh saya istilahkan, tugas peresensi nonfiksi adalah
kebalikan dari penulis bukunya. Sang penulis buku menyusun outline lalu
menjabarkannya menjadi sebuah buku. Seorang peresensi membaca buku secara
keseluruhan, lalu meringkas gagasan-gagasan itu. Jadi, hal yang sangat membantu
saat menulis resensi nonfiksi adalah melihat daftar isi/outline buku tersebut.
Resensi yang baik akan terbentuk saat kita mampu
menganalisis gagasan-gagasan penulis dan mendapatkan selling point dari buku yang bersangkutan. Akan lebih baik lagi,
kalau kita mampu memberikan masukan-masukan bagi penulis/pengarang atas
karyanya. Balance dalam menimbang
kelebihan dan kekurangannya. Argumen-argumen yang kita sampaikan tentu akan
lebih berbobot kalau kita memiliki pengetahuan yang luas. Karena itu, baca,
baca dan bacalah segala hal. Tapi bukan berarti, kita lantas memasukkan
istilah-istilah sulit yang kemungkinan jarang didengar oleh pembaca. Saya ingin
meminjam istilah teman saya dan memodifikasinya, KISS (Keep It Simple and
Smooth). Artinya kira-kira begini, menulis itu bukan untuk memberi tahu kalau
kita pinter dan ngerti banyak kata-kata, tapi untuk mengkomunikasikan maksud
kita secara efektif kepada pembaca. (Ups, ini mah pengalaman pribadi.. yang
selalu mumet lihat istilah-istilah rumit :D)
Gimana, uda siap nulis resensi? Ups, hampir
kelupaan.. sebelum mengirimkan resensi ke media, pelajari dulu ya karakter
media tersebut. Resensi di Koran Jakarta tentu berbeda dengan resensi yang ada
di Kompas. Resensi buku-buku islami tentu akan direspon oleh media-media
islami. Resensi buku anak, tentu lebih simpel dari segi kebahasaan. Buku-buku
yang masuk dalam daftar tayang media biasanya buku-buku baru, terbitan tahun
berjalan. Seperti di tulisan-tulisan lainnya, pakailah judul yang ‘eye cathcing’ agar resensi kita dilirik
redaksi dan pembaca.
Satu lagi, agar kita konsisten meresensi.. Jadilah pegamat
buku sekaligus kolektor plus predator buku!
Pemateri :
SantiArtanti,
pembelajar yang menyukaiduniabaca-tulis. Karya perdananya dalam bentuk buku solo telah diterbitkan oleh Penerbit Elex Media
Komputindo, berjudul Friendship Never Ends.
PenyukapadangrumputitupernahmenjadiJuara II LombaResensi Novel Republika 2012. Diaterbukamenerimakritikdan saran yang membangun demi perbaikannya, lewat email: dreamyhollic@gmail.com atauklik www.dreamyhollic.blogspot.com. Akun Facebook (SantiArtanti), Twitter (@SantiArtanti) danGoodreads (SantiArtanti).
PenyukapadangrumputitupernahmenjadiJuara II LombaResensi Novel Republika 2012. Diaterbukamenerimakritikdan saran yang membangun demi perbaikannya, lewat email: dreamyhollic@gmail.com atauklik www.dreamyhollic.blogspot.com. Akun Facebook (SantiArtanti), Twitter (@SantiArtanti) danGoodreads (SantiArtanti).
Balance dalam menimbang kelebihan dan kekurangannya.
ReplyDeleteIni salah satu poin penting.
Terima kasih :D