Thursday, January 24, 2013

Mutiara Lumpur


Cerpen Non-Fiksi yang lolos dalam lomba cerpen nasional bertema Kepramukaan :)
Mohon masukan dari teman-teman..

Bendera merah kuning itu berkibar sangat cepat. Aku dan teman-teman mengamati sang pemberi pesan dari kejauhan. Dengan terbata-bata, aku menulis pesan yang tersirat. Rangkaian kalimat belum terbaca sempurna. Padahal, kami harus bisa memecahkan kode-kode itu dalam waktu lima menit. Kalau tak berhasil, kami akan kesulitan menemukan tanda perjalanan.

“Carilah pita biru,” bisik Amel ke telingaku. Aku begitu kagum karena ia mampu membaca kode semaphore dengan cepat. Aku cocokkan jawabannya dengan susunan kalimatku.

“Bagus, Mel. Kau telah menyempurnakan kalimatku,” pujiku di hadapan teman-teman. Aku telah mengenal Amel sejak SMP. Saat itu kami tergabung dalam tim inti Pramuka. Asam garam pengalaman lomba Pramuka telah kami rasakan.  Selain semapohore, Amel juga pandai dalam memecahkan kode morse. Kemampuan analisanya begitu mengagumkan. Tak jarang kami memperoleh kemenangan dalam perlombaan. Saat SMA kami terjun dalam organisasi yang sama, Korps Soeringgit 149.


Usai menjawab kode semaphore, kami diarahkan oleh kakak tingkat untuk menemui pos selanjutnya. Pencarian pita biru di antara semak-semak belukar, hutan, dan kebun kadang menemui kesulitan. Kami harus ekstra teliti dan hati-hati jika ada duri-duri tajam ataupun waspada dari binatang melata yang melintas. Jiwa pramuka memang identik dengan sosok petualang. Tangguh dalam menerima tantangan dan menghadapi masalah dengan tenang.

Rute perjalanan hiking yang panjang tak membuatku jenuh. Aku sangat menikmati pemandangan alam Gunung Ungaran dengan ungkapan syukur tak terkira. Wawasanku tentang biota tanaman jadi semakin bertambah. Perjalanan hiking jadi semakin bergairah. Apalagi ditemani oleh keluarga baru di KS 149. Aku bersyukur telah mengenal mereka. Persaudaraan kami bertambah erat saat mengenal satu sama lain.

Ada satu kenangan yang tak bisa aku lupakan dalam perjalanan hiking itu. Sebuah memori yang masih membekas dan menjadi pengalaman berharga bagiku. Saat mendekati pos akhir hiking, kami memasuki areal persawahan yang baru digarap. Seorang petani dan kerbaunya masih membajak sawah dengan giat. Kami melihat kakak tingkat yang melambai-lambai tangan ke arah kami. Spontan saja, kami menuju tempat pos dengan berjalan hati-hati. Kami dikumpulkan dalam satu barisan yang memanjang di kubangan tanah yang belum ditanami padi. Perasaanku semakin cemas karena di areal sawah itu terdapat petak terowongan kecil yang terbuat dari tali rafia.

“Oke, sekarang lepaskan sepatu kalian dan singkirkan barang-barang berharga yang ada di pakaian!” perintah kakak tingkat dengan nada ketus. Aku tahu ia sengaja marah untuk memancing emosi kami. Kemudian kami mengikuti instruktur darinya dengan setengah hati. Aku menebak perintah selanjutnya pasti lebih menyeramkan.

“Di dalam pos terakhir ini, kalian harus merayap terowongan sawah itu secara bergantian tanpa terkecuali. Ada harta karun yang harus kalian temukan di antara sampah yang berceceran. Harta karun itu sangat penting sebagai syarat masuknya anggota,” urai kakak tingkat yang membuat bulu kudukku berdiri. Perintahnya sungguh keterlaluan. Semua anggota kelompok harus menerobos terowongan di kubangan sawah satu per satu. Semula kami diam dan tak mau melaksanakan perintah. Kemudian, kakak tingkat memaksa Aulia, ketua kelompok kami untuk maju.

Aulia memberontak, “Aku tidak mau kalian paksa. Emang kalian anggap kami apa?” Aku mengamati wajah pucat pasinya. Sepertinya dia merasakan ketakutan yang sama.

“Ayo, jangan pakai lama. Bariskan anggotamu untuk memasuki terowongan sekarang juga,” perintah kakak tingkatku dengan nada emosi. Dia seorang laki-laki yang tak sekedar memberikan perintah saja tetapi juga memberikan praktik nyata. Di dalam terowongan kecil itu, dia menirukan cara merayap yang baik sambil mencari harta karun. Sesampai di ujung terowongan, dia menyengir kepada kami. “Ini contoh nyata untuk kalian. Sekarang kalian harus mencobanya secara bergantian,” katanya.

Sepintas muncul keberanianku untuk mengikuti perintah kakak tingkat. Namun tiba-tiba emosi Aulia muncul lagi, “Ini tidak bisa ditoleransi. Kami tidak mau melaksanakan perintah kalian,” tolak Aulia secara tegas. Kakak tingkat tidak ambil diam. Dia menyeret kami untuk memasuki areal terowongan secara paksa. Semua pakaian terutama jilbab coklatku akhirnya ternoda oleh lumpur sawah. Tanah yang lembek dan penuh cacing itu menghinggapi tubuh dan wajahku. Untungnya, tubuhku bisa menyesuaikan tinggi terowongan hingga bisa bergerak bebas. Aku mencari-cari harta karun di penjuru titik. Hasilnya nihil. Aku hanya menemukan beberapa sampah hingga ujung terowongan. Aulia maju paling awal dan ia masih tampak kesal dengan kakak kelas yang dianggapnya arrogant.

“Baik, sekarang tunjukkan benda-benda apa yang berhasil kalian dapat,” kali ini intonasi lembut dari kakak tingkat yang lainnya. Layaknya seorang wanita, ia pasti memahami kesulitan kami usai melewati terowongan itu. Dia amati benda-benda yang telah berhasil kami peroleh.

“Selamat, kalian telah berhasil menemukan mutiara lumpur yang telah terpendam,” ungkap kakak tingkat sambil memperlihatkan badge yang digenggam Aulia.

“Mbak pikir permainan ini menyenangkan? Bagiku sangat menyedihkan,” respon Aulia tiba-tiba dan beranjak keluar barisan tanpa pamitan.

“Tunggu, Aulia. Kau mau ke mana?” tanya Amel prihatin. Sepatu dan tasnya masih tertinggal di gundukan tanah. Sebelum mengejar Aulia, aku sempatkan bertanya ke kakak tingkat.

“Maaf, mbak. Kondisi Aulia masih tertekan. Kami boleh langsung pulang menuju barak perkemahan?” izinku dengan sopan.

“Boleh, Dek. Dari areal sawah, jalan lurus ke barat saja. Di sana kalian akan menemukan sungai kecil untuk membersihkan diri. Selanjutnya kalian akan menemukan ladang mawar yang merupakan halaman belakang barak perkemahan. Hati-hati di jalan, ya!” pesan kakak tingkat yang baik hati.

“Iya, mbak. Terima kasih,” ucapku sambil berpamitan. Aku bersama teman-teman menyusul Aulia. Sikap Aulia begitu aneh. Emosinya mudah meledak. Padahal awalnya, ia selalu memompa kami untuk selalu semangat.

Tak lama kemudian, akhirnya kami berhasil mendekati Aulia. Ia berjalan sangat gontai, tampak sangat kelelahan.

“Aulia, pakai dulu sepatumu. Kakimu bisa lecet semua,” saran Dania dari arah belakang. Aulia tak menjawab. Pandangannya masih kosong.
“Lihat, teman, ada sungai kecil di seberang. Sebentar lagi kita sampai ke barak perkemahan,” sahut Lena.
“Aul, kamu ga apa-apa, kan?” sapaku merangkul bahunya. “Yuk, kita bersihkan dulu kaki dan tangan yang kotor,” ajakku sambil menyeberangi sungai. Akhirnya ia menganggukkan kepala tanpa bicara.

Sesampai di barak, kami langsung menuju kamar mandi untuk mensucikan diri. Aku bantu Aulia mempersiapkan pakaian bersihnya. Selepas mandi, kami melaksanakan shalat Zuhur berjama’ah. Aku bertindak sebagai imam lalu mendo’akan kondisi Aul agar segera pulih. Sepertinya ia masih tertekan dari peristiwa di sawah tadi. Pandangannya ke langit-langit barak masih kosong. Suasana ketegangan belum mencair, Aulia lalu menangis sejadi-jadinya.

Ada yang berpikir bahwa Aulia kesurupan. Perkemahan Bantir Sumowono ini memang terkenal angker. Apapun presepsi buruk tentang hal itu, Aku tak peduli. Aku mencoba menenangkan Aulia dengan cara merangkulnya. Tangannya masih bergemetaran dan sangat dingin.

“Aul mau teh hangat? Agar pikiran lebih segar lagi,” ucap seseorang mendekati kami. Dialah kakak tingkat yang menjerumuskan kami di pos sawah tadi. Gelas teh yang masih hangat diserahkannya dengan hati-hati. Namun sayang, Aulia tak mau meminumnya.

“Tujuan kami di pos sawah tadi sebetulnya baik, Aul. Kami ingin para anggota KS memiliki keberanian menemukan mutiara dalam dirinya, yaitu potensi yang selama ini terpendam. Kadang seseorang masih belum menemukan potensinya hingga merasa menjadi orang yang terbuang. Padahal, ia belum berusaha dan masih minder akan kemampuannya. Oleh karena itu, kami sengaja meletakkan badge anggota di kubangan lumpur untuk mengetahui seberapa besar usaha kalian untuk menyadari potensi diri,” jelas kakak tingkat yang membuatku paham atas maksud yang tersembunyi.

Tiba-tiba Aulia pingsan tak sadarkan diri. Kami baringkan ia di alas tidur yang cukup tebal dan nyaman. Kakak tingkat mempersilakan kami ISHOMA sampai menjelang Maghrib. Seharusnya Aulia ikut makan bersama kami. Pingsan dalam kondisi perut kosong tentu tidak sepenuhnya nyaman.

“Ania, di mana sepatuku?” tanya Aulia saat aku membereskan piring.
“Alhamdulillah, udah bangun, Aul? Iya, sepatu sudah ku letakkan di samping ranselmu,” jawabku senang karena mengetahui kesadaran Aulia.
“Kepalaku sangat pusing, An. Habis kejadian di sawah tadi, ada sikapku yang kurang berkenan, yah? Aku minta maaf. Omonganku jadi kemana-mana,” ungkap Aul secara spontan.
“Ga apa, Aul. Semuanya berjalan baik-baik saja. Yuk, kita makan sebelum sholat Maghrib,” ajakku tanpa basa-basi.

Dalam prosesnya, Aulia menjadi wakil pemimpin KS yang membanggakan. Ia belajar mengendalikan emosi hingga mampu memegang amanah secara baik. Sikap empati dan loyalitasnya, mampu memberikan keteladanan kepada kami beserta adik-adik tingkat di bawahnya.

7 comments:

  1. Replies
    1. Iyaa, Annur.. ini blog grup penulis di Fb :)

      Delete
  2. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  3. saya aslinya g terlalu suka dg pramuka, tp pernah jg jd tamu yg mantengin anak2 pramuka wktu di uji... ternyata mengasyikkan jg :D

    ReplyDelete
  4. mungkin lebih banayk ditambah narasinya hingga bisa terasa settingnya. atau mungkin memang sengaja demikian agar memberikan kesan 'ringan'? ^^

    ReplyDelete
  5. Suka nulis? Mau tulisan kamu jadi penghasilan tambahan hingga jutaan Rupiah bahkan tak terbatas jika kamu rajin nulis dan ngeshare!

    Nih ikutin aja http://www.siperubahan.com/read/1381/Kabar-Gembira-SIPerubahancom-Kini-ada-Program-Tukar-Poin

    ReplyDelete

Terima kasih telah berkunjung ke blog BaW. Mohon kritik dan komentar yang membangun untuk setiap postingan ;)