theresilientchef.wordpress.com |
Aku ingat ketika suatu pagi ibu membuat nasi goreng kuning dan
aku berpesan padanya untuk membuatnya agak gosong, untuk apa? Tanya ibu. Buat
gantinya ikan, jawabku. Dan ibu hanya tertawa. Tapi beliau melakukannya.
Menggorengnya sampai gosong dan susah payah mengerik bagian gosong tersebut
buatku, juga sepupuku, juga saudara-saudaraku. Pastilah ibu tak habis pikir
bagaimana bisa di dunia ini ada orang-orang sekonyol kami. Saat itu, aku tidak
memikirkan banyak tentangnya, tentang nasi goreng yang digosongkan itu,
selain bahwa rasanya yang renyah mengingatkanku pada kerupuk juga rempeyek.
Tapi sekarang, dengan pikiran yang lebih ruwet dan bacaan yang lebih gila, aku
tersenyum sendiri dan menggumam, ‘sesuatu yang gosong sekalipun bisa menjadi
enak jika kita bisa menerimanya dengan suka cita’. Nasi goreng buatan ibu
memang enak, tentu saja, kau pun boleh membuktikannya, tapi gosong yang sedikit
itu membuatnya menjadi begitu berharga dan spesial. Seandainya aku lebih awal
tahu akan filsafat gosong itu, mungkin aku akan lebih bijaksana dalam hidup,
karena ternyata tahun-tahun berikutnya hidupku pun penuh dengan gosong-gosong
yang semakin lama rasanya semakin enak untuk dibicarakan. Setidaknya untukku
sendiri.