Wednesday, June 12, 2013

[Cerpen] CINTA ONYET



By : Yusi Yusuf
 
Kita adalah sepasang rindu
Yang bercakap dalam diam
Berkirim puisi lewat pikiran
Dan bertukar kabar melalui kenangan
~Syifa Dhani~

Cinta pertama?
Mmm… siapa ya yang kujatuhi cinta pertamaku? Aneh juga kenapa aku bisa lupa? Mungkin karena aku terlalu cuek dan tomboy saat masih kecil? Mungkin juga karena hidupku kerepotan didominasi oleh dua sahabat laki-laki, yang bisa jadi mereka adalah cinta pertamaku…
Ah, bukan! Masa Dimas atau Meidi? Impossible!
Oke, coba kuurut panjang kebelakang kehidupanku, sekitar lima belas tahun yang lalu, dalam masa-masa reformasi negara ini. Aku baru pakai seragam putih biru,
“Araaaa… sepedahan yuuuk!”
Suara Dimas membuatku terlonjak melempar komik, Lalu mengenakan celana training dan menguncir rambutku ala ekor kuda.
Di depan rumah sudah terparkir dua sepeda berwarna hitam kumbang bermerk United. Pemiliknya, satu berwajah tampan dengan hidung mancung dan satunya si gendut dengan muka imut-imut, berselonjor di bawah pohon kersen sambil main ayam-ayaman jempol.
“Ayooo…” teriakku.
“Loh, sepeda kamu mana?” tanya si gendut, Meidi.
“Isssh… nggak mau ah! Aku bonceng Dimas aja…”
Dimas dan Meidi mendengus. Mereka tau persis sepedaku yang berwarna pink dengan pita-pita di stangnya. Pasti Bapak pikir sepeda itu imut untuk anak sulung perempuannya, tapi justru agak mengerikan untukku.
Hap! Aku berdiri di ‘jalu’ sepeda Dimas. Berpegangan di bahunya yang mulai jadi, menghirup bau keringatnya yang mulai mendewasa. Aku selalu lupa dia sudah hampir SMA, sudah banyak yang naksir dan menjadikanku sumber kecemburuan.
Tiba-tiba,
“Ban Becak…!”
Kami mengerem mendadak, pak RW menghampiri.
“Tolong bagikan ini ke warga ya, pengumuman Idul Adha…”
“Owh, siap Pak!” Dimas dan Meidi menghormat pada pak RW macam Hansip komplek. Aku sih cuma cengar-cengir.
Tak lama kemudian kami sudah menyusuri komplek sepuluh RT itu, dimulai dari RT paling belakang komplek, terus kedepan, kearah rumahku di RT 1.
Tapi kami lalu menyeberang ke RT 2 dulu, dan kedua sobatku itu mulai membagikan surat ke rumah-rumah disekitaran situ, sementara perhatianku tersirap pada seekor kucing yang sedang menyusui keempat anaknya.
Agak seru membelai-belai kucing-kucing kecil itu, aku melihat Dimas dan Meidi mengobrol dengan seorang cowok seusia mereka di depan rumahnya. Tama. Dia kakak kelasku saat SD, teman main  juga saat kecil, tapi sekarang wajahnya sudah heboh ditumbuhi kumis dan jenggot.
“Hei Ara…” sapa Tama, sambil memakai kacamatanya.
Aku hanya melambaikan tangan lalu kembali memperhatikan kucing-kucing itu. Tapi kok si Tama itu kayanya ngelihatin aku ya? Hihihi…
“Ih, kenapa mukanya merah begitu sih?” tanya Dimas.
Aku memegang kedua pipiku, diperutku terasa seperti ada jangkrik berlompatan, teringat wajah heboh bulu milik Tama. “Masa sih?”
“Kamu sama Tama aja, Ra. Pinter loh anaknya!” Meidi mengacungkan jempolnya, membuat mukaku makin seperti kepiting rebus.
“Nggak ah….” Aku nemplok lagi di belakang Dimas, siap melanjutkan perjalanan.
“Kenapa?” tanya mereka kompak.
“Mukanya buluan, kayak onyet…”
“Whuekekekek…”
Mungkin… mungkin itu namanya cinta pertama, cinta pada onyet. Kelas satu SMP, dan merasa ada jangkrik berlompatan diperut.

Selanjutnya aku jatuh cinta pada Agus, yang berkacamata dan lagi-lagi dengan sebaran bulu diwajahnya. Lalu dengan Musa, teman kuliahku dengan peta wajah yang serupa. Selanjutnya ada Adit, yang wajahnya tak jauh-jauh amat. Tapi sayang, semua tak bertahan lama, dan aku tetap sendiri.
Dimas menikah dengan Pipit. Aku satu-satunya perempuan berjilbab yang masuk dan duduk di barisan terdepan acara pemberkatannya. Dan saat resepsi, Dimas memintaku memakai songket yang sama dengan keluarganya. Aku hanya tersenyum bahagia untuknya.
Sekelebat kulihat wajah yang sungguh kukenal, wajah bulat berkacamata dengan janggut lebat. Muda namun matur. Bukan Agus, bukan Musa, bukan juga Adit. Dia tak lebih tinggi dariku, apalagi saat aku memakai alas kaki bertumit tinggi begini.
Aku mengikuti sosok itu diantara kerumunan orang pada pesta kebun itu. Suaraku tak sanggup memanggilnya. Serak.
Lalu,
“Ara,”
Meidi! Ganggu aja…
“Ngapain sih? Ayo ke depan, ada bos kamu tuh!”
Aku menarik nafas, berharap tak hilang kesempatan. Tapi sampai selesai resepsi, tak kulihat lagi sosoknya.

Posisiku sudah ada ditempatnya dalam profesiku. Belum layak naik jabatan karena usia dan masa kerja. Memang itu konsekwensinya menjadi pegawai negara. Pergi pagi, pulang sore, terlambat sedikit saja, potong gaji jadi ancamannya. Positifnya, aku bisa tak menjadi penggila kerja dan tetap menjaga banyak persahabatan.
Aku menyukai bagian kerjaku sebagai staf humas, membuatku banyak punya kolega dan punya teman di hampir setiap instansi. Selain itu aku juga sering ditugaskan untuk menghadiri diskusi dan rapat di luar kantor.
Hari itu menjelang siang, bosku menelepon, memintaku menyusulnya ke Hotel Borobudur, ke sebuah acara rapat yang dilaksanakan oleh  sebuah badan keuangan.
Tak buang waktu, aku langsung berderap ke hotel itu dengan modal Id Card.
Acaranya di lantai lima, aku langsung naik dan bertanya pada panitia di meja registrasi. Tepat saat itu aku melihat segerombolan orang keluar dari ballroom, berdasi, rapi dan mewah. Salah seorang dari mereka tersenyum khas…
Lagi-lagi aku tergagu sesaat. Kemudian kakiku melangkah mengejar mereka. Aku hanya perlu menampakkan diri supaya dia melihatku.
Hanya itu….
Liftnya tertutup, aku mengejar dengan lift sebelahnya.
Tuhan, aku hanya ingin dia melihatku…
Di lantai dasar, liftku terbuka tepat didepan puntu masuk hotel. Gerombolan lelaki keren itu masuk mobil. Dan pergi.

 “Dia nggak pernah benar-benar hadir, Meid…” kataku pada Meidi. Sekarang hanya dia tempat curahan hatiku. Pun dia akan menikah bulan depan, dan aku akan sendiri.
“Hahaha… kena tulah kan? Dulu kamu bilang dia kayak onyet…”
“hihihi…” aku cekikikan juga. “Aku nggak pernah inget, tapi selalu ada ketertarikan kuat setiap ketemu. Dan kenapa musti ketemu coba?!”
“Namanya takdir…” Meidi mencubit hidungku. “Makanya cari cowok sana, kelamaan ngejomblo tuh…”
Aku menyeringai, tak bisa menjawab.
“Lupain dia ya… jalani aja hidupmu sebaik mungkin, nggak usah pusing sama hal-hal begitu. Buka hatimu…”
Rasanya aku sayang luar biasa pada sahabatku itu. Dia seperti Spiderman untukku. Spiderman gendut tapinya.

Hidup terlalu rumit diusiaku yang sudah seperapat abad. Mendadak saja ada lelaki yang berucap, “Nikah yuk,” di usia perkenalan kami yang baru seminggu selama pendidikan kilat.
Aku cuma jawab, “Situ demam ya?!”
“Nggak, cuma rasanya memang situ orangnya.” Jawabnya santai. “Pokoknya kita nikah hari ini, tahun depan!”
Aku hanya tergelak. Orang ini positif gila!
Tanto, seseorang yang tak mirip dengan cinta pertamaku, tapi betul-betul membuatku yakin dengan cinta sejati.
Keluarga kami saling mengenal dan bersiap menuju kebersamaan ikatan.
Tapi lalu hancur dengan mudah saat gedung sudah disewa, menu hidangan sudah dipilih dan pelaminan sudah terbayar.
Kami menumpahkan air panas bernama komitmen. Tanto yang melepas pegangannya karena mendadak memiliki pegangan yang lain. Pegangannya yang lama hilang dan kembali diantara kami.
Hubungan kami memang tak sampai ‘Hari ini, tahun depan!’, tapi aku tak pernah meragukan cintanya saat itu –sampai kami sepakat untuk mengakhiri semuanya- bahkan mungkin sampai sekarang. Dan kenangan itu masih saja membuatku tersenyum-senyum geli. Cinta itu memang tulus dan apa adanya, hanya saja tergantung apakah kita sepakat bertahan atau tidak.
Dan aku sepakat untuk tak bersepakat dengannya. 
Kami berakhir karena tak ingin lebih menyakiti yang lain.
Tapi Tanto membuat luka besar di jantungku. Membuatku menghapus semua cintaku yang lain, melupakan rasa manis dengan siapapun.
Aku hanya menangis semalaman, tapi kemudian berjalan lagi di jalurku. Meyakini bahwa cinta itu bisa pergi begitu mudahnya, sederhana saja sebenarnya.
Yang kumiliki hanya diriku sendiri.

Setahun berlalu lebih sederhana. Aku memiliki lebih banyak tanggung jawab di kantor, membuatku lebih sering lembur sekarang dan lebih sering berangkat lebih pagi.
Karena rumahku diluar Jakarta, orang-orang tak terlalu suka naik kendaraan pribadi. Aku pun selalu naik bis yang sama sejak kuliah di Salemba.
Pagi itu agak berbeda ceritanya. Aku harus menhadiri rapat dengar pendapat di MPR-DPR, tapi harus berangkat dari kantor. Bos sudah mewanti-wanti agar aku berangkat lebih pagi, dengan pakaian rapi dan make up.
Salah seorang rekan laki-laki kuminta menjemputku di terminal, supaya kami lebih cepat sampai dan aku tak perlu kerepotan dengan dandanan ini.
Aku melompat naik ke bis pertama di halte depan komplek. Sial! Tak ada sisa bangku kosong.
Si kondektur yang mengenaliku hanya tersenyum bersimpati, aku membalasnya dengan anggukan, menyatakan bahwa aku tak apa-apa. Aku memeluk tas bahuku sambil menyandar di punggung kursi belakang yang paling dekat dengan pintu. Setelah nyaman, aku membuka ponselku, sebentar berseluncur masuk surat elektronik, membaca bahan rapat hari ini yang baru subuh tadi dikirimkan finalnya oleh Pak Bos.
Mendadak saja bulu kudukku meremang. Aku merasa ada yang memperhatikanku. Sembilan tahun bolak-balik dengan angkutan umum membuat intuisiku cukup tajam menerima reaksi-reaksi seperti ini. Aku memandang berkeliling dengan tatapan seolah biasa. Hampir semua penumpang adalah pekerja seperti aku, dan lebih dari separuhnya sudah terlelap.
Aku menarik nafas, kembali menekuni ponselku.
“Ara… mau duduk?”
Degh…
Badanku kaku dalam tegap. Lumpuh layuh,
“Ra…?”
“Ah, nggak usah…”
Bapak yang ada diantara kami, duduk disamping Tama, tampak kikuk.
“Kerja dimana?”
Wajahnya, matanya, pipinya… membuatku cair.
Aku tersenyum, mengumpulkan kekuatanku seperti biasanya aku menjadi juru bicara untuk instansiku, bicara dihadapan ribuan orang. Aku siap menjawab pertanyaannya dengan lugas.
Kami bicara… ya, bicara! Dia bukan hanya melihatku, tapi memandangku dengan matanya yang hidup, memperhatikan ucapanku, dan membalasnya dengan manis.
Perjalanan itu sempurna. Bapak-bapak disampingnya turun di pintu tol. Aku bisa duduk disamping Tama, kami bicara dan tertawa dan saling memperhatikan dan saling bercerita seolah-olah banyak ketertinggalan dalam hidup masing-masing yang lain.
Sungguh, wajahnya yang penuh bulu tak lagi seperti onyet.

Masuk musim hujan, aku sudah terbiasa menunggu Tama di halte depan Mall Segitiga. Kami tidak pacaran, tapi selalu menyenangkan melihat dia jalan dari kejauhan, menghampiriku dengan senyum berlesung pipi.
Tama tak pernah mengumbar kata-kata manis, tak menyemprotkan seember parfum, tak membawakan bunga atau boneka. Dia cuma hadir dengan jaket, ransel dan sepatu hitamnya plus bau asam khas laki-laki. Lalu kami bicara, menceritakan semua hal yang terjadi dalam hari kami. Seolah semuanya sudah menjadi kebiasaan kami selama bertahun-tahun.
Kami lalu duduk bersisian di bis. Berbagi camilan dan tawa, malah kadang mengomentari pengamen layaknya juri kompetisi penyanyi.
Aku tak pernah menunggu apapun. Hidupku berhenti saat bersamanya, dan menyenangkan. Itu saja.
Tiba-tiba…
Witing tresno jalaran soko kulino!”
“Hah? Apaan tuh artinya?”
“Laper!”
Entah apa maksudnya. Tapi aku merasakan sesuatu yang kuat.

Tangerang, 24 Agustus 2012
17.05

3 comments:

  1. cakep :D
    alur ceritanya cepat, tp bisa sy nikmati :D

    salam kenal mbak :D

    ReplyDelete
  2. kalo sekedar dijalani tanpa ada konsep yg jelas juga rawan. kalo sy seh, cinta tumbuh setelah nikah, awalnya cuma suka2an aja, berasa pas. nikah deh

    ReplyDelete
  3. Mantep dah meskipun alurnya singkat tapi semua kejadiannya terceritakan dengan baik .

    ReplyDelete

Terima kasih telah berkunjung ke blog BaW. Mohon kritik dan komentar yang membangun untuk setiap postingan ;)