-Prolog : Kehangatan Kisi – Kisi Hati-
sumber [link] |
Senja yang cerah. Pendar siluet sang surya tampak dominan
menyinari ruang tamu rumah kami. Ini memang pilihanku.
Ketika pertama kali melihat – lihat kawasan properti yang
sekarang salah satu huniannya kutinggali, aku langsung jatuh cinta. Rumah
minimalis ini membuatku merinding, saking terpesona.
Sempurna. Letak taman, pagar besi, pintu garasi (yang tidak
benar – benar untuk peristirahatan mobil), hingga arah menghadapnya. Entah
kenapa, sejak dulu aku selalu membayangkan rumah yang berfungsi ’ganda’
terhadap pencahayaan alam.
Mentari dan rembulan.
Aku juga senang dengan konsep melankolis. Rumah minimalis bercat
coklat muda itu menghadap persis ke barat. Hingga kami dapat leluasa melepas
mentari purna tugas menyinari bumi seharian. Juga tersenyum penuh rindu,
tatkala rembulan berganti shift dengan pusat pengelana Bimasakti. Dramatis bukan?
Senja yang cerah. Selama setahun sejak menempati rumah ini, aku
senantiasa terpaku mengamati kisi – kisi pintu depan yang mengakibatkan efek terasering
mentari senja ke lantai ruang tamu.
Lapisan sinar paling atas menelusup hingga membungkus bingkai
foto pernikahanku penuh kilau. Lapisan kedua menyentuh sudut sofa dan meja
kecil di pojok ruangan. Beberapa foto kecil keluarga kami berdiri di atas meja
itu.
Lapisan sinar yang ketiga sebagian menyentuh wajah dan kedua
punggung tanganku. Berbanding terbalik dengan iklan tabir surya kemayu itu, aku
menikmati siraman cahaya senja pada setiap celah kulit. Selama setengah jam
setiap hari, aku bisa duduk mematung seperti ini. Sengaja duduk di sofa panjang
ruang tamu, untuk menjemput sunset membasuh kerudung, muka dan kedua tangan.
Lapisan surya tenggelam paling bawah. Menelusup kisi pintu ruang
tamu. Menyinari sebagian lantai, karpet hingga meja ruang tamu.
Sungguh senja yang memukau. Begitu indah. Aku bisa saja terpaku
dalam menjemput dan melepas senja seperti ini. Hingga kadang nyaris terlupa
dari merebus sayur untuk makan nanti malam.
Senja ini, tenang seperti biasanya. Mas Ari pulang setengah jam
lagi. Rangga belum pulang dari les Bahasa Inggrisnya. Ah, bukan...
”Mama jangan tunggu aku... Habis les nanti, aku mau ke rumah
Leo. Menyelesaikan proyek rahasia kami untuk pameran sekolah dua bulan lagi”.
Kenapa aku terus – terusan lupa, kalau tak mungkin anak itu
bertahan lama di tempat lesnya? Apalagi Bahasa Inggris. Rangga tak pernah
suka...
-Memori-
Aku tidak tahu, sejak kapan pelangi begitu indah. Sebagaimana
aku juga tidak ingat, sejak kapan aku mencintai paras wajah nan keras itu.
Rahangnya yang teguh membingkai ketegaran nan semu.
Semu itu kurasakan, kala kami tak sengaja bertabrakan di pasar.
Aku sedang membeli mentega dan tepung . Dalam sehari, Ibu bisa menerima pesanan
hingga 50 kilogram kue kering tiap Ramadhan tiba. Sabtu pagi yang cerah,
untungnya, akupun dengan senang hati kulakan bahan dasar kue yang selalu habis
tiap tiga hari.
Anehnya, meski tahu kalau hanya mentega dan tepung saja yang
habis, tetapi daftar belanjaan ibuku selalu lebih panjang. Meskipun bersama
dengan Ning, tetapi kami tetap saja kelimpungan membawa kantung – kantung
belanjaan itu.
Dan, awal pertemuan itulah yang selalu kukenang. Mas Bowo,
memunguti kantung – kantung berisi bahan adonan kue yang tercecer setelah dia
sukses menabrakku. Sambil berpuluh kali meminta maaf tentunya. Padahal, dalam
hati akupun merutuk keteledoran, membaca daftar belanjaan panjang ibu, tanpa
melihat jalan lebih teliti.
-Epilog : Beku Kehilangan-
Dokter Prayogo sebenarnya sudah memperingatkan kami, bahwa
kondisi Mas Bowo tidak akan membaik jika dia bersikeras pulang. Tetapi suamiku nampaknya
tak hirau akan diagnosa setengah dukun itu.
Hari – hari di rumah sejak kepulangannya, kami lewatkan dengan
aktivitas sederhana. Apalagi, bagi orang tua seperti kami. Aku lima puluh dua
kala itu. Mas Bowo enam puluh. Sebagai aparat pemda, dia telah purna tugas
empat tahun sebelumnya.
Kami menyambut fajar dengan jalan – jalan pagi berkeliling
komplek. Sesudah itu, aku memasak sederhana untuk kami berdua. Satu kali saja,
karena tak ada lagi Rangga yang bawel minta ganti menu ini itu. Bersamaan dengan
aku yang tengah meracik bumbu, Mas Bowo berkebun. Bertaman, tepatnya.
“Rita... Kau begitu mempesona. Kecantikanmu, membuatku
prihatin”.
Sebagai seorang nenek, aku tak peduli dikatakan terlalu tua,
jika sewot menanggapi hinaan lelaki ini. “Tentu saja, Mas. Aku kan memang sudah
peyot. Lihat, dimana – mana keriput”.
Mas Bowo tertawa tertahan. Tangan kanannya menggenggam erat
tangan kananku di dadanya. Mentari senja menambah pucat paras lelaki yang telah
menitipkan Rangga dalam rahimku itu. Aku tahu, dia ‘menikmati’ rasa sakit di
bawah
genggaman tangan kami.
“Bukan Rita... Bukan itu. Aku jujur mengenai kecantikanmu. Tiap
malam kala kau terlelap, aku mengagumimu. Bahkan uban – uban di mahkotamu,
bagiku berkilauan. Menambah pesona di parasmu, Rita ...”.
Beginilah manusia. Meskipun tahu, kalau rayuan Adam sejak beribu
tahun selalu bermakna sama dan kuno sekali... Namun anak cucu Hawa tak pernah
bosan mendengarnya. Bahkan, membingkai berbagai pujian itu ke dalam album
kenangan hati mereka.
“Tetapi Rita... Aku hanya sedih saja, kenapa cinta kita
sesingkat ini. Seandainya dua puluh tahun yang lalu aku tak menceraikanmu....”.
Aku mencium lembut bibirnya. Masih semanis dulu. Semanis
biasanya.
“Seandainya saja dua puluh tahun yang lalu tidak begitu... Tentu
cinta kita takkan sekuat ini, Mas...”
Mas Bowo menatap redup ke arahku. Sungguh berat perjuangannya
untuk bertahan. Bahkan, sungguh lama penantiannya untuk menikmati senja indah
ini bersamaku...
“Pergilah Mas sayang.... Aku ikhlas”.
Pelan – pelan kami berdua mengeja kunci syurga. Berjumpalitan
kenangan – kenangan di otakku.
Pegangan tangan Mas Bowo menguat, dia menahan nyeri. Matanya
terpejam pekat.
Sakit sekali ya, Mas? Tetapi, dia terus mengeja kunci syurga.
Pegangannya juga terus menguat.
Kenangan saat kami bertabrakan di pasar, kala aku membeli
mentega dan tepung. Kenangan kala ban sepedaku bocor di depan kantornya.
Kenangan lamaran Ning.
Kami terus mengeja kunci syurga hingga sepuluh menit berikutnya.
Hingga kurasakan pegangannya mengendur perlahan.
Kelahiran Rangga kala dia sedang berada di Batu. Senyumnya kala
kami berdua berpegangan tangan memeluk Rangga yang terlelap. Tawa yang
terbahak, kala Rangga mencoba memakai baju sendiri dan hasilnya terbalik.
“Asyhadu... anlaa ilaa ha illallah...
Wa... Asyhadu anna Muhammad..da Rasulullahhhh”.
Kedua matanya terbuka lebar. Nafasnya terhisap panjang. Hingga
satu hembusan singkat menggandeng terpejam kedua mata itu.
Tangan kanannya masih menggenggam lemah tangan kananku. Setengah
jam berlalu, aku masih menatap lekat Mas Bowo. Dia seperti sedang tertidur
saja. Hingga kesadaran yang membimbingku untuk menelpon Rangga.
Kulepas perlahan genggaman Mas Bowo. Meraih ponsel di meja kecil
yang berada di pojok ruang tamu.
“Rangga, Innalillahi wa inna ‘ilaihi roji’uun. Papa sudah pergi”.
Dua Puluh Tahun Sebelumnya
Jika bisa… Tidak! Jika engkau kuat, jangan sampai berteman
dengan sepenggal kata ini. Jangan pernah terbersit, bahkan terucap. Terutama
jikalau engkau mengaku lelaki sejati.
Semenjak pertemuan kami di pasar, Mas Bowo yang anak tunggal
keluarga Dharmawan, menyatakan terang – terangan. “Aku butuh ditemani oleh
seorang istri yang bisa membuat aneka varian kue cinta untuk anak – anakku.
Apakah kau mau menempati posisi itu?”
Kamipun menikah. Aku melahirkan Rangga. Dan, prahara itu muncul.
“Tidak, Ibu. Jangan buat saya memilih. Kenapa Ibu dulu
mengiyakan kami?”
Aku tak tahu, kalau dinding dapur yang bertahun – tahun menjadi
karib, mendadak bisa menyakiti. Aku tidak salah dengar.
“Dia bukan pada levelmu, Bowo. Kau bisa dapatkan yang lain.
Tetapi bukan tukang jualan kue. Apalagi kau sekarang seorang camat! Bukankah
dulu katamu, kau harus mematuhi ibumu sebelum memuliakan istri?”
Aku tak bisa berdiri tegap. Seharusnya memang sudah bisa
kuartikan. Kenapa ibu mertuaku sangat pendiam dan jarang berkomunikasi
denganku. Awalnya karena aku menganggap, itu adalah bagian sifat beliau yang
halus dan peka. Tetapi aku salah.
Ibu hanya mengamati. Dan, inilah hasil observasi beliau.
“Bahkan Rita tak pernah mengenyam bangku kuliah sepertimu, Bowo…
Ibu selalu tersedak kalau tetangga bertanya, menantu ibu kuliah dimana, dinas
dimana?”
“Masya Alloh, Ibuuuuu…. Istighfar ibuuuu”, aku juga perih
mendengar tangisan Mas Bowo.
Ibu mertuaku, meninggal dunia dalam pelukan Mas Bowo, setahun
setelah bapak mertua kami meninggal. Peristiwa kematian ibu mertuaku, terjadi
setelah lima tahun aku ditalak tiga oleh suamiku.
Ning, sekali lagi menjadi mak comblang. Aku dinikahi duda tanpa
anak. Mas Ari. Ning memintaku memikirkan nasib Rangga.
Inilah sebuah kisah pilu. Mas Ari dinyatakan dokter, mengalami
kelainan sel reproduksi laki – laki. Hingga dia positif mandul. Baru tiga tahun
kami menikah, diagnose dokter bertambah. Kanker usus.
Mas Bowo? Diapun menikah, tetapi kembali bercerai. Istrinya
seorang pegawai juga, lulusan universitas terkemuka. Tetapi, dia berselingkuh.
Tepat di hadapan Mas Bowo.
Kami kembali menikah, setahun setelah kepergian Mas Ari. Bahkan
demi mengubur luka, kamipun pindah tempat tinggal. Sedikit memulai dari awal,
baik episode pernikahan maupun karier Mas Bowo. Praktis kami mengulang
pernikahan, hampir selama sepuluh tahun saja.
Selalu terngiang kata – kata Mas Bowo, “Rita... Aku hanya sedih
saja, kenapa cinta kita sesingkat ini. Seandainya dua puluh tahun yang lalu aku
tak menceraikanmu....”.
Ah senja, aku selalu membersamaimu. Tetapi kehilangan –
kehilangan ini begitu menyesakkan.
“Mama, yakin ga mau kami menginap di sini?”, Rangga dan Devi,
istrinya, menatapku penuh kasih. Aku menggeleng lemah. Aku tak apa- apa. Ini
bukan pertama kali ditinggal pergi suami, kan?
“Pulanglah kalian. Kasian anak – anak, besok bisa telat
sekolahnya kalau kemalaman”.
Aku mengantar keduanya dan tiga orang cucu imut itu sampai ke halaman.
Bahkan kutolak kebaikan Ning untuk menginap di rumah menemaniku. Dia pulang
tadi sore, suaminya di kota sebelah sakit keras. Lebih membutuhkannya daripada
aku.
Sebelum memasuki mobil keluarganya, Rangga nampak ragu
meninggalkanku. Hingga hanya bisa mengucap, “Mama, aku sayang Mama. Seandainya
Mama mau ikut tinggal bersama kami…”
Aku mengusap lengan Rangga pelan, “Tak apa, sesekali Bi Yah
mengunjungi Mama kok. Bahkan akhir – akhir ini beliau sering menginap. Ini
karena tadi beres-beres rumahnya dulu. Paling sebentar lagi datang”.
Temaram senja mengantarkan siluet mobil Rangga menuju kota
sebelah. Kota tempat Ning merawat suaminya. Kota tempat aku dan Mas Bowo
bertemu pertama kali dan dipisahkan.
Aku tersenyum tipis. Dari balik jendela pintu belakang mobil,
para cucu berjejalan melambaikan tangan kepadaku.
Bahagialah kalian selamanya. Saling menjaga selamanya.
Blitar, 22 Maret 2013
...sedih mbak, kebiasaanku adalah lebih bisa memaknai rasa haru ketika mebaca dibanding menonton, aku bisa menangis membaca novel KCB tp pd saat menonton filmx aku tdk merasakan apa2...
ReplyDeleteMaaf mbak, baru reply. Makasih atensinya ya. Ini memang mix match dari kisah nyata 3 keluarga berbeda. Ada sedikit dramatisasi dari saya. Iya, sedih memang. Hikmahnya mengingatkanku kelak untuk jadi ibu dan ibu mertua yg baik hehehe.
DeleteBtw, mba Aty nama aslinya siapa? Bawers juga ya? Maaf ya, pangling hehe
kisahnya haru biru :)
ReplyDeleteloncak-loncat waktunya tidak terlalu 'nabrak', Mbak. Jadi kemasan yang manis ini tidak mengacaukan 'rasa' saat menikmati tiap alurnya. Bagus, Mbak!
Alhamdulillah, trimakasih apresiasinya mba Arga ^^
DeleteSalam kenal ya
awalnya sempat mengeluh ditengah jalan dengan alur yang maju-mundur, tp setelah dibaca sampai selesai, rasanya memang kisah ini sudah benar demikian adanya.
ReplyDeletebukan cerita sederhana dengan segala hal yang kompleks dalam ceritanya, namun penyampaiannya yang begitu syahdu benar-benar membuat rasa haru.
saya masih perlu banyak belajar utk bisa membuat cerpen sedalam ini :)
Tidak bagus ini, biasa saja. Bahkan masih banyak kekurangan. Trimakasih udah mau membaca ya ^^ salam kenal mba Rinoly ^^
Deleteceritanya bagus, settingnya juga bagus
ReplyDeletesemoga bisa buat cerpen bagus kaya gini. hehe :D
tidak mbak, tuh liat sang ahli cerpen sudah memberikan penilaian yg objektif. Saya malah harus banyak belajar dari beliau --- mba Afifah Afra. Trimakasih sudah bersedia membaca ya mba Fadilah. salam kenal ^^
DeleteUntuk sebuah cerpen, setting waktumu terlalu luas. 20 tahun! Sebenarnya, pesan apa yang hendak kamu sampaikan? Tak jelas. Tusukannya belum terpusat pada satu titik. Banyak pelanturan yang tak perlu.
ReplyDeleteTapi, diksinya bagus. Caramu bertutur menarik.
Hehehhe.akhirnya bisa online via lepi juga akuhh..iya mbake, lain kali aku akan berlatih... Trimakasih, aku malah tersepona oleh kritikmu mbak. *ahahahag piye iki??
Deletedari awal sampe pertengahan ga ngerti, setelah maksain baca, ngerti juga! :P
ReplyDeletesalam blogger mba' pembaca baru disini!!! :D
ketok pintu blog ane yua >> http://galaupost.blogspot.com/2013/05/kisah-sedih-dan-pilu-perjalanan-hidup.html
makasih ya ^^
DeleteOkey meluncur ke tkp nih ^^