Penulis: Lia Herliana
Ramadan hari ketiga. Hani masih
libur. Sore itu, ia mulai merasakan lemas karena haus dan lapar. Rasanya, jadi
malas bergerak. Setelah shlalat Ashar, Hani tidur-tiduran di sofa.
Ibu menghampiri dan menepuk pundak
Hani. “Biar semangat, kita bikin kolak istimewa, yuk!” ajak Ibu sambil
tersenyum.
“Ada, deh. Makanya, yuk, bantu Ibu!”
sahut Ibu sambil berjalan ke dapur. Di meja dapur, sudah ada sebungkus
singkong, kolang kaling, dan satu sisir pisang kepok. Juga, sebungkus kelapa
parut, dan sekantung gula merah.
Kening
Hani berkerut. Ia bingung. Apanya yang istimewa? Bukankah itu semua bahan-bahan
untuk membuat kolak pisang? Tapi, Ibu cuma tersenyum jenaka, saat Hani lagi-lagi
bertanya penasaran.
Ibu
dan Hani mulai mengolah aneka bahan itu. Hani membantu mengupas dan
memotong-motong pisang. Juga, mencuci singkong dan kolang kaling. Lalu,
semuanya dididihkan bersama santan dan gula merah. Tak lupa, Ibu menambahkan
beberapa lembar daun pandan, untuk menambah aroma.
Beberapa
saat kemudian, harumnya pandan menguar. “Hhmm… wanginya!” kata Hani sambil
mengendus-endus. Terbayang sudah, rasa kolak yang lezat dan mantap. Perut Hani
jadi tambah keroncongan, hehehe.
Tapi,
ini kan kolak biasa? Seingat Hani, tak ada bahan yang istimewa di dalamnya.
Cara membuatnya, sepertinya juga tidak luar biasa. Terus, apanya dong yang
bikin istimewa?
“Hani,
segera mandi, ya. Setelah itu, tolong antarkan kolak ini ke tetangga-tetangga,”
pinta Ibu. Rupanya, Ibu telah membungkus kolak pisang itu dalam beberapa bungkusan
plastik.
Sampai
selesai mandi pun, Hani masih belum bisa menebak soal kolak istimewa itu. “Ah, jangan-jangan, Ibu hanya bercanda.
Supaya aku penasaran, dan mau membantu Ibu di dapur,” batinnya.
Hani
lalu mulai mengantarkan bungkusan kolak ‘istimewa’ itu. Pertama, ke rumah Pak
Danu, tetangga sebelah kanan rumah. “Wah, alhamdulillah… Terima kasih banyak,
ya!” kata Pak Danu dengan senyum lebar. Hani ikut tersenyum.
Kemudian,
Hani beranjak ke rumah Bu Atik, tetangga sebelah kiri. Aisha, anak Bu Atik yang
masih kecil, melonjak-lonjak senang. “Yeeei, asyiik, kolaaak! Aku suka sekali
kolak, Mbak Hani!” serunya.
Bu
Atik tersenyum. “Sampaikan terima kasih pada ibumu, ya. Baru saja saya mau ke
luar membeli kolak. Eeh, kok ya ada yang mengantarkan kolak,” kata Bu Atik.
Hani tersenyum lebar.
Lalu,
Hani menuju rumah Mbah Rob. Nenek itu menyambut pemberian Hani dengan doa.
“Terima kasih banyak, ya, Nduk. Semoga keluargamu selalu diberikan kesehatan
dan rezeki yang banyak,” begitu doa tulus Mbah Rob. Hani mengaminkan dengan
khusyuk.
Ya,
Mbah Rob merasa sangat senang dan terbantu dengan kiriman kolak itu. Memang, kehidupan Mbah Rob serba kekurangan.
Jadi, walaupun hanya sebungkus kolak, sangat berarti buat Mbah Rob.
Selanjutnya,
bungkusan kolak diantarkan ke rumah Bu War. Setelah mengucap salam dua kali,
belum terdengar ada yang menjawab. Hani mengucap salam sekali lagi, kali ini
lebih nyaring.
“Hani,
ya? Masuk Han, pintunya enggak dikunci!” terdengar suara Bu War dari dalam
rumah. Pelan, Hani membuka pintu dan masuk ke dalam.
“Ke
sini, Han. Bu War di kamar depan,” panggil Bu War. Hani menyibak gorden di
pintu kamar. Lalu, ia melihat Bu War sedang terbaring di tempat tidur. Ada
beberapa buah koyo menempel di kening dan lehernya.
“Bu
War sakit?” tanya Hani.
Bu
War mengangguk. “Iya, mungkin masuk angin. Seharian ini, Bu War cuma tiduran.”
“Pak
War ke mana?” tanya Hani lagi. Bu War menjelaskan, Pak War sedang ke luar kota,
dan baru pulang malam nanti.
Hani
mengacungkan bungkusan kolaknya. “Ini Hani bawa kolak, Bu. Hani bantu tuang ke
mangkuk, ya?”
Bu
War mengangguk. Wajah pucatnya terlihat berseri-seri. “Waah, kebetulan sekali!
Bu War belum sempat menyiapkan makanan buat berbuka nanti. Alhamdulillah, dapat
kiriman kolak!”
Hani
ikut senang, melihat wajah Bu War yang berbinar. Sambil tersenyum-senyum, ia
mengambil mangkuk di dapur Bu War. Dituangnya kolak ke mangkuk, lalu
diletakkannya di meja kecil dekat tempat tidur.
“Ada
lagi yang bisa Hani bantu, Bu?” tanya Hani.
Bu
War menggeleng. “Sudah cukup, Hani sayang. Bu War sudah merasa enakan, kok.
Apalagi kalau sudah berbuka dengan kolak dari Hani nanti,” jawab Bu War. Hani
mengangguk senang. Ia segera pamit pulang.
Sepanjang
jalan ke rumah, Hani menandak-nandak gembira. Rasanya, ia ingin
bernyanyi-nyanyi. Lupa sudah akan lapar dan dahaganya. Senyum bahagia para
tetangga tadi, seakan mengisi hati dan pikiran Hani.
Hmm.
Sebungkus kolak biasa, ternyata bisa membahagiakan orang begitu, ya! Tak pernah
terpikir oleh Hani. Dan yang lebih hebatnya, ternyata bisa memberi dan membuat
orang lain senang itu, rasanya luar biasa! Hati jadi ikut bahagia, melihat
orang lain gembira menerimanya.
Di depan rumah, tiba-tiba, Hani menjentikkan
jarinya. Ia buru-buru masuk. “Ibuu, Hani sudah tahu apa istimewanya kolak itu!”
serunya riang.
Kolak itu, kolak pembawa bahagia.
Cerpen yang sangat bagus sekali.
ReplyDeletenyimak dulu ya mbakk
ReplyDelete