Aida MA |
Sekitar tahun 2008, pertama kali menulis
saya sempat punya masalah dengan mood, sebulan kadang hanya menghasilkan dua
cerpen dengan jumlah halaman hanya 5 halaman saja, itu pun sudah dengan susah
payah, mencari ide dan mengatasi kebosanan yang sering datang daripada
menghilang (heheh)
Belakangan saya mulai memperhatikan
bagaimana penulis-penulis senior melewati proses menulis mereka dari moody
menjadi habit. Malah akuan sebagian senior, menulis sudah seperti candu bagi
mereka, ibarat kecanduan caffeine bisa bikin sakit kepala, maka menulis pun
seakan memiliki ruang hampa jika tidak dilakukan setiap hari.
Seperti pernyataan bang Ahmad Fuadi (Negeri
5 Menara) bahwa dalam kamus hidupnya ingin sekali menghilangkan kata “Moody”
karena basic beliau yang jurnalis tidak mungkin mengandalkan mood dalam menulis
berita, bisa-bisa berita di koran bakal bolong karena wartawannya moody J.
Masalah moody ini ternyata bukan hal yang
sepele, karena sebagian penulis pemula yang awalnya berapi-api ternyata bisa
stuck di tengah jalan dan belakangan tak satu pun naskah yang dihasilkan
melainkan hanya tumpukan-tumpukan files yang belum selesai.
Okee, bagaimana baiknya mengatasi factor
“Moody” saat menyelesaikan sebuah naskah, terutama naskah bernafas panjang.
a. Moody adalah kondisi yang normal. Aneh
ya, kita bahas menghilangkan moody malah saya ngomong moody adalah kondisi yang
normal. Tapi memang kenyataannya Mood adalah hal yang normal dialami oleh
siapapun, baik penulis pemula atau penulis senior sekalipun, hanya saja mungkin
kadarnya akan berbeda-beda.
Saat mood kurang baik datang, anggaplah itu
sebuah kewajaran, atau menjadi sebuah timing
untuk kepala merefresh sejenak. Ketika sebuah naskah yang niatnya ingin dibaca
oleh banyak orang dengan senang atau bahkan menangkap maksud yang ditulis oleh
penulisnya jika ditulis dengan kondisi hati yang sedang ‘moody” bisa
dibayangkan bagaimana hasilnya naskah tersebut.
Saya menyarankan saat moody muncul dan sulit
sekali ditoleransi silahkan ambil jeda sejenak, lakukan apa saja yang kita
sukai, syaratnya hanya untuk menetralisir kembali mood yang buruk, TAPI sengaja
saya mengetikkan kata “tapi” dengan huruf capital, karena ketika entertaint
mood berlebihan maka yang terjadi kemudian adalah “Malas”
b. Mengubah Moody menjadi Habit. Ibarat
orang yang berniat menabung untuk qurban atau naik haji, biasanya akan ada
proses terus menerus yang dilakukan saat menyimpan uang untuk tabungan haji
atau qurban, atau dengan kata lain, ada sikap konsisten dan istiqamah untuk
mendapatkan kebiasaan tersebut.
Begitu juga dengan menulis, seperti kata Kang
Ali Muakhir (Penulis produktif) kebiasaan menulis itu harus dilakukan selama
40hari non stop, siapapun mewajibkan dirinya untuk menulis setiap hari hingga
kondisi menulis tersebut menjadi sesuatu hal yang terbiasa dilakukan, sehingga
saat ditinggalkan seakan-akan ada yang sudah hilang.
c. Bergabung dengan sesama teman penulis,
coba perhatikan baik-baik di sebuah komunitas di mana kita berkecimpung selama
ini. Berapa banyak penulis yang produktif? berapa banyak orang yang hanya bisa
mengeluh saja? Biasanya kita akan mudah terikut dan tersangkut pada orang-orang
yang produktif menulis dengan melakukan hal yang sama, ini juga berlaku untuk
kondisi orang-orang yang terus-terusan mengeluh, karena itu perlu sangat
berhati-hati memilih sebuah komunitas, bisa jadi kita akan ikut produktif atau
sebaliknya terus-terusan mengeluh.
Istilah kerennya long term Induction, Akan selalu ada yang terjangkiti saat kita
berada dalam satu komunitas yang seragam, seperti ada kesepakatan secara massal
pada akun-akun linimassa, Misalkan saja seperti gaya berfoto dengan menjulurkan
lidah ke samping dianggap “gaul” bukan dianggap sebuah hinaan lagi. Demikian juga saat berkumpul bersama sahabat
penulis, usahakan pilih komunitas yang benar-benar berniat menulis dan
menghasilkan karyanya, sehingga kita memiliki kecemburuan untuk melakukan hal
yang lebih atau minimal sama.
d. Tangkap Ide Secepat Mungkin. Ide bisa
datang kapan pun, moody juga bisa datang kapan pun. Makanya untuk menetralisir
kemungkinan moody yang datang lebih duluan, segera eksekusi begitu ide datang,
ini khusus untuk tulisan-tulisan yang pendek-pendek. Kalau untuk tulisan
bernafas panjang, segera temukan ide-ide lain untuk bahan tulisan ketika kepala
mulai buntu dan berakhir dengan moody.
Coba perhatikan baik-baik, banyak penulis
yang masih suka bawa buku notes kecil sebagai tempat untuk menampung ide-ide
mereka, jika belum memungkinkan ditulis di laptop. Saya sendiri biasanya
menggunakan note aplikasi di smart phone setiap kali menemukan ide-ide baru.
e.
Pengalihan.
Ada beberapa tips dari teman sesama novelis.
Saat mulai jenuh dengan naskah novel, biasanya mereka akan mencari pengalihan,
namun pengalihannya bukan melakukan hal di luar dari penulisan, namun justru
tetap menulis, seperti meng update blog dengan cerita-cerita sederhana yang
terjadi sehari-hari atau bisa sekedar berbagi tulisan tips menulis, seperti
yang saya lakukan saat ini. Ternyata saat mengalihkan kejenuhan sementara dari
naskah yang sedang digarap dengan menulis hal-hal yang lebih sederhana tetap
akan menjaga kita berada dalam circle tulisan demi tulisan. Sehingga ketika
memulai kembali ke naskah awal, kejenuhan itu sedikit mereda.
f.
Memaksimalkan
Target, ini yang kerap kali membuat
penulis pemula malas-malasan menyelesaikan naskahnya. Itu juga yang pernah
terjadi pada saya di awal-awal saya memaksakan diri untuk menulis novel. Ternyata
kita kebanyakan menulis apa adanya saja. Sebenarnya memang tidak masalah jika
tidak menggunakan deadline, hanya saja, dari sekian banyak orang yang tidak
membuat deadline untuk diri sendiri, kemungkinan besar naskah itu akan selesai
dalam waktu yang cukup lama. Jadi, di sinilah perlu menuliskan target atau
deadline dengan jelas, apakah 1 novel dalam waktu 1 tahun juga tidak masalah,
tapi tulis dengan jelas dan patuhi.
Biasakan menulisi sebuah post it yang ditempelkan di laptop masing-masing, saya biasanya
menempelkan post it berwarna semarak
di macbook saya. Ada beberapa post
it, satu mengenai deadline, yang
kedua tentang naskah-naskah yang bakal terbit, itu biasanya memotivasi saya
untuk menulis lebih banyak.
g.
Outline, Ternyata outline sebuah naskah bernafas panjang yang disusun secara detil
dapat meminimalisir moody. Saya beberapa kali mengatakan pada teman-teman yang
ingin menulis naskah-naskah panjang seperti novel atau nonfiksi lainnya, godaan
menyelesaikan naskah itu banyak sekali, makanya usahakan dari awal membuat
outline detil, sehingga saat bosan di bab 3 misalnya, kita bisa menunda menulis
bab 3 kemudian melanjutkan menulis di
bab 7 atau 8.
Itu tadi beberapa tips dari saya, silahkan
dicoba bagian mana yang cocok atau mungkin sudah dilakukan. Selamat mencoba…bye…bye Moody
Jakarta,
17 Oktober 2013
Aida,MA
Bener mbak, biasanya aku moody. Makasi ilmunya
ReplyDeleteiya nih saya masih moody dlm ngeblog
ReplyDeletemakasih ya tipsnya
cakep nih tulisannya..
ReplyDeleteAida gape nulis nonfiksi..
dan fiksi jg teuteup menawan..
Ah...saya juga sering moody
ReplyDeleteKalau udah nggak mood walaupun ada ide tetep aja nggak mau nulis.
Thanks, sarannya Mbak.
Thanks for sharring this
ReplyDelete