Wednesday, January 9, 2013

[Resensi Film] BROKEN HEART.. dan Hatiku-pun Patah


·         By Riawani Elyta
Saya terlebih dulu mengawali catatan ini dengan 3 permintaan (maaf) ^_^.

Pertama, karena saya nggak benar2 niat untuk meresensi jadi mohon maaf untuk catatan ini yang makin ke bawah (mungkin) bakal semakin ngawur :D

Kedua, mohon maaf buat anda yang telanjur mengira kalau saya "patah hati" karena melihat beberapa scene romantis antara Reza Rahadian - Julie Estelle, surely not at all, jadi pastikan anda untuk terus mengikuti catatan ini sampai akhir :)

Ketiga, buat anda yang belum menontonnya tadi, dan nggak tahu ceritanya tentang apa, mohon maaf kalo saya melewatkan bagian sinopsisnya, tetapi anda bisa dengan mudah membrowsingnya kok, salah satunya di sini : http://www.tabloidbintang.com/film-tv-musik/ulasan/54380-brokenhearts-galau-cinta-kaum-pekerja-urban.html
Sebenarnya, ini film typikal saya banget ^_^ karena saya memang senang film2 romantis bernuansa tenang dan nggak terlalu bikin adrenalin melompat2, tetapi, saya harus jujur bilang, tanpa akting ciamik Reza di sini, belum tentu saya sanggup menontonnya sampe selesai, dan saya hanya bisa beri 2,5 dari 5 star untuk film ini.

Kenapa?

Pertama, saya sangat terganggu dengan view para pemain wanita dengan rok-rok mini dan baju2 seksi, seolah-olah ini bukan di Indonesia dan settingnya adalah bekerja di sebuah perusahaan multinasional, padahal, dalam film ini, mereka "hanya" bekerja di sebuah penerbitan. Saya yakin, penerbit sekelas GPU pun, nggak punya staf2 wanita yang semuanya pada berbaju seksi begitu :)

Kedua, karena terdapat beberapa pengulangan adegan, juga dialog2 yang cukup panjang antar pemain, sehingga film ini memang rada ngebosenin.

Ketiga, pendapat saya pribadi bilang, harusnya sutradaranya tahu bahwa ending dengan cara mematikan salah satu tokohnya sebagai solusi adalah ending yang sudah tidak populer dan gampangan, ending yang bisa langsung bikin penonton berkomentar "yahhh" dengan ekspresi kecewa, jadi, nurut saya, AAC adalah satu dari sedikit film yang berhasil lolos dari stigma ini dan berhasil best seller pula.

Dari resensi yang saya berikan linknya di atas, sang resensor mengatakan kalau akting Reza di sini sedikit over dan over eksploitasi dari sutradara terhadap perannya, (mungkin) itu karena mentang2 dia bisa bermain baik. Tetapi, teman2 sebaiknya percaya omongan saya bahwa karakter yang diperankan Reza itu sama sekali tidak over apalagi lebay, melainkan ngepas banget dan saya yakin dia sudah melakukan riset terlebih dulu, juga totalitasnya untuk menurunkan BB sampe 10--15kg demi peran ini juga layak diacungi jempol.

Sampai disini, mungkin udah ada yang langsung berkoor "huuu" dan pengen nabok saya pake bantal, hehe, tetapi saya juga tidak asbun = asal bunyi, kenapa? inilah bagian lain dari catatan ini yang membuat catatan ini bakal kehilangan jati dirinya sebagai sebuah resensi :)

Saya dulu memiliki abang angkat yang terkena penyakit sama seperti tokoh Jamie yang diperankan Reza, yaitu komplikasi kanker hati, dan dia meninggal pada usia 26 tahun setelah sembilan bulan digerogoti oleh penyakit itu. Dan semua gestur Reza saat memerankan Jamie yang tengah sakit, dengan mata yang menyorot kuyu, sesak napas hingga harus berkali2 mengembuskan nafas dari mulut saat bicara, sesekali memegang perutnya yang besar dan kesulitan saat berjalan, semuanya sama persis dengan penderitaan abang saya saat itu. Bahkan tokoh Jamie di film digambarkan masih bisa berjalan jauh meski kepayahan, sementara alm. abang saya dulu, untuk berjalan keluar kamar saja dia sudah megap2.

Awalnya saya tidak pro dengan tokoh Jamie yang bukannya berusaha untuk sembuh malah menyuruh sahabatnya untuk mendekati kekasihnya agar kekasihnya tidak jatuh ke tangan pria lain. Tetapi, ingatan yang sesaat disergap dejavu pada alm. abang saya membawa saya pada satu pemahaman bahwa orang yang berada dlm kondisi seperti itu, memang mengalami "penyimpangan" pada sikap yang ia pilih. Penyimpangan yang terkadang sulit dicerna akal.

Selama bertahun2, interaksi saya dan abang saya itu - untuk alasan yang tidak bisa dijelaskan - memang kurang harmonis. Sampailah pada suatu siang, saat saya baru pulang kerja, saya mendengar suaranya yang berteriak lemah, dan saya dapati dia tergeletak di lantai dan tidak bisa bangun dengan kondisi perutnya yang besar itu, pada hari2 terakhirnya perutnya sudah lebih besar dari perut ibu yang hamil 9 bulan. Saya lalu lari ke belakang, memanggil tetangga untuk menolongnya. Alhamdulillah waktu itu ada beberapa orang pria di rumah tetangga, dan merekalah yang kemudian menolong abang saya bangun dari lantai.

Saya pikir, yang saya lakukan itu sama sekali bukan apa2. Tetapi kemudian abang saya memanggil saya, dengan mata berkaca2 dia menyerahkan seperangkat topi dinas, tali pinggang dan emblem jabatan yang entah kpn dia membelinya sambil berkata, "nanti kalau kamu udah jadi camat, pake ini ya."

Waktu itu, saya langsung lari ke kamar dan menangis. Karena betapa saya tahu persis, dia menyimpan impian yang sangat besar untuk menjadi seorang pamong. Dia dan saya pernah mengikuti tes STPDN, saya sempat lolos di tes awal, dan dia tidak, tetapi dia tetap memelihara mimpi itu selama bertahun2, termasuk berusaha menjaga mimpinya dengan membeli dan menyimpan perlengkapan dinas pamong itu, sesuatu yang akhirnya tak mungkin dia capai karena penyakitnya.

Saya juga masih ingat saat suatu tengah malam, papa saya terserang stroke hingga harus segera dibawa ke RS. Waktu itu, dia yang memang sejak sakit jarang sekali bisa tidur nyenyak, langsung bilang, "Bawa sini kunci mobil, biar saya yang antar papa."

Waktu itu, kami yang ada di rumah sempat tercengang, bagaimana mungkin dia bisa menyetir mobil dengan kondisi seperti itu? Dia bilang, "Kalian bantu saya jalan sampai ke mobil, nanti saya yang nyetir." Mungkin, kalau tidak karena panik, ucapannya itu bisa menjebak kami semua dalam perasaan yang lain lagi. Akhirnya, papa saya dibawa dengan ambulance.

Yah, saya juga nggak tahu persis dorongan apa yang membuat saya pengen curhatin ini malam ini setelah nonton Broken Heart, satu bagian hidup saya yang belum pernah saya tuliskan di kesempatan mana pun sebelum ini. Tetapi, saya bersyukur karena takdir abang saya lebih baik dari tokoh Jamie di film, dia sempat menikah sebelum penyakitnya berkembang parah, tanpa diawali proses pacaran, dan meski kemudian istrinya meninggalkannya saat dia sudah mulai sakit parah, at least, dia wafat dalam keadaan sudah menyempurnakan separuh iman. Dan saksi mata yang mendampinginya ketika ajal menjemputnya, mengatakan kalau dia pergi dengan sangat tenang, tanpa terlihat kesakitan, bahkan sempat berpamitan seolah-olah dia hanya hendak pergi ke suatu tempat biasa, "Mama, saya mati." Kata pamit yang terucap begitu tenang dari bibirnya. Dan kondisi fisiknya saat ajal itu telah menjemputnya, berangsur2 berubah, tidak lagi seperti seorang pesakitan dengan mata kuyu, tubuh yang hanya tinggal tulang sementara perut membesar dan kaki bengkak, melainkan perlahan2 kembali seperti dia saat masih sehat, dengan tubuh yang kembali tegap dan wajah yang juga berisi. Hanya Allah yang tahu kenapa bisa demikian. Yang saya tahu, dia tidak pernah meninggalkan sholat lima waktu sejak mulai akil balig dan selalu nolongin temennya yang lagi butuh uang meski diam2, malam2 dia membawa motornya keluar rumah untuk ngojek.

Ah, saya tak sanggup lagi melanjutkan catatan ini, mata saya sudah telanjur basah semua, bukan karena film Broken Heart pastinya, andalah yang tahu mengapa.

1 comment:

Terima kasih telah berkunjung ke blog BaW. Mohon kritik dan komentar yang membangun untuk setiap postingan ;)