Tuesday, April 9, 2013

[Review Film] Grave for the Fireflies



Resensi Film: Grave fot the Fireflies (film animasi, tahun 1988)
Pemain         : Seita, Setsuko dan beberapa pemain figuran lain. Ini film animasi untuk semua umur.
Sutradara      : Isao Takahata
Berdasarkan sebuah novel dengan judul:  Grave of The Fireflies, karangan Akiyuki Nosaka.

Film ini sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan mendapatkan berbagai macam  pujian dan  memenangkan berbagai macam penghargaan tingkat Internasional.  Tidak heran jika akhirnya film ini diadaptasi  ke berbagai versi, termasuk versi manusia. Tapi, yang aku tonton ini versi asli film kartun pertamanya.

Film ini bercerita tentang derita yang dialami seseorang sebagai bagian dari perang yang berkecamuk dan dilakukan oleh negaranya.  Adalah Jepang, yang menjadi tempat tinggal dari bagi Seita, 14 tahun dan adiknya, Setsuko, 4 tahun. Awalnya keduanya hidup bahagia bersama ibu mereka di kota Kobe Jepang. Ayah mereka adalah seorang Kapten angkatan laut Jepang yang dikirim oleh Jepang untuk berperang melawan tentara sekutu dalam Perang Dunia ke 2.

Kehidupan keluarga bahagia ini mendadak berubah ketika suatu hari, armada perang Amerika Serikat menjatuhkan bom udara B-29 pembom Superfortress di atas kota Kobe dan itu membuat ibunda kedua kaka beradik ini terkena bom ketika berlindung di kantor pemadam kebakaran. Di rumah sakit, ibu mereka akhirnya meninggal dunia. Untuk seterusnya, karena ibunda sudah meninggal dunia dan rumah sudah hancur, akhirnya mereka menumpang tinggal di rumah bibi mereka. Sayangnya, perangai si bibi ini sama sekali tidak mengenakkan.

Bibi: "Tentang kimono milik ibumu. Aku pikir, ibumu sudah tidak memerlukannya lagi sekarang. Bagaimana jika kimono itu dijual saja, dengan begitu kita bisa membeli makanan yang enak."
Seita: "Kimono ibuku? Oh."
Setsuko: "Tidak. Kakak, kau jangan menjual kimono ibu kita. Jangan kak. Jangan."
Bibi: "Ibumu sudah tidak memakainya lagi sekarang. Dia juga pasti tidak keberatan jika kimononya dijual untuk dibelikan makanan untuk anak-anaknya."
Setsuko: "Tidak..tidak...tidak... itu punya ibuku... itu punya ibuku."
Setsuko lalu menangis terus hingga tiba waktu makan malam tiba. Setsuko yang marah, terus cemberut sambil menatap nasi yang akan masuk ke dalam mulutnya, nasi yang dibeli dari menjual satu-satunya peninggalan ibunya yang telah meninggal dunia. Sekarang, satu-satunya kenangan tentang ibunya hanya ada dalam kenangan saja.


Tapi, rupanya Bibi mereka, seiring dengan kondisi perang yang membuat kian sulit mendapatkan makanan, kian lama kian pelit dan mulai memfitnah kedua kakak beradik ini sebagai orang yang paling banyak menghabiskan makanan di rumahnya. Karena tidak tahan dengan perlakuan bibinya ini, akhirnya Seita dan Setsuko pun memutuskan untuk pergi dari rumah bibinya tersebut. Lalu tinggal di rumah penampungan.

Seharusnya kan, rumah penampungan bagi para pengungsi itu kan menyediakan makanan, perlindungan (shelter) tapi dalam kondisi perang tentu saja semua persediaan makanan harus digunakan secara cermat. Maka keluarlah peraturan baru bahwa makanan dan tempat tinggal hanya diberikan pada mereka yang berdomisili di tempat penampungan itu berada saja. Nah. Disinilah kedua kakak beradik ini mulai menemuukan kesulitan. Mereka sudah mengungsi jauh dari rumah mereka yang hancur dan mereka sekarang sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Dalam keadaan terlunta-lunta, mereka menemukan sebuah lubang tempat berlindung dari serangan udara (berupa gua yang dibuat di gunung) yang telah ditelantarkan oleh pemiliknya. Mereka berdua pun memutuskan untuk tinggal disini. Lalu mulai mencari rezeki untuk mengatasi rasa lapar. Tapi, ternyata urusan mengatasi rasa lapar ini bukanlah persoalan mudah. Ini masa perang dimana semua orang berubah menjadi amat egois untuk sekedar berbagi karena kepemilikian memang menjadi amat terbatas jumlahnya untuk bisa dibagi lagi. Kedua kakak beradik inipun mulai kelaparan.

Akhirnya, mereka pun menemukan sebuah lubang perlindungan yang telah ditelantarkan oleh pemiliknya. Ini semacam lubang yang dibuat di kaki bukit, mirip gua. Tanpa listrik, tanpa penyekat ruangan, tanpa WC. Mereka berdua dengan riang membagi ruangan berdasarkan khayalan mereka.

"Jika begitu, dapurnya disini saja kak. Dan ini tempat tidur kita."

Jika malam hari, karena tidak ada listrik dan cahaya apapun, keadaan amat gelap gulita di dalam gua.

Setsuko: "Nii Chan (artinya kakak), aku takut."
Seita: "Tidak apa-apa dik, ada aku di sisimu."
Setsuko: "Tapi gelap sekali. Aku takut. Aku juga ingin pipis."
Seita lalu membopong adik kecilnya yang imut, lucu, sehat dan manis ini ke luar untuk buang air. Setelah itu kembali mengantar adiknya masuk ke dalam gua.
Seita: "Dik, tunggu disini dulu sebentar ya. Sekarang, gantian kakak yang ingin buang air."
Setsuko: "Jangan lama-lama kak, aku takut sendirian di dalam gelap."
Tak lama kemudian, Seita sudah kembali sambil membawa sesuatu di tangannya.
Seita: "Dik, coba tebak apa yang ada di tangan kakak." Seita lalu membuka tangannya dan tampaklah kunang-kunang. Cahaya berpendar dari tubuh kunang-kunang menerangi ruangan gua yang gelap gulita.
Seita: "Ini adalah pasukan spesial."
Setsuko: "Oh, Nii Chan, aku jadi bisa melihatmu lagi karena kunang-kunang ini." Setsuko senang, karena dia jadi bisa menatap kakaknya lagi dalam gelap.
Seita: "Ya, dan aku juga bisa melihatmu." Seita lalu meletakkan kunang-kunang itu di atas rambut adik tersayangnya. Rambut Setsuko langsung bersinar. Setsuko senang sekali, dan merasa bahwa dia jadi seperti putri yang memiliki cahaya kecantikan yang sempurna.
Seita: "Ayo kita tangkap kunang-kunang lagi." Akhirnya mereka berdua pun menangkap kunang-kunang seember penuh dan melepasnya di dalam gua. Gua yang semula gelap gulita dan menyeramkan pun jadi indah sekali. Seakan-akan ada ratusan bintang-bintang kecil yang bertaburan di langit gua. Sepanjang malam mereka memandang taburan kunang-kunang tersebut sambil bercerita tentang masa kecil mereka yang indah. Sesungguhnya, Seita amat sangat kehilangan ibunya yang telah meninggal dan merasa rindu pada ayahnya yang pergi berperang, tapi Seita tahu, dia tidak boleh menangis atau memperlihatkan kesedihannya itu di depan adiknya yang masih kecil dan imut-imut tersebut. Adiknya selalu mengigau karena rindu pada ibunya. Jika melihat kakaknya bersedih pasti adiknya akan semakin merasa kehilangan. Itu sebabnya sambil mengenang masa kecil dan sambil tertawa-tawa, diam-diam Seita menangis.


Besoknya, pulang dari bekerja serabutan agar bisa mendapatkan makanan tapi ternyata tidak berhasil membawa pulang makanan, Seita pulang dan mendapatkan adiknya sedang menguburkan sesuatu.

Seita: "Apa yang kau lakukan?"
Setsuko: "Aku menguburkan kunang-kunang. Ibu kita juga dikubur seperti ini kan kak? Aku dengar dari bibi bahwa ibu kita juga dikubur seperti ini."
Seita: "Iya, ibu kita dikubur di dalam tanah, di bawah sebuah pohon. Apakah kamu ingat pohon itu dik? Suatu nanti, kita akan mengunjungi kuburan ibu kita bersama ya."
Setsuko terdiam mendengar ajakan Seita kakaknya. Dia terus saja menguburkan kunang-kunang. Lalu, tiba-tiba, Setsuko mengangkat wajahnya yang imut dan manis itu dan menatap kakaknya dengan pandangan tanpa dosanya.
"Nii Chan, kenapa kunang-kunang mati di usia yang masih muda?" Seita tidak bisa menjawab pertanyaan adiknya. Dia juga bingung, kenapa kunang-kunang, yang keberadaannya menyenangkan hati siapa saja yang melihatnya, memiliki takdir mati di usia muda?


Seita terus berusaha mencari makanan, bahkan terpaksa mencuri dan menjarah rumah rumah penduduk yang ditinggalkan oleh pemiliknya yang pergi mengungsi, lalu menjual hasil curiannya untuk mendapatkan uang. Sayangnya uang tersebut tetap saja sulit dia dapat dan akibatnya dia pun sulit membawa pulang makanan untuk adiknya.

Karena tidak berhasil mencari makanan, akhirnya, tubuh mungil Setsuko pun menjadi kurus sekali. Dia menderita kondisi kurang gizi yang parah. Akhirnya, suatu hari, ketika Seita mencairkan gaji yang harus diterima oleh ayahnya, dia mendengar kabar bahwa ayahnya meninggal dunia karena kapal perang yang dibawanya telah tenggelam dalam perang melawan sekutu. Dengan kesedihan yang berusaha ditekannya, Seita pun pulang. Tapi, dia semakin kaget karena ternyata adiknya sudah amat sangat lemah karena benar-benar menahan lapar. Adiknya hanya mampu menelan secuil kecil semangka. Setelah itu tidak pernah lagi membuka matanya.
Dengan kesedihan yang amat sangat karena sekarang, seluruh anggota keluarganya telah habis, Seita pun menjual semua barang-barang yang dia miliki untuk membeli peralatan guna membakar mayat adiknya. Semalaman dan sepanjang hari selama hujan turun dengan deras di luar lubang perlindungan, Seita memeluk mayat adiknya erat-erat karena dia tahu setelah dibakar nanti, dia tidak akan pernah bisa melihat dan memeluk atau menyentuh adik kesayangannya tersebut.
 
Kenangan tentang adiknya membayang dalam perpisahan terakhir tersebut. Bagaimana adiknya bermain sendirian selama ini. Berlari mengejar kunang-kunang, bermain suten dengan bayangannya sendiri yang terpantul di atas permukaan air danau, main tentara-tentaraan dengan topi tentara yang kebesaran, atau sekedar merebahkan kepalanya di atas pangkuannya sambil menatap ratusan kunang-kunang. Adik tersayang dan satu-satunya anggota keluarganya yang tersisa telah pergi untuk selamanya. Adik yang lucu dan menggemaskan. Juga adik yang amat sangat sayang pada dirinya. Adik yang bahkan lebih senang menahan lapar ketimbang harus berpisah dengan kakaknya.




Cuplikan kenangan waktu Setsuko masih hidup:

Setsuko: "Aku tidak ingin apapun. Tetap disini saja Kak. Jangan pergi, jangan pergi. Tolong, jangan pergi dan tinggalkan aku."
Seita: "Jangan khawatir Setsuko. Setelah aku mengambil gaji ayah, aku akan membeli beras dan sesuatu yang bergizi agar kamu bisa sehat lagi. Setelah itu, aku tidak akan pergi kemana-mana. Aku akan berada di sisimu terus dan selamanya. Itu janjiku padamu, dik."


Akhirnya, setelah sehari semalam memeluk jasad adiknya, Seita pun mulai menyiapkan pembakaran mayar adiknya seorang diri.  Dia meletakkan mayat adiknya dalam kardus bersama dengan semua barang kesayangan adiknya dan mulai membakarnya. Lalu telentang di atas tanah dan menatap semua kepulan asap dan remah-remah bara terbang ke angkasa dipermainkan angin malam, dan menari bersama dengan banyak kunang-kunang. Setelah itu abu jenazahnya dimasukkan ke dalam sebuah kaleng permen milik adiknya.

Pada tanggal 25 September 1945, di stasiun kereta api Sannomiya, Kobe, seorang petugas kebersihan menemukan seorang bocah laki-laki sedang meringkuk di atas kursi. Tubuhnya kurus dan lemah, meringkuk sambil memeluk sebuah kaleng permen yang berisi abu jenazah.

"Bangun. Bangun. Kamu menyebabkan pemandangan yang tidak sedap di stasiun ini. Ayo pergi."
Bocah itu membuka matanya dan menatap petugas kebersihan tersebut.
"Tanggal berapa sekarang?"
"Kenapa kau bertanya tanggal berapa sekarang?"
"Ya, karena tanggal ini adalah tanggal dimana aku akan mati."
Lalu ketika malam hari tiba, bocah itu, Seita, melihat adiknya datang bersama dengan ribuan kunang-kunang. Mengajaknya untuk menari di atas ribuan kunang-kunang yang membawa mereka menuju ke angkasa. Gembira sekali rasanya. Tertawa-tawa bersama dengan adik tercintanya sambil menatap ke bawah, ke kota Kobe, ke stasiun Sannomiya, dimana orang-orang menemukan seorang bocah kurus kering yang meninggal dunia di atas bangku stasiun kereta api tersebut. Kaleng berisi abu jenazahpun tampak tergeletak tak berdaya tak jauh dari mayat kaku si bocah lelaki tersebut.


-----------------------------------
(HUAAAAAAHHH...Aku pun menangis histeris. Dan makin menangis ketika suamiku berkata: "Waktu nonton film ini pertama kali semalam sendirian waktu kamu sedang tidur, aku ingat Hawna.. Di rumah sering main sendirian karena kakak-kakaknya belum pada pulang sekolah. Itu sebabnya aku kesel kalau kamu sembarangan dengan pola makan atau tidak hati-hati jaga kesehatanmu kamu lalu jatuh sakit. Kasihan Hawna jika terjadi sesuatu dengan dirimu. Dia bisa benar-benar sendirian jika kamu kenapa-kenapa. Makanya De, jaga kesehatan dong."... hmm, gak penting ya bagian yang ini. Tapi jujur aku juga jadi ingat Hawna. Main sendirian tapi tahu masih ada orang di samping kita yang menemani itu jauh lebih baik ketimbang main sendirian dan benar-benar sendirian. Jadi ibu-ibu yang punya anak kecil, jaga kesehatan ya. Kasihan anak-anak kalian, anak-anak kita jika terjadi sesuatu dengan diri kita, ibu mereka.)

6 comments:

  1. kisahnya mengharukan :'( wajar Mbak Ade Anita menangis tersefu2 setelah menontonyya, membacanya saja saya berlinangan air mata :'(

    penulisannya lengkap sekali, jadi terasa pernah menontonnya :) Film ini dibuat saat saya belum lahir, tapi dari gambar terlihat bahwa animasinya sudah OK.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Filmnya udah gak ada alias gak diputar lagi.. jadi karena sadar filmnya susah dicari jadi aku nulisnya lengkap deh dimari

      Delete
  2. ya Allah, baca sinopnya bikin terharu hwa... mati semua...
    itu dedek animenya lucu sangat.... hiks separah itukah saat perang dunia?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya..parah... aku baca kisah orang jepang yg lagi sekolah di amerika ketika jepang menjatuhkan bom di pearl harbour... si mahasiswa jepang ini langsung diperlakukan amat rasis oleh masyarakat amerika..kasihan sekali.. dan akhirnya dia mati sebagai gelandangan di emper toko di amerika sana... padahal saat itu amerika menjatuhkan bomnya di nagasaki dan hiroshima di jepang dan itu bikin jepang kehilangan nyawa yang jauhhhhh lebih banyak ketimbang bom di pearld harbour. Belum lagi situasi terpuruk yg melanda jepang karenanya.

      Delete
  3. Jangan nonton film ini deh..

    cuma bikin mata bengkak aja :))

    ReplyDelete
  4. Film bikinan Ghibli ini emang keren, yang Live nya juga keren (lebih sedih lagi kayaknya)

    ReplyDelete

Terima kasih telah berkunjung ke blog BaW. Mohon kritik dan komentar yang membangun untuk setiap postingan ;)