Sunday, June 23, 2013

[Resensi] Kesturi dan Kepodang Kuning



Resensi by: Dhani P.
Di sebuah gubuk tua di tepi hutan, di antara gersang tanahnya, di antara rimbunnya pohon jati dan nyanyian kepodang, sebuah kisah berawal. Tentang cinta, tentang pengorbanan, tentang persahabatan, tentang matinya kemanusiaan. Sebuah kisah yang dituturkan apik oleh Afifah Afra dalam 311 halaman novelnya. Dan aku ingin membagi kisahnya dengan Anda.

Adalah Sriyani, seorang gadis muda berumur sekitar 18 tahunan, yang nyaris seluruh hidupnya tak pernah lepas dari nestapa. Ditinggalkan ayahnya yang jadi " korban" kerusuhan 1998 pada saat masih begitu belia, terpaksa harus putus sekolah di usia sangat muda dan harus membantu ibunya mencari nafkah dengan memunguti daun- daun jati dan menjualnya di pasar. Tak lama kemudian ibunya meninggal dan jadilah Sriyani yatim piatu. Kemalangan tidak berhenti di situ saja. Karena tak punya siapa- siapa lagi, akhirnya Sriyani dipisahkan dari ke dua adiknya. Mereka berdua dimasukkan ke sebuah panti asuhan sementara Sriyani menjadi pembantu di keluarga mantri kesehatan di desanya.


Dan nestapa sepertinya belum juga mau pergi. Di tempat yang diharapkannya bisa membuatnya hidup lebih baik, Sriyani malahan menemukan kemalangan baru, diberi obat tidur oleh majikannya dan diperkosa, lalu setelah hamil dinikahkan dengan seorang pegawai di puskesmas, yang kemudian juga meninggalkannya karena merasa ditipu. Akhirnya Sriyani mengasingkan dirinya dan tinggal di sebuah gubuk kecil di tepi hutan bersama bayinya Kesturi. Menghabiskan hari- harinya dengan merawat anaknya, menabuh demungnya dan mencari nafkah sebagai pembantu di rumah bidan Sumini.

Di gubuknya, anak beranak ini bersahabat dengan sekawanan kepodang yang selalu setia mengunjunginya setiap pagi. Sebuah persahabatan yang menarik perhatian Satrio, seorang pemerhati lingkungan yang tinggal bersama Rajendra kakaknya, seorang dokter pintar tapi lebih tertarik menjadi pengusaha. Satrio begitu tertarik melihat persahabatan yang unik ini dan berniat mengabadikannya dalam bentuk film. Suatu niatan yang akhirnya membuatnya memiliki kedekatan emosi dengan Sriyani dan sang bayi. Kedekatan yang sepertinya menimbulkan benih suka di hati Sriyani. Sebuah perasaan yang rapat- rapat disimpannya, karena atas nama apa pun, Sriyani menganggap Satrio tak pernah setara dengannya.

Sementara itu, Rajendra yang lebih tertarik menjadi pengusaha, melihat peluang yang menjanjikan dari daerah tempatnya ditugaskan. Sebuah proyek mega raksasa jadi incarannya. Sebuah proyek berdalih menyejahterakan masyarakat, tapi awal dan ujungnya sarat aroma korup. Sebuah proyek yang tidak hanya melibatkan pejabat dan pengusaha daerah, tapi juga anggota dewan dari pusat. Sebuah proyek kotor yang menghalalkan segala cara demi kelancarannya, bahkan untuk sebuah nyawa sekali pun.
Dan dari sinilah sarut cengkarut itu dimulai. Sosialisasi ke penduduk yang tak lebih dari pemaksaan yang terselubung, pembungkaman orang- orang yang tak sepakat, juga ancaman rusaknya lingkungan. Dan ada banyak kepentingan bermain di sini. Termasuk Sriyani, Satrio dan Rajendra yang jadi pemeran utamanya, sebagai sang pelaku, sang korban juga sang pembela. Aneka konflik demi konflik nyaris tak pernah usai.Juga aneka keriuhan pelaksanaan proyek yang berlumur uang panas dan aroma persekongkolan.

Lantas, bagaimanakah akhir dari cerita ini? Rasanya lebih baik anda membacanya sendiri. Karena bagaimana pun menikmatinya langsung pasti akan lebih memuaskan. Anda akan tahu apa yang terjadi saat proyek itu akhirnya menyentuh gubuk Sriyani, anda juga akan membaca sendiri bagaimana nasib kepodang- kepodang sahabat Kesturi, juga lelakon hidup yang harus dialami Rajendra, juga Satrio.

Sebagai pembaca, saya puas membaca novel ini. Ada banyak pelajaran hidup yang bisa dipetik dari tiap kisahnya. Laksana santapan, saya merasa menikmati sepiring nasi rames yang komplit, kaya gizi tapi tak membuat saya kekenyangan, pas. Ceritanya hidup, settingnya menarik, muatan lokalnya pekat dan kental. Penulis dengan apik berhasil menyandingkan kisah persahabatan antara manusia dan binatang, intrik- intrik dalam pelaksanaan sebuah proyek, juga muatan lokal yang diwakili oleh lantunan demung dan lagu- lagu macapat dalam porsi yang seimbang. Pun secara visual, novel ini memanjakan imajinasi saya tentang sebuah daerah berkapur, persahabatan Kesturi dan Kepodang Kuning, juga tentang kehidupan tidak mudah yang harus dihadapi Sriyani

Kalau pun ada sedikit ganjalan, itu karena saya belum juga menemukan alasan tepat kenapa Rajendra memutuskan untuk meninggalkan dunia medis yang dicintainya dan beralih menjadi pengusaha. Juga nasib ke 2 adik Sriyani yang tak jelas rimbanya, karena hanya disinggung sedikit saja di seluruh tulisan. Dan terlepas dari yang sedikit itu, novel ini lebih dari layak untuk dibaca. Sebagai pembaca, saya harus yakin bahwa bacaan saya membuat pintar, dan novel ini berhasil melakukan tugasnya dengan baik.

7 comments:

  1. Terimakasih atas resensinya... senang sekali jika mendapatkan apresiasi atas apa yang telah kita tulis. Itu bermakna lebih dari apapun :-)

    ReplyDelete
  2. Lama nggak baca karya Mbak Afra. Jadi penasaran dengan yang ini. Terakhir baca karyanya KATASTROFA CINTA dan OBITUARI KASIH.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jadi, buku yg De Winst dan sekuelnya juga belum dapat?

      Delete
  3. Replies
    1. Penasarannya akan terjawab kalau sudah beli *lho...*

      Delete
  4. novel yang kaya "nutrisi". Like it!

    ReplyDelete
  5. Novel yang recommended, bagus banget. Saya juga sudah membaca karya Afifah Afra yang lain. Kebetulan saya juga menjual novel ini. Yang berniat membeli (harganya murah, cuma 25rb) silakan kunjungi: http://sastra33.blogspot.co.id/2016/08/novel-kesturi-dan-kepodang-kuning-karya.html

    ReplyDelete

Terima kasih telah berkunjung ke blog BaW. Mohon kritik dan komentar yang membangun untuk setiap postingan ;)