Arul Chandrana |
Oleh: Arul Chandrana
PERSEMBAHAN
Kisah ini kupersembahkan bagi semua guru yang berdedikasi tinggi di tanah air. Baik mereka yang berwibawa maupun yang, ehm, kurang peduli dengan wibawa.
***
BERDIRI di tepi jalan utama penghubung tiga desa, bukan berarti sekolah kami menempati tempat strategis yang mampu mendatangkan banyak siswa. Yah, memang ada siswa yang datang, tapi tidak sendirian, melainkan bersama orang tuanya, dan mereka terus berjalan melewati sekolah menuju ladang aren di dekat hutan.
“Tiga hari yang lalu dia masih sekolah, Pak.” Kata Bu Fachrah.
“Sekarang dia menghasilkan uang.” Jawabku.
“Hey? Bapak ini bagaimana sih?”
“Fakta. Aku mengatakan apa yang tampak, Bu.”
“Tapi itu sangat tidak berperasaan. Dia baru dua belas tahun, Pak. Tempatnya di bangku sekolah, bukan di ladang aren dari pagi sampai petang.”
“Tapi dia menghasilkan uang, Bu.”
“Dia tidak seharusnya bekerja, Pak. Belum saatnya. Dia seharusnya belajar dan menuntut ilmu di sekolah.”
“Mm… sejauh ini, kelihatannya dia selalu bosan di dalam kelas, Bu. Kayaknya menghasilkan uang adalah pilihan yang bagus.”
“Hwrrh! Bapak ini, mau jadi guru atau jadi preman pemeras bocah?”
“Wakakaka. Hey, bagaimana kalau aku memberikan penjelasan yang…”
Ini perdebatan yang tak asing antara aku dan Bu Fachrah. Dia memiliki pikiran sepuluh atau dua puluh tahun di depannya, di depan kami, sehingga baginya fakta hari ini tidak semestinya menjadi satu-satunya ukuran untuk menilai masa depan seseorang. Di lain pihak, aku selalu terbentur dengan apa yang kulihat. Aku kesulitan memahami bagaimana anak lele hari ini bisa berubah menjadi induk hiu di lain hari.
Dengan alasan itulah kepala sekolah tidak pernah menempatkanku di jabatan yang berurusan langsung dengan murid maupun wali murid. Terlalu riskan. Oh, mungkin pernah, sehari, hanya karena Bu Fachrah yang menjabat sebagai Waka Kesiswaan saat itu sedang sakit ketika ada wali murid datang ke sekolah. Aku diminta kepala sekolah untuk menemui ibu tersebut yang putranya sudah dua minggu tidak masuk sekolah.
“DIMAS kenapa Buk, kok tidak masuk? Kemarin Bu Guru dua kali ke rumah Panjenengan, tapi tidak ada orang. Kata teman-temannya, Dimas ikut bapak ke ladang.”
“Pak Guru,” kata wanita itu, takut-takut. “Maafkan kami. Si Dimas ndak bisa sekolah lagi. Dia anak satu-satunya, Pak. Kami ndak punya anak lagi. Cuma dia.”
Aku mendengarkan dengan saksama. Nada suara ibu Si Dimas mulai mengharu.
“Enjeh, Buk. Sungguh beruntung Ibuk masih punya putera. Tetangga saya sampai tua tidak mendapat satu pun keturunan. Pernah mengambil satu anak asuh, tapi malah kabur dengan pacarnya dan tidak pernah pulang. Ibu sangat beruntung.” Kataku. Merasa senang menemukan cerita untuk membesarkan hati Ibu Si Dimas. “Tapi masak karena itu Dimas tidak boleh keluar rumah buat sekolah, Bu?” tanyaku.
“Pak Guru, bukan begitu masalahnya, Pak.”
UPS!
“Bapaknya Dimas mulai sakit-sakitan, Pak. Ndak kuat lagi manjat aren seperti dulu. Kakinya sudah linu, tangannya ndak kuat lagi bawa keling. Lha kami mau dapat makan dari mana, Pak, kalau ndak manjat aren? Siapa yang akan memberi kami makan? Mau minta, minta sama siapa, Pak? Terpaksa Dimas kami ajak ke ladang, Pak Guru. Sungguh tidak ada maksud buat menyusahkan Dimas, tapi kami harus meminta tolong siapa kalau tidak pada anak sendiri? Kami sangat…”
Dan begitulah seterusnya ibu itu bercerita. Dengan sesenggukan. Dengan ujung kerudung basah mengelap air mata. Dengan kepala tertunduk takluk. Pada akhirnya, aku harus bicara.
“Ibu, saya salut sama Dimas. Dia luar biasa! Walau baru dua belas tahun, tapi sudah sanggup menjadi penyangga hidup keluarganya. Memang di kelas Dimas tampak kurang semangat, tapi Dimas adalah siswa terbaik yang….” Dan seterusnya dan seterusnya.
Hari itu, dengan dua jam curhat mengharu biru, Dimas resmi meninggalkan sekolah. Aku menatap kepergian ibu tersebut dengan pandangan berkaca-kaca. Terharu dan bangga atas putranya. Di belakang punggungku, kepala sekolah menatapku dengan muka merah padam dan kecewa.
“AKU tidak pernah paham pada sampean, Pak.”
“Uh-hum?” Empat hari setelah peristiwa Dimas, Bu Fachrah bicara kepadaku di kantor.
“Sampean itu sangat bersemangat mengajar, bahkan kabarnya, kemarin gaji dua bulan sampean pakai semua untuk belikan kamus buat anak-anak. Sampean juga ngotot maksa Pak Kepolo buat ngadakan kunjungan ke museum menggunakan sepertiga gaji semua guru.”
“Wakakaka, kau tahu, Bu, gara-gara usul itu ada beberapa guru yang tidak menyapaku selama hampir satu semester.”
“TENTU SAJA! Saya pun jengkel pada sampean!”
“Hahahaha. Eh, tunggu, jengkel?”
“Maksud saya begini, kalau Bapak memang berani dan rela melakukan apa saja buat anak-anak, tapi mengapa Bapak begitu mudahnya melepaskan mereka dari sekolah?” Bu Fachrah menatapku. Tajam. Mengelupasku tanpa belas kasihan. Itu pertanyaan yang baginya sama pentingnya dengan: apakah bumi benar-benar bundar?
“Mm… mereka semua dari keluarga miskin, Bu. Kita tahu itu. Ketika keluarganya membutuhkan, memangnya apa yang bisa kita lakukan? Mungkin, inilah waktu yang tepat untuk ‘mempercepat’ kelulusannya.”
“Bapak bilang ini waktu yang tepat? Itu bukan waktu yang tepat. Yang Bapak lakukan itu tak ubahnya dengan memberi obat pengurang rasa sakit tapi sama sekali tidak mengobati si sakit! Yang mereka dapatkan hanya keringanan sementara, setelah itu, keluarga tersebut akan terpuruk semakin dalam. Tidakkah Bapak memahaminya?”
“Hooy, Bu Fachrah, ten-tentu saja saya me—”
“Tadi Bapak bilang apa yang bisa kita lakukan? Sebagai guru, ADA BANYAK YANG BISA KITA LAKUKAN! Kita ada di sini untuk mempersiapkan mereka mencapai kehidupan yang lebih baik dan bermartabat. Ilmu yang kita berikan akan menjadi jalan bagi…” dan seterusnya dan seterusnya.
JADI, tak lama berselang setelah peristiwa Dimas, tentu saja itu terjadi lagi. Tari, siswa kelas delapan, usia dua belas tahun, hampir tiga minggu tidak masuk sekolah. Tidak ada surat ijin sakit, tidak ada laporan pergi ke luar kota, tidak ada masalah dengan teman atau guru. Bu Fachrah panik, bingung apa yang sedang terjadi walau sebenarnya kami semua sudah menduga apa yang sedang terjadi.
Yang terjadi adalah apa yang biasanya terjadi di sini.
Hanya saja kali ini keadaannya lebih mengerikan. Ya, Tari menakuti para guru. Dia siswa yang cerdas, selalu juara satu sejak kelas tiga SD. Menjadi harapan bagi sekolah kami untuk, pertamakalinya, mendapatkan nilai tertinggi dalam Ujian Nasional. Tari memiliki semangat belajar yang tinggi dan semua guru bangga atas kemampuannya. Sedangkan kesopanannya adalah contoh terbaik yang harus ditiru semua siswa. Apakah karena itu maka semua guru menjadi takut? Tentu saja bukan! Tapi kenyataan bahwa dia memiliki postur yang lebih besar dari usianya, wajah yang lebih ayu dari semua teman sekelasnya. Itu yang membuat kami takut. Kenapa? Karena pasti alasannya tidak masuk sekolah karena ada seorang lelaki tua kaya di luar sana yang ingin menjadikannya isteri ke tiga atau mungkin ke… kelima!
“Kita harus bertindak, Pak Kepala Sekolah!” Bu Fachrah berteriak—benar-benar berteriak dalam arti sebenarnya. Tapi juga terisak.
“Sabar Bu Fachrah, sabar Bu. Tenang geh.” Seorang guru berusaha menenangkan Waka Kesiswaan hebat itu.
“Bagaimana bisa tenang, Bu Dhani, bagaimana bisa? Murid kita yang paling cerdas, paling sopan, kebanggaan semua guru, yang memiliki peluang mengharumkan nama sekolah, yang paling cemerlang masa depannya, dia akan… oh, tidak, jangan terjadi Ya Tuhan…”
Kekhawatiran para guru dikonfirmasikan kebenarannya oleh salah seorang teman kelasnya. Tari sedang dipersiapkan untuk menjalani pernikahan.
“Siapa orangnya, Pak?” tanyaku pada Pak Husein, guru seni budaya.
“Pak Yanto.”
“Pak Yanto… yang punya pabrik gula itu?”
“Betul.”
“Bukannya dia sudah punya tiga isteri?”
“Empat, Pak.”
“APA? Itu sudah banyak!”
“Tapi uangnya lebih banyak lagi.” Pak Husein memberi penjelasan psikologis mengenai kegilaan Pak Yanto.
“Bu Fachrah, tenang, Bu, tenang. Memang beginilah keadaan masyarakat kita.” Kepala Sekolah bicara. Yang di telingaku terdengar aneh sebenarnya. Dan jika bagiku saja sudah aneh, tunggu bagaimana Bu Fachrah mendengarnya.
“JAADII (ya, benar, wanita itu memanjangkan bunyi ja dan di dengan sangat dramatis) menurut Bapak, karena ini sudah menjadi adat maka ini menjadi sebuah kebenaran? Begitu? Anda salah, Pak! Apa yang menjadi kebiasaan kebanyakan orang belum tentu sebuah kebenaran! Semua orang Quraisy menyembah berhala bukan berarti mereka benar dan Nabi Muhammad salah! (hehehe, aku tertawa dalam hati, rasakan sekarang pedasnya kemurkaan Waka Kesiswaan) Kita harus melakukan sesuatu, bapak ibu guru sekalian. Kita harus! Kita harus menyelamatkan Tari!”
Hening…
“Pak Kepala Sekolah?” Bu Fachrah menuntut.
“Ehm, i-iya. Kita, mm… sebagai guru memang…”
“HAALOO? (dia mendramatisir lagi!) ada apa teman-teman?”
“Kita, mm… mungkin sebaiknya… bicara dengan… siapa? Pak Yanto? Atau, mm…” seorang guru bersuara.
“HAAA... Jadi karena itu? Karena yang melamar Tari adalah Si Yanto tak tahu diri itu? Benarrrr?”
Semua guru menundukkan kepala. Derum bunyi R menggelegak bagai derak nafas buaya sungai Nil.
“Kita harus menghentikan pernikahan yang dzalim ini! Kita harus bicara dengan orang tua Tari. Pak, tolong, Pak, beri saya dukungan.” Bu Fachrah memelas. Walaupun dia berteriak dari tadi, dalam hati, Bu Fachrah tahu bahwa kegentaran yang dihadapi rekan-rekannya bisa diterima akal. Pak Yanto bukan jenis orang yang bisa diusik keinginannya. Dia gurita yang tentakelnya lebih banyak dari jumlah korban yang pasrah dia cengkeram siang dan malam.
“Pak Kepala, tolong Pak, bantu saya mengembalikan Tari. Dia andalan dan harapan kita, Pak.”
“Ehm, ba-bagaimana caranya, Bu?”
“Saya akan bilang pada orang tuanya kalau Tari akan mendapat beasiswa, sekolah gratis! Semuanya gratis. Tidak membayar sepeser pun. Seragam sampai biaya ujian gratis. GRATIS!”
“Ehm, i-itu, ehm, yah, boleh. Boleh. Saya mengijinkannya. Saya, saya setuju, Bu.”
“BEGITU SAJA?” Bu Fachrah meraung lagi.
“MEMANGNYA APA LAGI YANG HARUS KUBERIKAN?” Pak Kepala Sekolah menjerit putus asa.
“Paak,” Bu Fachrah memelas. “Mana mungkin saya datang ke sana sendirian? Orang tua Tari tidak akan perduli pada saya. Guru wanita di sini hampir tidak dianggap sebagai guru oleh para pria.”
Keheningan itu kembali lagi. Lebih mengerikan karena kini para guru pria terpojok di tempat persembunyian. Di sebelahku, Pak Husein menggaruk-garuk jempolnya.
“Baapaak-baapaaak? (Dia mendramatisir lagiii!)”
“BAIK! Aku yang akan menemani Bu Fachrah menemui orang tua Tari.”
“APA? ANDA?” Bu Fachrah terlonjak.
“Horeee!” Pak Husein bersorak.
“AISYH! Cocok sekali Pak Arul!” Kepala Sekolah girang.
“TAPI Beliau hanya akan menggagalkan rencana kita!” Bu Fachrah tidak terima. Menudingkan tangannya tepat ke ujung hidungku.
“Selamat berjuang, Kawan.” Pak Husein menyalamiku.
“Lakukan seperti ‘biasanya’, Pak Arul.” Kepala Sekolah mengedipkan mata.
“Berikan saya guru yang lain, guru perempuan pun boleh.” Bu Fachrah belum menyerah.
“Jangan, jangan!” semua guru perempuan bersuara. “Pak Arul sudah bagus, kok.”
“Kau akan mewakili kami semua, bukan?” Pak Husein menepuk pundakku.
“Saya yakin dengan keahlian Pak Arul, semua akan baik-baik saja.” Pak Kepala menjabat tanganku.
Sementara Bu Fachrah mencengkeram kepalanya yang berkerudung, aku… well, aku menikmati ini. Aku tersenyum bangga.
“JELASKAN PADAKU,” Bu Fachrah meledak lagi. “Mengapa Pak Arul ingin ikut menemui orang tua Tari?”
“Karena tanpanya kelas Bahasa Inggrisku akan kehilangan dua puluh pertanyaan cerdas per pertemuan.”
JADI, di sinilah kami. Duduk di ruang tamu sederhana sebuah rumah berdinding papan tua. Lantainya hanya tanah yang diratakan, perabotannya kehilangan semua warna cat aslinya, kursi dan mejanya berderit jika bergerak. Aroma rokok kelobot menggantung di udara. Dan dinding, tertempel foto lambang sebuah perguruan silat dalam bingkai kayu berlobang-lobang dimakan ngengat.
Aku dan Bu Fachrah masing-masing duduk di ujung sebuah kursi panjang di ruangan tersebut. Di balik meja, duduk Pak Warso dan istrinya berdekatan di kursi panjang serupa.
Bu Warso orangnya mudah tersentuh sekaligus mudah percaya. Dia sebelumnya percaya Pak Yanto akan membuat kehidupan keluarganya akan membaik seketika, namun setelah mendengar ulasan Bu Fachrah tentang penderitaan Tari sebagai isteri di bawah umur, dia mulai kasihan pada anaknya dan memercayai Bu Fachrah. Sementara Pak Warso, tidak ada peluang bagi Bu Fachrah untuk mengubah pendiriannya. Setidaknya untuk saat ini. Dan aku? Yah, aku di sini hanya untuk menemani bu guru hebatku. Selain itu, Bu Fachrah sebelumnya sudah mewanti-wanti agar aku tidak bicara.
“Jadi menurut Bu Guru, kalau Tari tetep sekolah, dia bisa jadi orang sukses? Kaya? Banyak duitnya?”
Bu Fachrah menelan ludah. Tapi dia harus menjawab. Apapun jawabannya. “Benar, Bapak. Tari adalah gadis berbakat, cerdas, memiliki segala persyaratan untuk meraih kesuksesan. Yang dia butuhkan adalah kesempatan dan dukungan, Bapak.”
“Hmm…” Pak Warso menggerung. “Apakah dulu Bu Guru juga sekolah?”
Mata Bu Fachrah berbinar. Memang apa lagi yang ingin didengar lelaki seperti Pak Warso ini selain anak yang bisa mendatangkan kemakmuran? “Oh, ya, tentu saja, Bapak. Saya juga sekolah. Sampai sarjana. Lulus dengan nilai tertinggi. Cum laude, Pak. Semua keluarga saya bangga pada saya, Pak.”
“Lha sekarang apakah ibu sudah kaya? Mana buktinya ibu kaya? Mana mobil punya ibu? Punya pabrik berapa?” Pak Warso menikam jagoanku. Bu Fachrah terdiam. Aku terkikik.
Waka kesiswaan itu berdehem. Menggeser duduknya mengambil gelas minumnya sementara kakinya menginjak kakiku. Sekuat-kuatnya!
“Sampean bilang Tari harus sinau, sinau, sinau, belajar terus sampek tinggi. Lha tinggi tinggi mau jadi apa? Itu, lihat, Pak Yanto itu, cuma lulus SD tapi punya pabrik! Yang kerja sama dia malah banyak yang lulus SMA! Ini Tari disuruh belajar supaya jadi apa, Bu?”
Aku manggut-manggut. Bu Fachrah berdehem. Dan kakiku kembali nyeri diinjaknya.
“Lihat diri ibu sendiri, buat apa sekolah lama-lama, uangnya keluar banyak, kawinnya tertunda sampai jadi perawan tua (Warrakakaka…aduuuh! Kakiku tergencet sekali lagi) tapi setelah lulus mobil saja tidak punya. Anak muda jaman sekarang mikir saja tidak lurus kok wani-wani jadi guru.” Pak Warso menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Merasa menang telah membuat Bu Fachrah bungkam. Di sebelahnya, isterinya mulai bimbang.
“Bapak, kita tidak tahu masa depan seseorang akan menjadi apa. Saya memang bercita-cita menjadi guru, Bapak. Jadi ini pilihan saya. Bukan hanya karena uangnya, Bapak. Tari mungkin saja akan menjadi pimpinan sebuah maskapai penerbangan, atau jadi direktur bank, atau jadi Duta Besar, atau menjadi insinyur nuklir, atau menjadi CEO Google!”
Gila, Bu Fachra berhasil membuat suami isteri itu terbengong-bengong mendengar jenis-jenis profesi tersebut.
“Kita tidak tahu takdir apa yang dipersiapkan Allah bagi hambanya. Tapi yang jelas, semua orang harus menuntut ilmu demi kebaikan hidupnya. Dan, oh ya, saya BU-KAN-PE-RA-WAN-TU-WA, saya langsung menikah begitu lulus kuliah. Sekarang anak saya empat!”
Aku terkikik mendengar pertempuran ini dan, yah, tentu saja, sekali lagi kakiku diinjaknya.
“Justeru Pak Arul ini yang belum laku!” dia menambahi dengan sengit.
Pak Warso kembali mencondongkan badannya, siap melanjutkan pertarungan. “Sampean tadi bilang tidak ada yang tahu takdir menungsa? Nah, sekarang ini ada yang lebih pasti, Tari akan menikah dengan Pak Yanto. Orang kaya. Banyak duitnya. Ndak perlu nunggu tahun-tahun, bayar banyak, nyari-nyari kerja, tapi langsung Tari punya uang banyak. Menghidupi keluarganya. Apa saya benar?”
“Benar, Pak.” Tiba-tiba saja aku nyeletuk. UPS!
Bu Fachrah menoleh sembari melotot ke arahku. Sial, dia akan menghajarku nanti di jalan sampai dua bulan kemudian. Pak Warso nyengir senang.
Dan, selanjutnya, perdebatan mereka pun berlanjut. Bu Fachrah yang tidak sudi kalah, Pak Warso yang sudah membuat keputusan, keduanya berdebat layaknya itu perang yang menentukan nasib dunia. Dan aku, maupun Bu Warso, akhirnya memilih untuk bersandar di kursi dan melirik kesana kemari. Sehingga kemudian, tatapan mataku tertumbuk pada sebuah kepala yang menyembul di balik tirai. Tari. Matanya berkaca-kaca menyaksikan Bu Fachrah berjuang mati-matian demi dirinya. Tangannya yang tersembunyi di balik kain mencengkeram erat seakan hendak melunakkan hati ayahnya yang sekeras tulang gorilla.
Tari…
Aku berusaha membuat kontak mata dengannya, tapi semua perhatiannya tersita pada Bu Fachrah. Dia tidak melihatku. Aku mulai mengedip-ngedipkan mata, mengangkat tangan se dada dan melambai-lambai, membuat gerakan mulut memanggil namanya tanpa bersuara, Ta-Ri, Ta-Ri, hoooy, Ta—
“WHAT THE HELL ARE YOU DOING, DUMBASS!”
Gleck! Bu Fachra berteriak di sampingku. Tanpa segan-segan. Aku tahu apa ini artinya. Bagai robot kehabisan baterai, aku memutar kepala perlahan-lahan, menatapnya dan tercengang. Guru itu berantakan. Wajahnya suram. Matanya merah. Emosinya menggelegak.
“A-aku… itu… ada… ng… lihat, ada lambang perguruan Singa Prana di tembok.”
“Pak-A-Rul?”
Perlahan, kuputar balik kepalaku. Berusaha menghindari Bu Fachrah tapi yang kini kulihat justeru wajah Pak Warso. Menyeringai.
“Bapak, Bapak ikut Singa Prana?” kataku. Berusaha menyelamatkan diri.
“BENARRR,” jawab Pak Warso.
“Do not faile me, Mr. Arul!” wanita disebelahku mengancam.
“Su, sudah lama, Ba-pak?”
“Ooo, saya ini orang pertama di desa sini yang ikut Singa Prana. Saya ini jagoan! Dulu pernah ada rampok saya libas sendirian. Tidak ada orang di sekitar sini yang tidak kenal Warso pendekar Singa Prana!”
“AHA! Jadi bapak seorang pendekar?!” aku memekik. Ya, aku memekik. Aku tiba-tiba tercerahkan. Ini hanyalah salah satu mata kuliah psikologi yang harus dilihat dengan kaca mata yang lebih luas.
Sementara Pak Warso membanggakan kisah kependekarannya, Bu Fachrah mencubit lenganku dan bicara hampir tanpa menggerakkan bibirnya. “Do you have any idea about what you’re doing, donkey?” oh ya, tentu saja dengan mata melotot.
“Well, listen, may be I am a dumbass stupid monkey donkey (selanjutnya perbincangan ini akan langsung diterjemahkan), tapi saya tahu bagaimana cara mendapatkan Tari kembali ke sekolah kita!”
“Anda sebaiknya diam dan biarkan saya—”
“Tidak, sekarang giliranku menyelamatkan muridku!” aku berkeras. Kueratkan gigiku untuk menguatkan bunyi tekadku.
“Tapi apa yang bisa Anda lakukan?”
“…sepuluh begundal! Sepuluh begundal saya hantam semua! Saya libas! Sejak hari itu, desa-desa di sekitar sini ikut berguru di padepokan Singa Prana.” Pak Warso menyudahi monolognya.
“Pak Warso! Saya menantang Anda berduel!”
“WHAT THE HELL ARE YOU TALKING ABOUT, MOTHERF**KER!!!” Bu Fachrah terlonjak dan berdiri dari kursi.
“Kowe nantang satrio Singo Prono?” Pak Warso menggebrak meja.
“Jangan, Nak! Jangan, Nak! Jangaaan!” Bu Warso menutup muka.
“Bapaaakkkk!” Tari menjerit di balik tirai.
“BENAR! Aku menantang Bapak, pendekar Singa Porno, eh, Singa Prana!”
“ARE YOU MAD? YOU ARE A TEACHER, ASSHOLE! WHERE’S YOUR DIGNITY?”
“Kowe golek pati, bocah! Kau mencari mati, anak muda!”
“Aku siap! Tapi ada syaratnya! Kalau Bapak memang seorang ksatria, Bapak akan menerima syarat saya!”
Bu Fachrah seketika terdiam. Matanya terbeliak. Dia tahu aku gila, tapi dia juga tahu apa yang kupikirkan. Dan baginya, orang gila yang bisa berpikir adalah keajaiban dunia pendidikan.
Di balik tirai, tampak siluet Tari bersimpuh mengangkat kedua tangannya.
“Katakan apa syaratmu. Satrio Digjoyo Singo Prono tidak pernah mundur dari tantangan!”
“Jika saya kalah, kami akan kembali meninggalkan Bapak sekeluarga. Tapi jika saya menang, Tari harus kembali bersekolah sampai tiba saatnya dia ingin berhenti sekolah! Bapak sanggup?”
“…… “
“Bapak sanggup? SANGGUP?”
“Kowe dari padepokan apa, Pak Guru?”
Aku menyeringai, perlahan-lahan berdiri, Bu Fachrah melangkah mudur, Bu Warso menahan napas, Tari menyungkur sujud. Dengan menudingkan tangan tepat ke jidat Pak Warso, kugemakan tantangan resmi ala dunia persilatan:
“Saya, Arul, ksatria tunggal dari padepokan Monyet Edan Buntut Sekilan Penguasa Alas Roban, menantang Pak Warso, pendekar digjoyo dari padepokan Singo Prono, untuk beradu kanuragan atas nama putrinya, Tari. Apakah ki sanak menerima tantangan saya?!”
IT’S a damn hot afternoon, aku yakin itulah yang meluncur dari mulut Bu Fachrah setelah Pak Warso mendeklarasikan kalimat penerimaannya. Bagaimanapun juga, di sinilah kami kini berdiri, di halaman rumahnya yang luas, di bawah bayang-bayang pohon sawo, diguyur cahaya matahari terik, bertarung demi sesuatu yang kami yakini kebenarannya.
Bagi Pak Warso, seorang pendekar dengan harga diri tinggi, memang tidak ada cara untuk mengubah pendiriannya kecuali mengalahkannya. Kalah dalam artian sebenar-benarnya: membuatnya melihatku berdiri tegak dari permukaan tanah. Bu Fachrah tidak akan pernah memahami ini karena hanya para lelaki bertekad baja yang bisa mengerti sifat heroik begini. Lantas, tidakkah saat itu aku ingat bahwa aku seorang guru? Yang harus menjaga martabatnya, harga dirinya, wibawanya? Oh, tentu saja aku ingat, bahkan Bu Fachrah mengingatkanku, tapi, apa artinya menjadi seorang guru jika hanya karena berusaha menjaga martabat dan wibawa, kau melepaskan satu-satunya kesempatan menyelamatkan muridmu? Aku bukan guru yang peduli dengan wibawa, aku hanya peduli bahwa semua muridku harus bisa merasakan bahagianya menuntut ilmu. Dan itulah kebahagiaan bagi Tari, muridku.
BHRUACK!
Tinju kiri Pak Warso menghantam dadaku. Untuk beberapa saat jantungku seakan berhenti berdetak. Aku sesak sementara tubuhku jatuh terjerembab. Debu terbang begitu punggungku menyentuh tanah.
“ARUUULLL!!!” Bu Fachrah menjerit.
“Sampun, Bapaaaaak! Sudah, Bapaaak! Cukuuuup!” Bu Warso histeris.
Dan Tari, gemetar di belakang ibunya. Sebagai anak, tentu dia tidak ingin ayahnya terluka, sebagai murid, tentu harga dirinya cedera melihat gurunya disiksa.
Tapi aku belum selesai. Aku bangkit. Membuat kuda-kuda. Bersiap menghadapi Pak Warso yang sudah membuat langkah pertama.
“Juurus Singa Membelah Ombak Samudera!” Pak Warso maju.
“Sialan!” aku mengumpat. Tapi itu tidak menghentikan lawanku. Aku harus bergerak. “Jurus Monyet Terpelajar Menghajar Singa Tua Kolot dan Tidak Tahu Diri! ROAAAAARRRR!”
Aku berlari, menerjang. Pak Warso berkelit, tendanganku mencabik udara. Tangan kiri Pak Warso dengan sigap menarik bajuku dan tinju kanannya terbang menghantam pipiku.
“Modar kowe kethek wedok!”
Sekali lagi aku terjungkal oleh pukulan keras Pak Warso. Bukan hanya itu, dia juga menyumpahiku sebagai monyet betina, dan berharap aku segara binasa. Well, dia ada benarnya juga, aku memang tidak setangguh mo—
Gelap.
Pekat.
Sunyi.
Entah berapa lama sebelum kemudian kudengar lagi suara.
“GET UP, ARULLL! GET UP! GET UP! KILL THAT STINK TOAD! KILL HIMMM!”
Yeah, kini aku tersenyum. Perempuan itu memang tidak pernah berubah, kataku dalam hati. Tidak peduli berapa banyak anak yang dia lahirkan, dia selalu punya kata-kata hebat yang tak pernah lekang oleh jaman. Dia selalu tahu kata yang layak untuk seseorang yang membuatnya jengkel. Hahaha. Bukankah dulu waktu kuliah dia selalu memanggilku be—
“GET UP!” suara itu meledak di telingaku. Membuatku terlonjak. Menarikku kembali dari alam bawah sadarku.
Di sana, Pak Warso berkacak pinggang, menatap diriku yang tersungkur. Bu Fachrah berteriak-teriak menyemangatiku. Bu Warso memohon-mohon Pak Warso untuk menghentikan pertarungan. Tari… aku tak mendengar suaranya. Tapi aku tahu ini saatnya untuk bangkit lagi.
Seandainya ini sebuah film, pada detik ini, seharusnya terdengar bunyi musik cepat-berderap yang memicu adrenalin penonton, seharusnya ada cahaya kemilau mencuat dari tinju dan wajahku, seharusnya semua makhluk bergerak lambat terperangkap dalam aura yang menguar dari tubuhku. Inilah momen-momen itu.
SETELAH berkali-kali dihajar Pak Warso aku mulai menyadari dia ‘sempurna’. Dia tak terkalahkan. Dia bisa melihat gerakan lawan bahkan ketika lawan belum menyerang. Dia bisa membaca ke arah mana serangan mengarah. Pak Warso adalah petarung yang dilengkapi dengan radar serta alarm. Dan, satu-satunya cara mengalahkan jurus yang sempurna adalah melawannya dengan jurus yang tak sempurna. Ini pertaruhan antara hidup dan mati—maksudku, tentu saja Pak Warso tidak akan membunuhku, ini akan menjadi serangan pamungkas dan paling terakhir dari duel kami. Di sini, masa depan seorang gadis jenius dipertaruhkan.
“Bocah, kau sudah kalah. Menyerahlah dan kau akan pulang dengan selamat.” Pak Warso sesumbar.
Semesta menciut. Itulah yang kurasakan. Mayapada menyatu pada tinju dan kakiku. Luka dan darah menjadi tenaga dan semangat. Aku tidak akan menyerah, Singo Porno! Eh, Singo Prono!
Aku memasang kuda-kuda, Pak Warso hilang senyumnya, aku menggabungkan kedua tapak tanganku, Pak Warso kini siaga, aku keluarkan kepalan tanganku, Pak Warso tahu ini bukan lawan enteng seperti yang dia hadapi dulu.
“Jurus Pukulan Partikel Maut Bertenaga Nuklir Seribu Bayangan Monyet Jenius! Majuuuu!” aku berlari menyerbu.
“Singo Alas Nguras Segoro,” Pak Warso mengeluarkan jurus pamungkasnya. Menyongsong jurus paling asing sedunia persilatan yang pernah dia dengar.
Aku menyerbu Pak Warso bagai monyet lapar menyerang pisang tak berdaya. Pak Warso mengeratkan giginya sementara jarak kami tinggal tiga langkah dan, wussss, tendangan maut Singa Hutan Menguras Lautan menyambar secepat kilat, mencabik muka… bukan, bukan mukaku, tapi udara kosong. Tepat selangkah sebelum masuk radius jangkauan kaki Pak Warso aku menghentikan langkahku. Pak Warso tidak menyadari tipuan itu. Jurus tendangannya yang terkenal tak pernah meleset dari sasaran, kini hanya menghajar kehampaan. Pak Warso terkesima.
“Ini monyet macam apa sebenarnya?”
Memanfaatkan keterkejutan sang pendekar, aku menyerbu maju dan langung menghantam perut tuanya dengan sekuat tenaga.
BUGGHCK!
“NGHECK!” terdengar suara tercekat Pak Warso. Tubuhnya terhuyung. Kepalanya tertunduk macam orang rukuk. Dan sebelum dia menyadari apa yang terjadi, aku melompat maju, menerkam kepalanya dengan kedua tanganku, kemudian…
“JURUS PROFESOR DOKTOR INSINYUR MONYET SARJANA HUKUM MEREMUKKAN KELAPAAAA!!!”
….
EHM, halo, namaku Arul. Aku satu-satunya ksatria dari padepokan Monyet Edan Buntut Sekilan Penguasa Alas Roban. Aku menciptakan jurus-jurusku sendiri. Tapi jangan remehkan aku, karena aku akan mengajakmu mendengarkan sesuatu. Kau siap? Dengarkan baik-baik, oke!
…
PHRUAAACKKK!
Bunyi berderak memecah keheningan siang. Tanganku terlepas ke udara. Kepala Pak Warso meluncur seakan hendak lepas ke udara. Di bawahnya, dengkulku terbang menyusul. Di antara kepala dan dengkul, sesuatu dengan latar warna kemerahan tampak melayang-layang di tengah kehampaan. Dua benda mungil itu memiliki warna kuning kecokelatan. Bagai roket kembar, mereka melesat cepat di depan wajahku. Sebuah gigi seri beserta saudara tirinya, gigi geraham.
PAK WARSO pingsan selama kurang lebih tiga puluh detik. Bu Warso dengan panik mencipratkan air dingin ke wajah suaminya yang berlumuran darah. Aku terpincang-pincang, dengkul kananku terluka. Bu Fachrah memeluk Tari, ketakutan. Jika Pak Warso mati, pikirnya, tamatlah riwayat sekolah yang dia perjuangkan. Tapi semua kekhawatiran sirna ketika Bu Warso tiba-tiba berteriak bahagia.
“Bapaaaakkkk! Bapaaakkkk! Alhamdulillah, Bapak slamettt! Ojo bertarung lagi Bapak, ojo lagiiii!”
Dengan tertatih-tatih, aku menyusul Bu Fachrah dan Tari yang mengerumuni Pak Warso. Dan, owh, pendekar tua itu benar-benar berantakan. Dia terkapar sementara bekas darah masih tampak di wajahnya walau isterinya telah mengelapnya dengan air. Mata Pak Warso berputar-putar, mencari seseorang. Aku. Dan begitu tatapannya bertemu dengan tatapan mataku, lelaki keras kepala itu… tersenyum.
“Nduk, kowe punya guru yang hebat. Kowe punya guru yang hebat.” Dari permukaan tanah, dia menatapku berdiri tegak.
***
TAKDIR? Aku punya kabar buruk juga kabar baik mengenainya. Kabar buruknya, tidak ada yang tahu takdir macam apa yang dijatahkan bagi kita. Kabar baiknya, kita punya kesempatan untuk mendapatkan takdir yang terbaik bagi hidup kita. Karena itu, selama masih bernyawa, selama masih punya tenaga walau hanya sekedipan mata, lakukanlah semua usaha untuk mencapai takdir yang baik bagi masa depan kelak.
Pak Yanto tidak mendapatkan Tari sebagai istrinya yang ke-lima. Dia memperoleh perempuan lain yang, malangnya, setelah tiga tahun pernikahan mendapati Pak Warso bangkrut dan runtuh dari kekuasaannya. Pabrik gulanya ditutup pemerintah karena penggunaan bahan-bahan berbahaya dan minimnya standar kesehatan serta pajak yang tak pernah dibayarkan.
Bu Fachrah, dengan cara pandang yang jauh melampaui masanya terbukti benar, Tari menjadi perempuan pertama di desanya yang menamatkan SMA sekaligus yang pertama melanjutkan kuliah. Walaupun kemudian Tari tidak mendapatkan satu pun profesi yang dijanjikan bu Fachrah pada hari itu, tapi Tari menjadi perempuan pertama yang menjadi kepala desa. Suaminya seorang sarjana pertanian yang membawa perubahan besar bagi desanya setelah keruntuhan tanaman aren akibat tercemarnya nama baik gula produksi desanya karena ulah Pak Yanto.
Bu Fachrah menjadi kepala sekolah dan dengan galaknya perempuan itu menunjukku sebagai Waka Kesiswaan. Pada hari kedua masa jabatanku, seorang murid kuijinkan keluar sekolah dengan begitu mudahnya. Yah, perempuan itu tentu saja marah. Dia memecatku dan mengangkat Pak Husein hanya karena dia punya jiwa penurut yang sangat mutlak pada atasan. Aku guru Bahasa Inggris, tentu saja, dan hanya itu, aku bisa menjadi baik hanya jika berurusan dengan Bahasa Inggris. Memangnya dia berharap aku mengeluarkan jurus monyet gila pada seorang ibu tua yang merana? Yang benar saja!
Pak Warso yang kehilangan dua giginya tidak memasang gigi palsu tapi malah berhenti merokok. Uang rokok sebulan cukup untuk membeli buku tambahan bagi Tari, katanya.
Entah bagaimana dia melakukannya, aku mendengar kabar jika Pak Warso mengalahkan lima centeng Pak Yanto yang berusaha menghajarnya atas perintah Pak Yanto setelah dia membatalkan rencana pernikahan putrinya. Untuk menjaga harga dirinya, aku mendatanginya sekali lagi untuk memintanya menjadi guru beladiri di sekolahku.
“Saya tidak butuh uang,” katanya ketika aku menyebutkan jumlah gajinya perbulan.
“Lantas bagaimana kami bisa membayar Bapak?” tanyaku.
Pendekar Singa Porno itu, eh, Singa Prana itu hanya tersenyum.
Dia tersenyum lagi.
Aku mengangkat bahu. “Apa Ba—”
BRACK! Pak Warso menggebrak meja dan seketika itu juga aku paham apa maksudnya.
Yah, beginilah cara pendekar berbicara, kadang kata-kata bukanlah media yang tepat untuk menyampaikan maksudnya, tinju adalah puisi paling terang bagi mereka. Sampai kapan pun, semua penduduk dari tiga desa akan selalu mengingat bahwa Pak Warso adalah pendekar Singa PRANA yang tak pernah kalah menghadapi lawan-lawannya.
The end
Arul Chandrana
Twitter: @arulight
NB.:
Terimakasih untuk Mbak Linda yang telah dengan senang hati merapikan EYD cerpen ini.
Terimakasih pula untuk Mbak Ruri Ummu Zayyan yang telah menuliskan pengalamannya dan menjadi inspirasi bagi kisah ini.
Terimaksih untuk semua guru-guruku yang tidak menyerah untukku.
Jika teman-teman merasa ini layak dibaca lebih banyak orang, nanti bantuin share di noite fb, ya. terimakasih.
kereeen ceritanya, Pak Arul... kisah yang menggugah ;)
ReplyDeleteBapak mengajar di Pulau Bawean-kah?
ReplyDeleteKeren banget gak sia-sia nyimak website ini keren
mantap banget websitenya keren bingittss
ReplyDeleteartikelnya sangat bagus,terimakasih infonya
ReplyDeleteSpecta sangat ini webnya keren ihh dari mulai tema sampe ke artikelnya
ReplyDeleteFix ini website keren
ReplyDeletewebsite nya keren banget
ReplyDeleteartikelnya sangat bagus thanks infonya
ReplyDeletenice infonya
ReplyDeleteKece total webnya
ReplyDeletethanks infonya
ReplyDeleteTop banget deh
ReplyDeleteTop banget deh
ReplyDeletebanget keren total
ReplyDeletekeren banget web nya
ReplyDeleteweb ini emang bener keren
ReplyDeleteweb ini aku suka ditunggu artikel selanjutnya
ReplyDeletekeren
ReplyDeleteditunggu artikelnya
ReplyDeletemakasih sharenya
ReplyDeletemakasih
ReplyDeletebermanfaat terimakasih http://goo.gl/SIy5Kz
ReplyDelete