Tuesday, March 18, 2014

BAW Road Show dan Bedah Buku Bawers (bag.2)

Tulisan ini adalah kelanjutan dari BAW Road Show dan Bedah Buku Bawers kemarin, tanggal 15 Maret 2014 di TM Bookstore, Depok Town Square (DETOS), Depok. Yaitu ketika salah satu anggota BAW membedah novel terbitan Penerbit Quanta, yaitu Novelnya Ade Anita yang berjudul "Yang Tersimpan di Sudut Hati" dan novel terbitan Elexmedia Komputindo yang ditulis oleh Irhayati Harun, yang berjudul "Rumah Mande".


Seharusnya acara berlangsung sejak pukul 14.00 wib. Tapi, karena pertimbangan satu dan lain hal, akhirnya diundur 15 menit menjadi dimulai pukul 14.15 wib. Pengunjung masih malu-malu sepertinya, jadi tidak semua kursi terisi penuh. Tapi beberapa kepala tampak terlihat diam-diam menyimak jalannya acara. Mbak Dian sebagai MC membuka acara dengan lincah dan penuh keakraban. Belum-belum, dia sudah melemparkan sebuah kuis untuk mencairkan suasana yang kaku. 



Mbak Dian dan pemenang Kuis pembuka acara
salah satu pemenang acara kuis pembukaan: Anik Nuraeni
















suasana para hadirin acara bedah novel dan sharing kepenulisan BAW




Tapi memang nyata kuis itu bisa membuat acara bedah novel diawali dengan suasana yang akrab dan cair. Setelah, acara kuis pembukaan, barulah MC (yaitu mbak Dian) menyerahkan acara seluruhnya kepada Moderator, yaitu Elita Duatnova.

Elita Duatnova yang cantik
bedah novel "Yang Tersimpan Di Sudut Hati"

Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan oleh Elita Duatnova (ED)selaku moderator pada penulis (yaitu mbak Ade Anita atau disingkat AA). Pertanyaan demi pertanyaan itu adalah:

ED: Ini adalah novel yang berjudul Yang Tersimpan di Sudut Hati. Hmm... mm... sebenarnya ada apa ya di dalam hati itu? Di sudut lagi. Apa sih yang tersimpan di sudut hati teman-teman yang ada di sini semuanya? Hayoo.. apaa?.. Soal judul nih Mbak Ade, kenapa memilih judul Yang Tersimpan di Sudut Hati?
 AA: Oh, itu. Sebenarnya, awalnya novel ini judulnya bukan Yang Tersimpan di Sudut Hati sih. Tapi, judulnya Pulang, saya samakan dengan judul Puisi yang saya taruh di bagian akhir novel ini dimana judul puisi tersebut adalah "Pulang". Tapi, ketika mengajukan draft ke penerbit, ada teman yang memberi saran untuk mengganti judul novel karena judul PULANG itu kurang menjual. Lalu saya diskusi dengan suami saya. Saya minta pendapat suami saya dan suami saya memberi saran judul "Yang Tersembunyi di sudut hati". Tapi, setelah edit final dari editor, berubah lagi judulnya, itu juga atas saran dari suami saya, jadilah 'Yang Tersimpan di Sudut Hati."

ED: Oh, berarti atas saran suaminya toh. Mana ya suaminya?(lalu pandangan AA melirik ke arah seorang lelaki ganteng yang sedang menggendong bayi perempuan yang cantik di salah satu sudut TM Bookstore. Jadi, otomatis pandangan semua orang jadi ikut melihat ke arah lelaki itu deh hehehe)
ED: Di dalam novel Yang Tersimpan di Sudut Hati, diceritakan tentang isyu Santet. Menurut Mbak Ade sendiri apa lagi hal yang menarik dari novel ini sehingga novel ini layak untuk dibaca?
AA: Hal yang membuat novel ini menarik menurut saya karena novel ini bercerita tentang santet memang. Yaitu bagaimana sebuah keluarga  yang sebenarnya memeluk agama Islam dengan baik tiba-tiba dituduh melakukan praktek santet padahal sebenarnya hal itu tidak mereka lakukan. Semua terjadi karena sebuah fitnah semata. Tapi, meski demikian, keluarga tersebut tetap tidak dapat membuktikan bahwa itu adalah fitnah, sehingga mereka terusir dari kampung halamannya dan di wilayah yang benar-benar asing dan baru buat mereka, mereka mencoba untuk bertahan hidup dan memulai kehidupan dari nol lagi. Yang menarik menurut saya, karena jika hal ini terjadi di keluarga lain mungkin ini merupakan awal dari sebuah konflik yang tidak berkesudahan. Tapi sebaliknya pada keluarga ini, mereka bisa bangkit lagi tanpa harus menaruh rasa dendam. Mereka juga tidak menjadi terpuruk karena musibah yang datang menimpa tapi malah segera bangkit lagi, move on, dan berhasil menggali potensi yang mungkin tidak akan muncul jika mereka tidak pernah mendapat musibah seperti itu. 
 ED: Oh ya, Move On. Saya setuju sekali bahwa memang benar bahwa tidak semua musibah itu bisa membuat kita terpuruk. Saya sendiri jika tidak mengalami sebuah sandungan dalam kehidupan ini mungkin juga tidak akan pernah tahu bahwa saya bisa seperti sekarang. Eh, berarti ini kisah yang diambil dari kisah nyata ya?
 AA: Iya. Kebetulan, saya punya sahabat pena. Saya kenal dia sejak tahun 2002, kami memiliki hubungan sahabat pena. Dia cerita ke saya bagaimana kehidupannya, yang dia harus terusir dari kampugn halaman ayahnya karena fitnah akibat perebutan harta warisan keluarga besarnya, lalu dia terpaksa harus tinggal di sebuah kandang ayam yang ada di bawah rumah panggung, bagaimana dia kemudian berusaha untuk bangkit lagi.
 ED: Dalam penulisan novel ini, ada kesulitan nggak sih mbak? Kalau ada, bagaimana cara mbak Ade mengatasinya?
 AA: Kesulitan yang saya hadapi itu, karena saya kan lahir dan besar di kota Jakarta. Jadi, saya sudah amat terbiasa dengan pergaulan dan budaya dan pola pikir sebagai orang Jakarta. Lalu, tiba-tiba saya harus menulis sesuatu dengan setting yang amat berbeda dengan semua kebiasaan saya sehari-hari. Yaitu harus bercerita tentang seorang gadis yang tinggal di dusun pedalaman yang jauh dari perkotaan, dan suasananya benar-benar berbeda dengan kota Jakarta. Itu sebabnya selama penulisan ini, saya akhirnya membongkar kembali semua arsip surat-menyurat saya dengan sahabat pena saya tersebut. Saya baca lagi, saya amati bagaimana cara dia membahasakan dirinya, cara dia berpiikir, cara dia bersikap semua saya amati dan pelajari dari tumpukan surat-suratan kami. Gak mudah buat saya, tapi ya berusaha.




ED: Oke mbak. Sekarang, aku mau tanya nih. Di novel ini ada beberapa nama yang tampaknya kok mirip-mirip ya bunyinya, seperti ada Solasfiana, Sofyan, Sofi... kira-kira, ada sih sebenarnya di balik nama yang terdengar mirip-mirip tersebut? Ada makna filosofi apa di balik pemberian nama-nama tersebut?
AA: Novel saya ini mengambil setting di daerah Sumatra Selatan, yaitu di daerah pedalaman yang ada di pinggiran Sungai Musi. Disana, tidak banyak variasi nama-nama yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Sama seperti misalnya, nama anak saya Hawna yang ternyata sama dengan nama neneknya. Sementara nama siapa ternyata dimiliki juga oleh beberapa orang lain yang berasal dari daerah tersebut. Bukan karena budaya yang mengharuskan mereka memberi nama anak-anak mereka dengan nama tertentu saja, tapi karena memang tidak banyak koleksi variasi nama yang diberikan oleh orang tua pada anak-anak mereka di daerah yang menjadi setting novel saya tersebut. Justru jika saya memberikan nama yang berbeda dan keren-keren menurut ukuran saya misalnya, itu sudah merupakan sesuatu yang menyimpang dari budaya lokalitas yang sedang saya angkat di novel tersebut. 

ED: Terakhir nih mbak sebelum kita masuk ke sesi tanya jawab dengan yang hadir disini, menurut mbak Ade apa yang membuat novel ini berbeda dengan novel lain sehingga novel ini rekomendasi untuk dibeli?
AA: Sebelumnya, mungkin saya akan bercerita terlebih dahulu. Kenapa saya menulis novel ini. Jadi, kurang lebih 3 tahun yang lalu, saya terlibat dalam diskusi dengan teman-teman saya yang sama-sama menggemari dunia literasi Indonesia. Kami semua ternyata punya sebuah rasa keprihatinan yang sama terhadap dunia literasi Indonesia. Yaitu, kami menyayangkan kenapa sekarang banyak penulis yang lebih menyukai menulis sesuatu dengan setting luar negeri, entah itu setting dari Timur Tengah sana atau dari wilayah Asia, khususnya Korea sebagai dampak lanjutan dari demam segala sesuatu yang berbau Korea. Yang kami takutkan itu adalah, pada akhirnya generasi mendatang akan berkurang rasa cinta pada tanah air Indonesia. Padahal, ada banyak sekali cerita yang bisa dikembangkan di Indonesia karena Indonesia itu kan kaya dengan budaya, ada banyak juga wilayahnya yang eksotis dan cantik-cantik untuk diceritakan dan diperkenalkan. Nah, output dari rasa keprihatinan ini adalah, kami semua jadi berkomitmen, bahwa suatu hari nanti harus bisa mengangkat sebuah cerita dengan latar belakang lokalitas Indonesia. Kami ingin mengangkat sisi menarik dari Indonesia. Memperkenalkannya pada orang banyak lewat tulisan. Nah, kebetulan ada lomba dan mulailah saya berpikir keras apa ya hal yang unik yang bisa diceritakan dimana suasana Indonesia amat kental disisipkan di dalamnya. Itulah saya ingat pada kegiatan surat-menyurat dengan sahabat saya itu. Dan akhirnya, cerita sahabat pena tersebut saya angkat menjadi sebuah cerita tersendiri dalam novel "Yang Tersimpan di Sudut Hati." Dengan demikian, saya amat merekomendasikan novel saya ini pada mereka yang ingin melihat sisi lain dari Indonesia yang benar-benar berbeda. Dan novel ini juga berbeda dengan novel-novel kebanyakan yang beredar yang masih memuja segala sesuatu dari luar negeri. Ini novel yang benar-benar berusaha untuk mengangkat lokalitas Indonesia. Jadi... silahkan dibeli ya.


Jawaban Ade Anita ini mengakhiri sesi bedah novel bagian pertama. Selanjutnya, dibuka sesi tanya jawab dimana kesempatan bertanya diberikan kepada para hadirin. bersambung ya ke bagian ke 3 tulisan ini.

1 comment:

Terima kasih telah berkunjung ke blog BaW. Mohon kritik dan komentar yang membangun untuk setiap postingan ;)