Thursday, June 12, 2014

Bincang-Bincang Keren: Indah Hanaco


Indah Hanaco
Memerah Ide dan Menjadi Penulis Produktif
 by : Indah Hanaco (pemateri  undangan)

Judul di atas tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori “tip” karena kapasitas saya masih sangat jauh dari itu. Namun saya ingin berbagi sedikit pengalaman selama empat tahun terakhir total di dunia kepenulisan.


Oh ya, sebelum membahas tema di atas lebih jauh, saya ingin memperkenalkan diri dulu. Nama saya Indah Hanaco, memilih untuk berprofesi sebagai penulis sejak pertengahan tahun 2010. Selama ini, novel saya yang sudah diterbitkan berjumlah 17 buah. Yang terakhir berjudul Crazy Little Thing Called Love dari penerbit Gramedia Pustaka Utama.

Seberapa penting sih sebuah ide itu? Buat saya, ide itu hal terpenting sebelum kita mulai menulis. Tanpa ide besar yang menjadi pijakan suatu cerita, rasanya mustahil menyelesaikan suatu tulisan, kan?

Keluhan yang sering muncul adalah sulitnya menemukan ide. Tapi, apa memang seperti itu?
Duluuuu, saya juga berpendapat demikian. Ide adalah barang langka yang menyapa sesekali saja. Tidak bisa berharap tiap hari ada ide yang menembus benak kita dan kelak bisa dieksekusi menjadi sebuah naskah sepanjang 50 ribu kata, misalnya. Hingga kemudian saya diberi masukan oleh seorang penulis senior tentang “pentingnya memerah ide”. Menurut beliau, kita seharusnya tidak pernah kehabisan ide karena ada banyak hal di sekitar yang bisa dimanfaatkan. Dan beliau juga menyarankan untuk belajar memerah ide, memaksakan sebuah gagasan masuk kepala.

Awalnya saya kebingungan dan merasa pesimis. Apa bisa? Tapi akhirnya saya mulai mencoba mengikuti nasihat si senior ini. Hasilnya? Sulitnya setengah mati. Waktu itu saya mendapat ide tentang boneka matryoshka dari Rusia. Tapi sama sekali belum tahu mau diapakan ide itu. Setelah menghabiskan waktu berjam-jam, akhirnya ide matryoshka ini matang juga. Dan kelak menjadi sebuah novel anak yang diterbitkan oleh Penerbit Tiga Serangkai dengan judul Matryoshka Bernyanyi.

Sejak itu, saya mulai membiasakan diri memerah ide. Tingkat kesulitannya pun makin berkurang setelah dijadikan kebiasaan. Setelahnya, tidak ada masalah dengan mengumpulkan ide sebanyak mungkin. Kita hanya perlu mencatatnya segera saat ide datang, untuk dimatangkan kemudian.

Hal lain yang tidak kalah penting sehubungan dengan ide ini, membuat persediaan matang untuk mendukung aktivitas menulis kita. Pasti teman-teman sudah terbiasa mendengar bahwa seorang penulis itu harus banyak membaca dan menulis. Itu adalah saran yang sangat benar, tidak perlu dipertanyakan kebenarannya.

Dengan banyak membaca, kita mempelajari bagaimana seseorang mengeksekusi idenya. Ada banyak kok ide yang mirip namun tiap penulis memiliki kemampuan berbeda saat menuntaskannya dalam cerita. Menjadikan menulis sebagai rutinitas juga menjadi hal yang tak bisa ditawar-tawar. Semakin banyak kita menulis, biasanya semakin bagus kualitas tulisan kita.

Satu hal lagi, jangan lupa menonton banyak film, terutama yang berkualitas. Buat saya pribadi, film adalah media yang luar biasa untuk menemukan beberapa ide. Kadang dari sepotong adegan bisa “bercerita” banyak dan memberi gagasan yang sebelumnya tidak terbayangkan.

Pada akhirnya, aktivitas membaca, menulis, dan menonton ini bisa memberi sumbangan yang besar saat kita sedang berusaha menemukan ide.

Lalu, apakah ada hubungan antara ide dan menjadi penulis produktif? Tentu saja ada. Keduanya sangat berhubungan, malah. Dengan ide yang segunung, kita bisa menuliskan banyak cerita. Mendorong produktivitas sedemikian rupa hingga selalu berkarya.

Selain ide, produktivitas membutuhkan rencana yang jelas dan terarah. Juga disiplin dalam menulis. Mustahil orang bisa produktif jika tidak menulis dengan teratur dan lebih banyak menuliskan kegalauan di sosial media. Menjadi penulis produktif jauh lebih sulit dibanding persoalan menemukan ide. Bahkan menemukan penerbit. Eh, itu opini pribadi saya, lho!

Saya tidak bermaksud menakut-nakuti, hanya memaparkan fakta saja. Bahwa sebenarnya menjaga konsistensi dan produktivitas itu sangat sulit. Karena kita berhadapan dengan diri sendiri. Kita harus mampu mengalahkan diri sendiri yang kadang sedang dijajah oleh rasa malas atau mood yang berantakan. Menjadi penulis produktif tidak boleh dikalahkan oleh mood.

Pengalaman saya pribadi untuk menjaga produktivitas itu tidak muluk-muluk. Setelah memiliki ide, saya membiasakan diri untuk membuatoutline. Lebih detail lebih baik. Karena seorang penulis senior pernah berujar bahwa menyelesaikan sebuah outline fiksi sama artinya menyelesaikan 40% naskah.

Awalnya saya menulis tanpa panduan outline dan merasa pendapat si senior tadi agak berlebihan. Tapi makin ke sini saya makin menyadari kalau apa yang diucapkan beliau adalah hal yang benar. Sejak itu, saya rutin membuat outline per bab. Makin detail, biasanya makin bagus. Makin bagus di sini dalam hal memudahkan proses penulisannya kelak. Sehingga kita memangkas banyak waktu untuk melamun dan mencari ide tambahan untuk mengembangkan cerita jika outline sudah detail.

Outline yang sudah matang ini sangat bermanfaat untuk mengatasi writer’s block yang banyak melanda penulis. Dan pada akhirnya, membuat kita mampu menyelesaikan tulisan dengan cepat, tanpa kendala berarti. Setelahnya, kita pun bisa beralih ke naskah lain. Dan itu tentu saja membuat kita menjadi penulis produktif, kan?

Bagaimana jika writer’s block keburu menyerang atau mood benar-benar tiarap? Biasanya disarankan untuk meninggalkan tulisan dan melakukan aktivitas lain. Cuma entah kenapa saya malah melakukan sebaliknya.
Bila sedang dalam kondisi seperti di atas, saya malah terbiasa memaksakan diri untuk terus menulis. Meskipun jumlah halaman yang bisa diselesaikan biasanya lebih sedikit dibanding biasa. Yang penting buat saya, proses untuk mengalahkan kebuntuan itu. Tidak mengapa jika merasa kesulitan, yang penting ada kemajuan. Ada jumlah kata yang bertambah. Karena setelah bagian yang sulit itu terlewati, biasanya menulis akan lancar lagi.
Mungkin ini cara yang aneh untuk mengatasi writer’s block, ya? Saya dulu pernah mengikuti saran untuk melakukan aktivitas lain di luar menulis. Sayangnya, cara itu tidak cukup ampuh menolong saya menyelesaikan naskah. Akhirnya, saya pun memilih cara seperti di atas. Dan selama ini cukup berhasil.

Oh ya, jangan lupa untuk mengatur waktu dengan bijak. Pilih waktu menulis yang paling nyaman buat teman-teman. Saya bisa menulis kapan saja sepanjang berada di rumah. Namun ada yang lebih nyaman menulis saat menjelang Subuh atau tengah malam. Temukan waktu produktif kita masing-masing.

Jadi, tidak ada ramuan khusus atau “jalan belakang” untuk menjadi penulis produktif. Kuncinya cuma disiplin, sabar, dan konsisten.  Kenapa ada poin “sabar” di situ? Karena menunggu satu naskah menembus penerbit itu membutuhkan stok kesabaran yang tidak main-main. Banyak penulis yang justru gagal di sini.

Baru beberapa bulan mengirim naskah dan belum mendapat jawaban positif, keburu gemas dan menarik naskah. Ketika naskah dikirim ke penerbit lain, bukankah prosesnya harus mulai dari awal lagi? Kenapa kita tidak bersabar dan menulis naskah baru untuk dikirim ke penerbit berbeda?

Itulah yang selama ini saya lakukan. Terus menulis dan terus mengirim naskah ke berbagai penerbit, tentunya penerbit yang saya anggap memiliki kredibilitas bagus. Saya boleh dibilang tidak pernah menarik naskah. Lain halnya kalau naskah ditolak, baru saya mengirimkan ke penerbit lain. Sesekali bertanya ke editor soal perkembangan naskah, boleh-boleh saja. Tapi tidak perlu menjadi bawel juga, karena ada banyak naskah yang juga sedang antre di luar sana.

Mungkin ini agak keluar dari topik. Sampai bulan Juni 2014 ini, 5 buku saya sudah terbit tahun ini. Buku-buku itu memiliki kisah yang berbeda. Ada yang sudah bertahan di penerbit selama dua tahun, satu setengah tahun, hingga satu bulan. Dan saya masih punya “tabungan” 13 naskah di berbagai penerbit.

Apakah itu karena saya hebat? Wah, sama sekali bukan! Tapi karena saya konsisten menulis setiap harinya. Data di atas tidak dimaksudkan untuk pamer, melainkan supaya teman-teman bisa mengambil pelajaran dan makin bersemangat menulis.

 Apakah saya tidak punya hambatan sebagai penulis? Tentu saja ada. Saya seorang ibu rumah tangga dengan 2 orang anak  berusia 14 dan 7 tahun. Jika ingin belanja bulanan saya harus menempuh perjalanan 70 kilometer pulang-pergi. Sementara untuk belanja sembako, harus menempuh jarak 25 kilometer pulang-pergi. Tapi karena saya mencintai profesi ini, semuanya terasa ringan saja. Cinta meringankan semua beban, percayalah!
 ***
Bincang-bincangnya! 

Naqiyyah Syam tanya, Mbk sangat produktif menulis bagaimana membagi waktu dengan keluarga? Berapa buku yang mbk baca dalam sebulan untuk memberikan energi agar menulis semakin berisi? Bagiamana Mbk mengelola data-data untuk novel agar seting yang belum mbk kunjungi semakin hidup bukan tempelan semata? Thanks Mbk Indah Hanaco.

Mbak Naqiyyah Syam karena saya tidak berkarier di luar rumah, masalah pengaturan waktu memang agak memudahkan. Saya bisa tetap mengontrol anak-anak setiap saat. Memang, urusan pekerjaan domestik ada aisten yang membantu dan itu cukup meringankan beban saya tapi bukan berarti saya lepas tangan 

Saya biasanya menulis setelah urusan rumah tangga selesai. Pembagian waktunya fleksibel, tidak kaku. Tergantung kesempatan dan kenyamanan juga.
Kalau membaca, tergantung kesempatan juga. Tidak ada target khusus berapa buku yang harus dibaca. Tapi memang saya punya nafsu besar untuk urusan membaca meski kadang waktu tidak mengizinkan. Di rumah saat ini ada lebih 200 buku yang belum sempat dibaca karena DL cukup banyak. Tapi setiap hari saya selalu menyempatkan membaca meski cuma satu bab, misalnya. 
Sebenarnya, asupan "gizi" saya lebih banyak dari film atau film dokumenter, Mbak. Kalau urusan nonton, pasti tiap hari. Jadi saya biasa mengetik di depan televisi. Sangat sering menyambi nonton serial atau film sambil mengetik meski pada akhirnya laptop lebih banyak diabaikan 

Sementara untuk urusan seting, kebetulan saya bukan tipe penulis yang banyak bergelut di setting. Saya lebih mengeksplorasi plot dan karakter. Namun tetap saja kalau nekat membuat seting yang belum pernah didatangi, saya mengandalkan buku travel, internet, dan google maps. Buat saya, buku travel wajib hukumnya. Setelahnya, google maps bisa sampai mulas saya kutak-katik berjam-jam. Padahal kadang hanya menulis deskripsi beberapa paragraf. Intinya, berusaha meminimalisir kesalahan. 

Nyi Penengah Dewanti Kak menulis kakak sehari berapa halaman? dan minimal berapa halaman? 
terima kasih

Indah Hanaco Mbak Nyi Penengah Dewanti tidak ada target menulis untuk setiap hari. Saya hanya membuat target menulis dalam sebulan agar tidak terlalu membebani. Yaahhh, meskipun target bulanan pun banyak melesetnya

Ada kalanya cuma menulis beberapa paragraf, ada kalanya puluhan halaman. Tapi saya berusaha menulis tiap hari, meski kadang sedang mentok sekali dan hampir putus asa.

Rahmah 'Suka Nulis' Chemist Mbak, bagaimana cara membunuh rasa malas dan minder dalam menulis? Soalnya punya draft "calon novel" tetapi setelah melihat karya yang sudah terbit sepertinya draft ini tidak ada apa-apanya... *terima kasih*

Indah Hanaco Rahmah 'Suka Nulis' Chemist penyakit minder seperti ini juga sering saya alami. Kadang saya tidak berani membaca novel-novel yang sudah terbit karena pasti akan menemukan banyak sekali kekurangan di sana-sini. 
Tapi kita harus bisa mengalahkan rasa minder dan malas itu. Percayalah pada proses. Sesuatu yang bagus itu pasti membutuhkan proses panjang dan tidak instan. 
Membaca banyak buku itu bagus, tapi bukan berarti menjadi acuan atau standar, Mbak. Jangan terbebani dengan mutu tulisan seseorang. Dia memiliki pemahaman dan pengalaman yang berbeda dengan Mbak. Karena hal-hal itulah yang mempengaruhi tulisan seseorang.
Lanjutkan draft-nya sampai selesai, endapkan dulu, lalu baca ulang dan edit. Setelahnya, kirim ke penerbit. Lalu mulailah menulis naskah baru. 
Dengan rutin menulis, kualitas tulisan kita akan membaik. Begitu juga dengan kuantitasnya. Mungkin saat baru menulis, satu halaman itu susah banget selesainya. Tapi makin intens kita menulis, kesulitannya akan menyamai menyelesaikan 10 halaman. 
Mungkin ini agak keluar dari tema, tapi menurut saya kepercayaan diri dan penghargaan pada diri sendiri adalah hal penting bagi penulis. Yang haram itu adalah menjadi sombong, karena itu akan membunuh kreativitas kita. 
Kalau kita saja tidak percaya dan tidak menghargai diri sendiri, bagaimana kita berharap orang lain melakukan hal yang sama? Jadi, tetaplah semangat menulis, selesaikan draft-nya, dan kirim ke penerbit yang berkompeten. Itu salah satu cara kita menghargai diri sendiri. Percayalah , pengalaman hidup yang sudah mematangkan Mbak akan membuat cerita yang dihasilkan istimewa. 
Kalau naskah ditolak? Jangan putus asa, karena naskah ditolak bisa jadi bukan karena tidak bagus melainkan selera editor. Naskah saya ada yang pernah ditolak 5 penerbit sebelum akhirnya di ACC. 
Mau share dikit nih. Editor saya pernah cerita kalau dia menemukan sebuah naskah secara tidak sengaja. Naskah itu tergeletak di dekat mejanya setelah ditolak oleh editor lain. Editor saya sedang menggeser kursinya ketika tersandung naskah itu. Penasaran, dia membaca naskah itu dan langsung menghubungi si pemilik naskah dan menginstruksikan sejumlah revisi. Ingat lho, naskah itu tadinya sudah ditolak dan siap dikembalikan. Tapi ternyata naskah itu punya takdir sendiri yang mengejutkan. 
Eh, maaf ya kalau jawabannya kepanjangan 

Harapan saya sih Mbak makin semangat menyelesaikan draft-nya. Abaikan kritikan orang yang kira2 tidak penting karena kita tidak bisa memuaskan semua orang.


Rini Bee Adhiatiningrum Apakah anak-anak dan suami mendukung penuh pilihan mba sebagai penulis? dan seberapa penting dukungan keluarga bagi mba indah untuk tetap konsisten menulis?

Indah Hanaco Mbak Rini Bee Adhiatiningrum alhamdulillah semua mendukung, terutama suami dan si bungsu. Saya dulunya suka menulis cerpen dan sempat berhenti menulis selama lebih dari 10 tahun. Saya malah sempat menjadi bankir dan resepsionis hotel. Tapi sejak dulu suami selalu mendorong saya untuk menulis. Saya bandel, saya abaikan dorongannya 

Hingga suatu ketika di tahun 2009 saya mirip orang terbangun dari mimpi panjang dan pengin menulis lagi. Mulailah pelan-pelan saya menulis meski sangat kesulitan. Biasa cuma menulis 8-10 halaman, sekarang malah nekat menyelesaikan 150an halaman. 
Lalu ada si bungsu yang kalau melihat saya kelamaan membuka facebook atau nonton, akan mengomel dan bertanya : "Katanya mau nulis, kok malah fesbukan, sih?" 

Jadi, mereka bahu-membahu untuk "menyiksa" saya. Kalau laptop saya tidak menyala, pasti ada yang bertanya : "Kok nggak nulis?". Mau tidak mau itu jadi dorongan tambahan meski kadang kalau lagi kesal saya merasa mereka itu memperbudak saya 


Adya Tuti Pramudita kuncinya disiplin, sabar dan konsisten. pertanyaan saya : ide memang bisa lebih mudah datang, tapi eksekusinya yg sering nemu kendala. semisal, nyari profesi tokoh, riset setting dan profesinya, pembangunan adegan yang terasa klise dan garing. ya jelas, saya mah hambatannya di detil-detil begitu. gimana ya? dong ah ...

Indah Hanaco Mbak Adya Tuti Pramudita dulu saya punya idealisme, ingin menulis yang berbeda dan tidak klise. Tapi lama-lama merasa putus asa karena ternyata semua di dunia ini adalah klise. Semuanya pengulangan. Kecuali seperti yang dialami Benjamin Button kali ya 

Kita bisa belajar dari Mira W yang selalu menulis karakter berprofesi dokter. Atau John Grissam dan Julie James dengan dunia pengacaranya. Jadi, akhirnya saya belajar untuk menulis apa yang paling membuat nyaman. Kalau kita nyaman, insya allah ceritanya akan indah meski klise. Klise itu nggak jelek, kok. 
Saran saya, endapkan naskah cukup lama. Satu atau dua bulan. Lebih lama mungkin lebih bagus. Ketika nanti dibaca ulang, biasanya penilaian kita akan berbeda. Kalau ada bagian yang tetap dirasa klise, itulah saatnya untuk diganti. Semoga membantu ya 


Rini Bee Adhiatiningrum kendala saya biasanya menghidupkan setting. apakah ada trik khusus supaya pembaca ikut merasakan berada di tempat yang kita gambarkan di novel?

Indah Hanaco Mbak Rini Bee Adhiatiningrum kalau saya pribadi merasa wajib punya buku travel. Selain itu, memaksimalkan google maps. Jadi walau belum pernah pergi ke tempat itu, kita punya bayangan suasananya seperti apa. 
Jangan terjebak untuk memaparkan data statistik karena itu akan membuat kita menjelma menjadi penulis buku travel. Misalnya setting di satu kota di Eropa, tidak perlu menjelaskan detail sebuah bangunan yang menjadi ikon, tahun pembuatannya, dan hal lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan cerita. Begitu sih saran yang berkali-kali diberikan editor saya. 

Eric Keroncong Protol biasanya ada penerbit yg latah (demam) novel luar negeri (drama korea, jepang) sebagai penulis pemula saya belum bisa mengikuti mangsa pasar yg diinginkan penerbit. bagaimana cara mengatasinya?

Indah Hanaco Eric Keroncong Protol yang saya pelajari setelah menulis selama beberapa tahun terakhir ini adalah, tulislah apa yang kita cintai. Kita tidak perlu memaksakan diri mengikuti tren kalau tidak sesuai dengan hati. Karena menyelesaikan naskah seperti itu akan penuh perjuangan. Menghabiskan energi dan waktu. 
Ketika kita mencintai apa yang kita tulis, larut di dalamnya, maka pembaca bisa merasakannya. Itu tidak bisa dipungkiri. 
Tren biasanya bersifat temporer dan tidak akan bertahan lama. Kecuali memang kita mampu dan nyaman, silakan ikuti tren. Kalau tidak, sebaiknya jangan memaksakan diri. 
Menurut saya yang lebih penting justru memilih penerbit. Jangan terjebak dengan frasa "penulis pemula". Semua penulis hebat di luar sana pun awalnya adalah pemula. Jadi, lebih baik fokus pada tulisan kita, lalu kirim ke penerbit yang berkompeten. Karena biasanya mereka bekerja dengan profesional. Jangan sampai mengalami pengalaman nyeri ditipu penerbit atau royalti tidak dibayar. 
Teruslah menulis dan jaga semangat 


Leyla Hana Kendala saya adalah membebaskan imajinasi. Saya masih takut kalo kejadian tragis yg menimpa si tokoh itu juga akan menimpa si penulis. Makanya, konflik yg saya buat ga begitu dramatis. Gimana mengatasi perasaan itu? Thanks, mb Indah Hanaco 

Indah Hanaco Mbak Leyla Hana terus terang saya grogi mau menjawab pertanyaan Mbak. Tapi semoga jawaban saya bisa membantu 

Memang sering sih mendengar soal penulis yang mengalami kejadian seperti naskah yang ditulisnya. Tapi entah kenapa, sampai detik ini saya tidak pernah memikirkan itu. Tidak cemas sama sekali. Dan tidak pernah mengalami. 
Mungkin karena saat menulis saya menempatkan sebagai penonton. Saya selalu menganggap tokoh-tokoh saya sebagai sosok nyata. Dan saya cuma menuliskan apa yang mereka alami, baik pahit ataupun manis. Dan cuma ingin belajar dari apa yang mereka alami.
Ketika kita tersugesti oleh suatu hal, maka kadang memang kejadian, Mbak. Mending dibuang jauh-jauh kekhawatiran itu agar tidak menghantui. Anggap saja kita sedang menulis biografi seseorang yang semoga saja dari situ kita bisa mengambil pelajaran hidup 

Rena Puspa Waah... Sharing yg bergizi... Mau tnya nih mba... Sbg penulis pemula, saya mrasa menulis novel (fiksi) beda jauh dg menulis non fiksi, utk novel klo dah dpt feel nya rasanya klo hrs jeda... Feel itu lsg lenyap melayang bahkan ide besar sudah dicatat sekalipun tetep klo pke acara jeda ada rasa "nanggung" gtu deh, sedang nulis non fiksi bisa dijeda2 bahkan sambil momong bayi jg bsa... Nah ada tips khusus ga biar bisa nulis novel tp jg sambil menjeda jeda... Makasih mba

Indah Hanaco Mbak Rena Puspa saya rasa sih itu cuma masakah jam terbang saja, Mbak. Makin sering menulis novel, feel-nya pasti bisa dijaga meski kita terpaksa melakukan aktivitas lain dan meninggalkan naskah. 
Jangan cemas, saya juga dulu mengalami hal seperti itu, kok. Dulu saya mengatasinya dengan membaca ulang beberapa halaman terakhir, kadang sampai berkali-kali. Tujuannya untuk "memanggil pulang" si feel ini. Biasanya sih lumayan sukses 

Tapi ini bukan teori ya, cuma pengalaman pribadi, Sekarang saya terbiasa memilih lagu-lagu tertentu yang kiranya pas dengan naskah yang saya tulis. Dan selama menulis, saya terbiasa mendengarkan si soundtrack ini berulang-ulang. 
Ketika sempat jeda dan harus menulis lagi, saya biasanya kembali mendengarkan lagu-lagu tadi lagi sambil membaca ulang. Lagu-lagu itu seringkali sukses mengembalikan feel dan mood 


Aisyah Fad Wah, tinggal dimana sih Mbak sepertinya agak pedalaman ya?... setiap menulis sselalu langsung satu novel jadi ya Mb? Maksud saya nyambi nulis yg lain nggak? Misal cerpen atau artikel gitu?

Ade Anita Full Kendala saya adalah saya takur melanggar prinsip saya sendiri..padahal ide saya justru hal emang gak mau saya buat dalam hidup saya. Seperti nulis tentang pembunuhan atau pelacuran. Gimana ya biar ide2 itu bisa lancar tanpa keraguan dengan hatibsaya sendiri

Indah Hanaco Mbak Ade Anita Full kalau terasa mengganggu, mungkin harus diubah pola pikirnya, Mbak. Bahwa yang kita tulis ini tujuannya untuk kebaikan. Untuk memberi pengetahuan bagi banyak orang yang mungkin kurang memahami. Sekaligus menunjukkan walau hal itu sangat buruk tapi memang ada di sekitar kita. 
Posisikan diri kita sebagai penonton. Ada bagian naskah kita yang pasti akan memberi kesempatan untuk memasukkan opini pribadi. Dunia ini penuh warna dan memang kurang adil kalau kita cuma menulis yang baik-baik saja, Siapa tahu dengan tulisan kita malah menyelamatkan banyak orang? Jadi, saran saya sih lebih baik fokus di tujuan positifnya saja, Mbak. 
Saya mau berbagi dikit ya. Novel kelima saya berjudul Cinta Tanpa Jeda (CTJ). Tokoh utamanya pernah mengalami pelecehan seksual yang menjadi trauma mengerikan. Itu berdasarkan kisah nyata seseorang yang saya kenal. 
Kemudian, ada pembaca yang menghubungi. Waktu membaca inboxnya, saya merinding, Mbak. Dia menceritakan pengalamannya menjadi korban pelecehan seksual pamannya saat berumur 6 tahun. Dan sekarang dia sudah berusia 20 tahun. 
Saya sedih dan ikut menangis bersama dia. Tapi setelahnya saya sering memberi masukan untuk mengatasi traumanya. Saya memang bukan psikolog, tapi setidaknya saya bisa mencoba membantu untuk membangun kepercayaan dirinya. 
Saya sedih untuk apa yang pernah dialaminya. Sedih karena tidak bisa mencegah pelecehan itu. Tapi minimal sekarang dia tau kalau saya siap mendengar curhatnya, siap membantu apa pun yang kira-kira mampu. Dia tau dia tidak sendiri. Banyak orang yang pernah mengalami pelecehan. Dan saya terhormat menjadi satu-satunya orang yang diberinya kepercayaan untuk mendengarkan ceritanya 


Sarah Amijaya sudah sering denger namanya mba indah, tapi belum kesampaian membaca karyanya. mba indah serius disatu genre?atau menulis banyak genre?bagi penulis pemula, disarankan menekuni satu genre atau justru mencoba banyak genre??

Indah Hanaco Halo mbak Sarah Amijaya, salam kenal 

Saya tergolong penulis galau yang menulis apa saja yang saya sukai, Mbak. Entah kenapa, saya tidak mau menjadi spesialisasi di satu genre meski akhirnya seleksi alam membuat saya nyaman di genre romance dan anak 

Saya pernah menulis buku-buku parenting, novel, bahkan picture book. Saat menulis novel romance pun, gaya bercerita dan penokohan saya tidak selalu sama. Entah kenapa 

Saran saya, tulis apa yang membuat hepi, Mbak. Pada akhirnya nanti kita akan tau kok mana yang paling menyenangkan untuk ditulis. Tidak ada salahnya menjajal aneka genre. Anggap saja sedang sekolah sebelum menentukan jurusan yang diinginkan 


Dian Iskandar Spechless... Sy konsistensi ini yg msh naik turun. Jika lg Bagus konsistensinya, benar kt Indah , hslnya akan keren. 
Jika nggak, ya ngiler aja lihat temen2 prpduktif kyk Indah. 

Sehari pasti nulis, rata2 berapa lama indah?

Indah Hanaco Mbak Dian Iskandar kalau sedang di rumah sih, laptop nyala terus. Tapi bukan berarti saya selalu menulis. Kalau sedang mengantuk, pasti tidur. Kalau ada film bagus yang menjadi godaan, saya pun memilih menyerah dan langsung nonton 

Intinya, berdasarkan kenyaman saja, Mbak. Cuma memang sih dua tahun terakhir ini tidur 8 jam sudah lebih mirip kemewahan buat saya. Itu karena padatnya DL dan ketagihan begadang. Kalau dirata-ratakan, lama saya bekerja setiap harinya mirip orang kantoran. 8 jam kurang lebih. Tapi tidak full 8 jam duduk sambil mengetik. Banyak jeda di sana-sini 


RoSita DaNi Jika menemukan satu ide lalu membuat outline, apa fokus mengembangkan outline tsb sampai tuntas menjadi novel atau bisa cabang membuat outline lain untuk ide yg berbeda mba?

Indah Hanaco Mbak RoSita DaNi saya punya semacam "tabungan" outline di laptop. Jadi, fokus pertama adalah menuntaskan outline yang lengkap per bab. Sementara untuk urusan mengeksekusinya menjadi novel, itu agak berbeda. 
Karena saya harus mengerjakan outline yang sudah di-ACC editor terlebih dahulu. Jadi, meski kadang ingin segera menyelesaikan satu outline tertentu, terpaksa harus ditunda dulu kalau ada naskah yang sudah ditunggu editor. 
Di sela-sela itu, tetap bisa menuntaskan outline-outline baru, disimpan atau dikirim ke editor lain.

Rima Ria Lestari punya bukunya yg si boneka rusia itu. suka sekali krn di luar dugaan  mba indah ini bikin galau kalau di tobuk. bukunya buk bgt jd bingung milih mana yg mau dibeli hehehe *curhat* . mba indah, kok bisa melompat2 di buku anak, remaja, dewasa dan semuanya enak dibaca. dan spesial utk buku jungkir balik dunia mel, itu bisa dibaca secara melompat halaman maupun berurutan apakah ide mba indah sendiri? itu keren lo menurut saya  oya, mba indah punya batasan ga dlm meliarkan ide ke dlm novel2nya?

Indah Hanaco Mbak Rima Ria Lestari buku-buku itu tidak dimaksudkan untuk terbit barengan, sih. Kadang saya juga bingung karena ada 2 novel yang terbit dalam waktu satu bulan. Tapi tidak mungkin juga minta diundur karena penerbitnya beda-beda 

Kalau soal kenapa saya bisa menulis di area yang berbeda, saya juga tidak mengerti, Mbak. Sempat sangat kesulitan menulis teenlit, tapi malah sering diminta sama editor. Akhirnya berusaha lebih keras.
Bab yang tidak berurutan di Mel itu ide saya, Mbak. Mungkin saking anehnya, editor langsung ACC dalam waktu 16,5 jam. Rekor tercepat dan membuat saya luar biasa kaget. Awalnya sederhana saja, saya tergolong pembaca yang tidak suka membaca kilas balik. Aneh, kan? Untuk itu saya membuat bab yang berantakan seperti di Mel. Jadi pembaca punya pilihan, mau baca berdasarkan urutan halaman atau urutan bab 

Kalau soal batasan ide, saya tidak punya, Mbak. Apa pun yang muncul dan dirasa bisa memperkuat cerita, pasti saya tuliskan. Saya cuma tidak menulis adegan ranjang atau adegan mesra yang membuat lemas. Itu karena saya benar-benar tidak mampu membuat deskripsinya 

Hairi Yanti Super sekali materi kali ini. Salam kenal Mbak Indah Hanaco. Sy sering lihat nama mbak di tobuk. Dan membaca uraian di atas saya jadi merenung dan sama dgn apa yg disampaikan kak Leilaneranti Arsyana... Cinta sy pada dunia ini masih belum sebesar cinta Mbak Indah. Ihiks. Nah, pertanyaan saya, apa menurut mbak Indah cinta itu perlu dipupuk agar tumbuh menjadi besar? Atau cinta itu sesuatu yang turun dari langit dan tak bisa kita upayakan untuk terus bertumbuh?

Indah Hanaco Mbak Hairi Yanti, cinta itu perlu dipupuk, Mbak. Perlu diperjuangkan agar terus bertumbuh, mekar, dan beranak-pinak. Dulu saya tidak tahu kalau benar-benar mencintai dunia menulis. Dulu bahkan saya mengira saya pemalas dan mudah menyerah. 
Setelah menulis saya justru menemukan fakta bahwa saya ternyata orang yang gigih. Minimal di dunia menulis. 
Cara memupuknya, konsisten menulis, Mbak. Ketika satu persatu hasil dari menulis mulai berdatangan, kita pasti makin mencintainya. Entah itu berupa materi, teman baru, pengalaman baru, dan banyak lagi. 
Kita mungkin belum mencintainya karena belum benar-benar menikmati prosesnya, Mbak. Di awal-awal, menulis pasti susah, kok. Setelah terbiasa, kata-kata tidak lagi mengalir dari kepala kita, tapi sudah meruah dari jari-jari kita. Percaya, deh 


Wawat Smart Pertanyaan saya :
1. Jujur saya trmask yg slalu gagal mengeksekusi ide novel. karena pas dilihat2 itu ide pasti eksekusinya jd cerpen bkn novel. jd g pernah bs melebarkan ide agar bs panjang u novel.

Yg kedua, gmana bs konsisten nulis ide yg sama berbulan2 u tipe org yg ndak sabaran..

Trmksh mb Indah Hanaco..hehe

Indah Hanaco Wawat Smart saya tidak bisa nulis di jalan. Cuma bisanya nulis di rumah 

Kalau kesulitan mengeksekusi ide untuk menjadi novel karena terlalu panjang, mungkin pola pikirnya saja yang harus diubah. Kadang, pola pikir yang menjadi penjegal bagi kita. 
Anggap saja menulis novel sepanjang 20 bab itu sama dengan menulis 20 cerpen, misalnya. Tiap bab mengangkat 1 tema tertentu. Hanya saja kita menulis banyak cerpen dengan tokoh yang sama dan kisah yang memiliki benang merah. Insya Allah akan jadi lebih mudah.

Kalau soal tidak sabaran, itu hal yang normal kok. Saat menulis satu naskah, kadang tergoda luar biasa besar untuk pindah ke naskah baru. Bahkan sering kali ide-ide cemerlang nongol tidak tahu diri di saat kita butuh konsentrasi menyelesaikan satu naskah. 
Di situlah perlunya sabar dan menahan diri. Kita harus bisa mengendalikan keinginan itu dan fokus pada apa yang dikerjakan. Tidak ada resep khusus selain dua hal itu.

Dian Nafi seringnya kalau revisi hanya memperbaiki first draft atau juga pernah menulis ulang, mbak Indah Hanaco?

Indah Hanaco Eh, ternyata pertanyaan mbak Dian Nafi kelewat ya 

Saya seringnya merombak beberapa bagian, Mbak. Menambahkan di satu titik yang dirasa kurang, atau menghilangkan di bagian lain yang dianggap berlebihan. Sampai saat ini belum pernah menulis ulang.

Indah Hanaco Sedikit tambahan dari saya meski mungkin keluar dari topik. 
Penting sekali bagi kita untuk mengenal penerbit dan selera editor. Tujuannya supaya memuluskan perjalanan naskah dan meminimalkan kemungkinan naskah akan ditolak. 
Satu hal yang saya pelajari dari berbagai editor adalah : jangan menulis bagian-bagian yang tidak ada hubungan dengan cerita. Ketika dialog, tokoh, atau deskripsi sama sekali tidak berpengaruh pada cerita selain hanya membuat halaman bertambah tebal, maka buanglah. Kita harus belajar menulis efektif, meski tidak mudah. 
Sekali lagi, konsistensi dan jam terbang menjadi jawabannya. Makin lama kita akan makin paham, kok. 
Menulislah setiap ada kesempatan, membacalah banyak buku, menontonlah banyak film bagus. Pada akhirnya, kita akan menemukan ciri tersendiri, keistimewaan tersendiri. 
Kalau sedang down, jangan berhenti. Tidak semua orang beruntung menjadi penulis terkenal hanya di buku pertama. Banyak yang harus berdarah-darah dulu. 
Thomas Alva Edison butuh lebih seribu kali percobaan untuk menciptakan bohlam. Kolonel Sanders harus meracik resep ratusan kali sebelum menemukan formula KFC yang kita sukai itu. (siapa yang mau traktir KFC?) 

Mari menulis lagi. Hidup cuma sekali, manfaatkan waktu yang tersisa untuk meninggalkan jejak positif. Kita ingin dikenang dengan cara yang indah, kan? 
*maaf kalau jadi mirip ceramah 




6 comments:

  1. cakep yang ini.. narasumber cakep, sharingnya juga cakep..:)

    ReplyDelete
  2. keren ihhh...terima kasih sharing ilmunya mba Indah Hanaco

    ReplyDelete
  3. waaah...wawancaranya seru yah...dan panjang juga hihi...banyak ilmu yang didapat..

    ReplyDelete
  4. mba, novel crazy little thing called lovenya ada movienya ?

    ReplyDelete
  5. wah asyik ya bisa wawancara dgn narasumber yg keren sprti ini

    ReplyDelete

Terima kasih telah berkunjung ke blog BaW. Mohon kritik dan komentar yang membangun untuk setiap postingan ;)