theresilientchef.wordpress.com |
Aku ingat ketika suatu pagi ibu membuat nasi goreng kuning dan
aku berpesan padanya untuk membuatnya agak gosong, untuk apa? Tanya ibu. Buat
gantinya ikan, jawabku. Dan ibu hanya tertawa. Tapi beliau melakukannya.
Menggorengnya sampai gosong dan susah payah mengerik bagian gosong tersebut
buatku, juga sepupuku, juga saudara-saudaraku. Pastilah ibu tak habis pikir
bagaimana bisa di dunia ini ada orang-orang sekonyol kami. Saat itu, aku tidak
memikirkan banyak tentangnya, tentang nasi goreng yang digosongkan itu,
selain bahwa rasanya yang renyah mengingatkanku pada kerupuk juga rempeyek.
Tapi sekarang, dengan pikiran yang lebih ruwet dan bacaan yang lebih gila, aku
tersenyum sendiri dan menggumam, ‘sesuatu yang gosong sekalipun bisa menjadi
enak jika kita bisa menerimanya dengan suka cita’. Nasi goreng buatan ibu
memang enak, tentu saja, kau pun boleh membuktikannya, tapi gosong yang sedikit
itu membuatnya menjadi begitu berharga dan spesial. Seandainya aku lebih awal
tahu akan filsafat gosong itu, mungkin aku akan lebih bijaksana dalam hidup,
karena ternyata tahun-tahun berikutnya hidupku pun penuh dengan gosong-gosong
yang semakin lama rasanya semakin enak untuk dibicarakan. Setidaknya untukku
sendiri.
Sewaktu kanak-kanak aku punya seorang sahabat yang menyenangkan.
Dia menonjol di antara kami bukan hanya karena gigi depannya yang menonjol,
tapi juga karena kebaikan hatinya, kemurahan hatinya, kelembutan hatinya dan
keriangan hatinya. Dia tidak begitu saja marah jika ada yang menyalahinya. Tapi
dia akan begitu saja menyerahkan sebagian jajannya jika kawannya meminta. Dia
mudah memaafkan pada siapa saja yang menyurukkan jabat tangan. Dan, dia begitu
menyenangkan diajak main perang-perangan—itulah menurutku yang terbaik dari
segala kualitas baiknya. Perang-perangan adalah permainan masa kecil yang
paling kugemari dan tak semua anak mau melibatkan diri. Berbeda dengan yang
lain, kawanku itu selalu meneriakkan ‘AYO’ untuk tiap tawaran perang yang
kuajukan.
Kami memanggilnya Santo. Bukan karena dia mirip salah satu orang
suci dalam agama kristiani, bukan karena itu, tapi karena nama lengkapnya
Susanto. Entah mengapa saat itu aku sama sekali tak terpikir untuk memanggilnya
Susan walaupun aku tahu di TV ada cewek cantik bernama Susan yang selalu nempel
di tangan Ria Enes. Bersama, aku dan Santo menjalani hari-hari sekolah yang
menyenangkan dan layak untuk dinantikan.
Kami memang tak saling kunjungi ke rumah masing-masing. Jarak
satu RT bagiku waktu itu sudah sangat jauh dan mustahil untuk kujelajahi
sendiri. Kami hanya bertemu di sekolah, atau di pemandian umum di dekat pohon
besar dan angker di pinggir perkampungan. Dan kapan pun kami bertemu, kami
bercanda seperti orang kesetanan. Aku akan mengejarnya, dan dia lari sekencang
yang dia bisa. Aku berubah menjadi monster, dan dia berlagak jadi satria baja
Hitam RX. Walaupun agak sulit diterima akal (satria baja hitam selalu tersenyum
lebar tapi Santo selalu monyong ke depan) aku tak mempermasalahkannya. Aku
menerimanya seikhlas orang tua menerima kelahiran bayinya, apa adanya.
Perang-perangan pun terjadi dengan gegap gempita. Saling kejar.
Saling teriak. Naik kebangku dan melompat dengan ancaman mematikan. Berlagak
menendang tapi hanya memecah udara kososng jauh dari badan. Memukul kuat dengan
efek suara dari mulut sendiri. Menciat-ciat seakan itu bisa membuat kami bisa
menjadi benar-benar hebat. Juga membunyikan ledakan setelah melemparkan senjata
yang hanya tampak di mata kami berdua. Itu perang yang selalu terjadi antara
monster dan Santo.
Suatu hari di musim hujan, kampungku semalaman dibasahi guyuran
yang demikian lebat sehingga halaman sekolah menjadi kolam kecil coklat tak
bersahabat. Tak ada yang bisa melewatinya kecuali dengan melompati beberapa
bongkah batu yang ditata sebagai pijakan. Aku dan santo berdiri saja menatap
kesunyian yang mengambang di atasnya. Tapi kemudian, seperti Archimedes dengan
momen eurikanya, kami sadar bahwa teras sekolah adalah termpat yang
menjanjikan sejuta kegembiraan bagi Perang Baja Hitam. Kami pun langsung
berubah menjadi pahlawan dan monster kegelapan. Tentu saja aku monsternya—suatu
peran yang bisa kumainkan tanpa banyak beban pikiran. Dengan hati penuh
keriangan bukannya kebencian, aku yang monster mengejar Santo yang ‘meliuk di
antara siswa lainnya dengan kelincahan yang luar biasa sampai tiba-tiba SPLASH!
Dia terpeleset. Jatuh berdebam. Terjengkang. Pakaiannya basah. Dan aku tertawa
melihatnya terlentang. Santo juga tertawa. Semua anak yang melihatnya jatuh pun
ikut tertawa. Lalu dengan tenang dia bangun dan menyeretku masuk kamar mandi.
Kami berdua membersihkan pakainnya yang kotor dan basah.
Walaupun santo sama sekali tak marah, tetap saja aku takut. Apa
kata ibunya jika dia pulang dengan pakaian basah semua? Bagaimana jika
keluarganya tahu aku yang membuatnya jatuh berdebam di sekolah? Ah, pastilah
mereka akan melarangnya bermain denganku mulai sekarang sampai seterusnya.
Lantas dengan siapa aku akan bermain perang-perangan? Itu ketakutanku. Yang,
kalau tak salah, tiga bulan kemudian menjadi kenyataan. Santo mati. Kata dukun,
dia kena setan penghuni tanaman burnie.
Usianya baru delapan tahun. Masih sangat muda. Tapi setan di
kampung kami tak pernah pandang usia. Suatu hari, bersama anak-anak di RT-nya
santo pergi ke rimbunan di bagian luar utara desa. Jauh melewati Bun
Dojo dan hampir mencapai Sempol. Di sana mereka mendapati tanaman burnie yang
masak-masak buahnya. Santo tak bisa menahan diri. Mengambili buahnya seakan itu
cabai yang aman dipanen petani sesuka hati. Sepulangnya ke rumah, malam
harinya, tubuhnya demam dan panas tinggi. Aku tak tahu apakah dokter dipanggil,
tapi kyai telah dimintai air yang dibacai. Dukun-dukun juga didatangi untuk
menemukan penyebab dan mendapatkan air bermantra. Kata kunyit yang diiris dan diolesi
kapur, dia kena setan kaju burnie.
Mungkin seminggu dia menderita panas sebelum kemudian Pak Yasin,
juru siar berita kematian sekaligus tukang adzan jumatan, menyobek langit desa
dengan salamnya yang mengerikan. Di desaku ada aturan unik tentang pengumuman
menggunakan TOA, hanya berita kematian yang boleh diawali dengan salam. Maka
setiap kali sebuah pengumuman berawalan salam mengumandang, semua orang akan
berhenti dari kegiatannya, rumah yang ada di bagian lereng akan keluar
penghuninya dan menjulurkan leher untuk mendengar lebih jelas, orang-orang tua
akan menggumam kira-kira siapa di antara teman masa muda mereka yang lebih dulu
pergi ke sana. Sedangkan anak-anak yang sedang rame bermain dengan
kawan-kawannya akan kabur berhamburan pulang menuju rumahnya masing-masing
mencari perlindungan dari ngerinya berita kematian—itu karena kami mempercayai
hantu bisa muncul dari orang mati. Tapi siapa sangka jika yang mati hari itu
adalah Santo? Kawanku bermain yang hebat itu. Kawanku bermain yang tulus itu. Kawanku
bermain yang selalu serius dengan peran pahlawannya itu. Sampai sekarang aku
masih menyesal, karena aku tak pernah menjenguknya selagi dia masih hidup dan
menderita. Aku bahkan tak ingat apakah aku menyaksikan prosesi penguburannya.
Aku hanya ingat jika aku duduk berlama-lama di samping kuburnya selepas
jumatan. Menziarahi dan mendoakannya.
Kematian Santo adalah gosong dari masa kecilku yang, sialnya,
ternyata tak juga bisa menjadi hal yang enak untuk dikenang. Bagaimana mungkin
sebuah kematian sahabat kesayangan bisa menjadi kenangan yang menyenangkan?
Berikutnya, Pak Muslihin. Beliau….guru pertama yang memintaku
mendongeng di depan kelas. Hahahaha, dan aku mengecewakannya. Ah, kuceritakan
lain kali saja kisah tentang guru kurus itu. Aku tak yakin menceritakan dua
orang mati di satu essay seperti ini bisa membuat keadaan lebih baik. Dua orang
yang kusayangi. Dan oh ya, perlu dicatat, teori nasi goreng gosongku sama
sekali tak berlaku untuk peristiwa-peristiwa ini. Aku memang bukan orang yang
selalu benar.
15 / 04 / 2013; 15:51
Wah, benarkah setan kayu burnie itu yang membunuhnya? Sampai sekarang masih ada?
ReplyDeletecoba konfirmasi langsung ke penulisnya, mas Fauzi.. :D
Deletemasih percaya setan2 gtu ya?
ReplyDelete