Oleh: Esti Sulistiyawan
Pekerjaan mengharuskan saya bekerja dalam tim. Biasanya terdiri dari 4-5 orang. Dan dalam kurun waktu 3-5 hari. Kemudian untuk pekerjaan berikutnya, kami akan berganti tim lagi. Istilahnya panitia kegiatan. Sedangkan untuk memilih personil dari panitia adalah tugas bagian kepegawaian. Karena kita tidak bisa minta satu tim dengan siapa, kita cuma bisa pasrah aja bakal ditaruh di tim mana. Oleh karena itu kemungkinan kita satu tim dengan orang yang malas, suka mengeluh, tidak bisa bekerja, dan lain-lain pasti ada. Kegiatan pun tidak melulu di kantor, terkadang saya harus bekerja berpindah-pindah dari hotel satu ke hotel lain.
Selama bekerja hampir 9 tahun, saya tidak pernah mengeluh perihal pekerjaan dan teman satu tim. Agak gerundelan sedikit wajarlah, ya. Hingga 2 minggu yang lalu, saya harus berkegiatan di salah satu hotel di Semarang, yang cukup jauh jaraknya dari rumah. Sebenarnya saya sudah menolak, karena memang merasa capek. Kegiatan beruntun dan bahkan minggu pun harus bekerja. AKan tetapi, saya juga tidak kuasa menolak setelah tidak ada satu pun teman yang bisa menggantikan, karena semua juga sibuk.
Sesampai di hotel, ternyata ketiga teman satu tim saya belum satu pun yang nongol. Saya menangani sendiri semua pekerjaan. Dari mulai pendaftaran peserta, koordinasi dengan pihak hotel, dan persiapan pembukaan kegiatan. Karena berada di luar kantor, otomatis tidak satu pun yang bisa saya mintai tolong. Yang paling membuat saya malu, ketika salah satu isian data peserta ada yang kurang, saya harus keluar untuk memfotokopi dan meninggalkan peserta saya. Duh, lembaga sebesar tempat saya bekerja, tapi harus melakukan apa-apa sendiri.
Ketika semua sudah bisa tertangani, saya berinisiatif untuk mengirim sms ke dua orang teman yang bertugas untuk memilih panitia. Ternyata sms itu berbuntut panjang. Keesokan harinya, pimpinan mereka balik malah sms saya dan menjelaskan bermacam hal serta menyalahkan saya. Saat itu saya tergoda untuk 'menyulut' api menjadi lebih besar. Saya bisa saja berargumententang apa dan bagaimana. Tetapi untung saja saya masih punya sedikit kesadaran.
Hingga saat ini saya menulis ini, saya belum masuk kantor karena mendapat kegiatan di luar terus. Tapi feeling saya mengatakan bahwa hal sepele menurut saya, menjadi begitu besar dengan banyaknya orang yang berbicara. Karena salah satu teman saya ada bercerita. Sudah ada 4 orang yang mendengar cerita versi saya, dan semua membenarkan tindakan saya. Tapi, justru saya tidak merasa bahagia sudah mendapat dukungan tau apa pun itu.
Selama 3 hari sejak saya mengirim sms ke teman, saya merasa emosi saya terus menggelegak. Marah, kesal, jengkel dan sebal menjadi satu. Pesan yang saya kirimkan sudah saya buat sesopan mungkin, bagaimana mungkin hal seperti itu menjadi masalah yang besar. Selama 3 hari itu saya merasa lelah luar biasa karena emosi yang terjadi dalam diri.
Dari peristiwa tersebut ada beberapa hikmah yang bisa saya petik:
1. Tidak semua orang bisa menerima kritik dan hanya orang yang berjiwa besar yang mau menerima kritik
2. Kebenaran sebesar apa pun yang saya miliki, jika itu dilandasi emosi, tidak akan ada gunanya
3. Marah itu melelahkan, sungguh melelahkan. Dan ini bisa untuk introspeksi saya secara pribadi, lebih baik diam dulu, baru kemudian bereaksi ketika emosi sudah bisa di tekan.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung ke blog BaW. Mohon kritik dan komentar yang membangun untuk setiap postingan ;)