Cerpen, oleh: ARUL CHANDRANA
Setelah hampir tiga puluh tahun, baru sekarang aku melihat wajahnya
lagi; pada sebuah poster di tiang listrik tepi jalan. Begitu aku melihat
gambar tersebut, aku langsung mengenalinya. Ya, memang benar, itu dia.
Aku sendiri heran bagaimana aku bisa secepat itu mengenalinya. Yang
jelas, apa yang terjadi padaku hari itu memastikan bahwa memang ada
beberapa wajah di dunia ini yang tak peduli berapa puluh tahun telah
berlalu, berapa ribu peristiwa telah terjadi, berapa juta wajah telah
ditemui, wajah-wajah tertentu itu tak akan pernah terlupakan. Selalu
bisa dikenali. Wajah itu selalu berhasil menyatakan nama dan jati
dirinya dengan jelas.
Sambil tersenyum menyadari bahwa lelaki itu tak pernah berubah, aku
membaca sekali lagi tulisan di bagian atas poster seukuran kertas folio
tersebut, tercetak besar dengan huruf kapital: DICARI. Di bawahnya,
masih dengan huruf capital tapi dengan font yang lebih kecil: HIDUP ATAU
MATI. Kemudian sketsa wajahnya. Bukan foto. Hitam putih. Foto kopian
entah yang ke berapa ratus kali. Tapi siapa pun anggota polisi yang
telah menggambarnya, opsir itu telah melakukan kerja yang luar biasa. Di
bawah sketsa wajah tersebut, tertulis kalimat ini: Buronan – Perampok
Bank – Pembunuh, dan di bawahnya lagi: Pimpinan Mafia – Pemerkosa –
Terdakwa Mati, kemudian di bawahnya lagi: Sangat Berbahaya, Segera Lapor
Polisi Jika Anda Melihatnya.
Oh sialan, andai bukan karena kalimat-kalimat kriminil tersebut, aku
sebenarnya masih ingin menghabiskan tiga menit lagi menatap wajahnya
yang cuek sekaligus murah senyum itu—betapa hebat si penggambar yang bisa menangkap kualitasnya itu.
Tapi jika aku melakukannya, tak sampai tiga puluh menit kemudian akan
ada sekurang-kurangnya empat orang yang curiga aku mengenali pria dalam
sketsa kriminal di depanku. Dan kemungkinan besar satu dari mereka akan
menelpon polisi menyatakan kecurigaannya bahwa mungkin walikota mereka
mengenali si penjahat—bisa jadi pelapor itu akan berkata: mungkin pak walikota pernah menggunakan jasanya waktu kampanye dulu, Pak Polisi.
Aku benci berurusan dengan polisi. Dulu aku sering kali kena tilang
dan selalu merepotkan kapten polisi kenalanku. Kali ini, aku akan sangat
benci untuk didatangi mereka untuk dimintai keterangan mengenai sahabat
masa SDku itu. Aku pun segera beranjak. Membiarkan beberapa orang yang
menatapku penasaran menghembuskan nafas kekecewaan. Kurasa di antara
mereka ada yang mengira aku mengenal pria tersebut. Mungkin mereka itu
wartawan. Mereka tidak salah.
Aku bisa menemukannya. Buronan di sketsa polisi itu.
Dengan caraku sendiri, aku bisa menemukannya. Atau lebih tepatnya
membuat kita saling bertemu. Bagaimana pun juga, aku tahu dia akan
datang. Pertemuan yang akan menjadi berita kehormatan bagi wartawan mana
pun yang bisa mengoreknya. Tapi aku tentu saja tidak akan menyerahkan
kawanku buronan itu pada polisi, tentu saja, karena kami punya janji.
Dan, yang lebih penting lagi, aku ingin mendengar semua kisahnya. Aku
ingin tertawa di depannya sambil berkata, “bagaimana caramu mewujudkan keinginan SMPmu untuk menjadi laki-laki paling dicari?”
ya, dia memang pernah mengatakan itu waktu SMP dulu—seminggu sebelum
dia pergi setelah baru satu bulan kami menjadi siswa baru kelas 1.
Sambil mencegat bis yang melintas, aku terpikir seseorang untuk
kuundang dalam pertemuan kami nanti. Pasti orang itu akan sangat senang.
Mungkin kami bertiga akan main gunting-batu-kertas lagi—setelah
bertahun-tahun kehidupan kami dirampok oleh rutinitas dan tuntutan
tampil berwibawa sialan itu. Tapi aku tidak begitu yakin apakah si tamu
yang akan kuundang itu akan membuat reuni illegal kami semakin lancar
atau justeru berantakan. Tapi setidaknya aku masih ingat janji kami
bertiga, bahwa kami suatu saat harus berkumpul lagi sebagai anak-anak
yang sama-sama tidak berdosa. Bahwa kami akan bersama lagi tanpa harus
menjadi seperti orang dewasa di sekitar kami. Janji itu belum terpenuhi.
Sudah tiga puluh tahun. Mungkin sekaranglah saatnya. Saat yang paling
tepat.
“Baiklah,” kataku meyakinkan diri. “Setelah ini aku harus
menghubungimu Pak Kepala Polisi, untuk ikut reuni. Tidak bisa
kubayangkan betapa senangnya kami nanti.” Dan aku pun melompat naik bis
pertama yang lewat. Beberapa orang berdiri menawarkan tempat duduknya
tapi aku tersenyum dan menepuk pundaknya tanda terimakasih sekaligus
penolakan. Aku mendapatkan satu kursi kosong di dekat pintu masuk depan.
Bis berbelok di sebuah pertigaan. Biasanya ia berhenti sesaat di sini
untuk menaikkan penumpang. Tapi siang ini kosong. Tak ada seorang pun
di sana. Kecuali sebuah poster hitam putih yang menempel sendiri. Aku
mengamati poster itu sampai pergerakan bus membuatku kehilangan sudut
pandang.
“Setelah sekian lama, aku melihatmu lagi di sketsa criminal.”
***
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung ke blog BaW. Mohon kritik dan komentar yang membangun untuk setiap postingan ;)