Monday, November 4, 2013

[Cerpen] Romansa Cina Benteng


Romansa Cina Benteng
By : Yusi Yusuf

New York, awal  Januari 2007.
Dari jendela ruang dokter dilantai empat, aku menatap ke bukit taman timur. Dari balik bukit itu pasti akan terlihat kesibukan pinggiran kota New York di akhir musim dingin yang hangat ini karena tumah sakit kami berada lebih tinggi di pinggiran kota New York.



Benakku melayang ke tanah air, ke sudut barat Pulau Jawa, ke Akong dan rumah kami yang hampir ambruk saking tuanya. Akong memintaku segera pulang, meninggalkan tawaran kerja terbaik untuk setiap dokter.

Kata Akong, suaraku penting untuk memberi keputusan keluarga karena aku keturunan perempuan satu-satunya. Apakah kami akan menghancurkan atau mempertahankan rumah itu. Sementara salah satu perusahaan waralaba sangat antusias mendekati Akong karena menaksir tanahnya untuk dijadikan restoran mereka.

Seketika pikiranku kembali ketempatnya. Aku melihat sosok yang kukenal didorong suster ke atas bukit taman timur dengan kursi rodanya. Wajahnya bulat teduh dengan sebaran rambut dari dagu ke cambang, membuatnya terkesan lebih dewasa dari usianya. Dia satu-satunya WNI yang kutangani selama disini, dan selama ini hubungan kami hanya sekedar dokter dan pasien. 

Aku tergugah, lalu turun menyusulnya.
Hadi berdiri dengan berpegangan di pagar pembatas, sudah tak ada suster didekatnya. Dia memakai kacamatanya dan tampaknya dia hanya sedikit lebih tinggi dariku. Hadi menoleh, memberikan senyum lebar yang hangat.

"Hai..."
"Bosan aku dikamar, Dok..."
Aku mengangguk, "Bagus kok jalan-jalan, biar kakimu kembali kuat,"
Mata Hadi menjelajah negeri yang kelelahan itu. "Dengan dokter Putri, rasanya saya ada di Indonesia..."
Aku tertawa, seketika kami larut dalam obrolan hangat.
Tak seperti diriku yang memang tinggal disini, Hadi hanya mampir untuk tugas dinas luar selama beberapa bulan. Namun dia harus lebih lama tinggal karena kakinya terjepit lift, mengalami dislokasi dan musti dioperasi minggu lalu.

“Putri Caroline Wijaya,” Ucap Hadi, “Asal Sumatera?”
"Coba tebak saya orang apa?" Tantangku, rupanya dengan namaku yang campuran Indo-agak bule, tapi rupaku yang khas Indonesia dengan kulit sawo matang.
"Medan?"
"No, I'm Chinesse,"
"Chinesse?!"

Aku tergelak, "Nggak percaya kan? Aku Cina Benteng, dari Tangerang, makanya gosong gini kulitnya,"
Hadi tertawa terbahak-bahak, “Baru kali ini aku ketemu orang yang ngaku China Benteng!”
Aku ikut tertawa, pastilah orang bermata sipit di daerah kami akan dikatai China Benteng walau dia bukan benar-benar China Benteng. “Iya, biasanya jadi bahan ledekan sih pas sekolah dulu...”
"Tapi hebat loh, dokter Putri bisa jadi spesialis bedah disini. Nggak gampang lulus tes disini,"
Aku tersenyum, "Bukan hebat, tapi beruntung," ya, beruntung lebih tepat di kalangan komunitas kami yang miskin dan terpinggir.

Setelah itu aku mendorongnya turun bukit untuk kembali ke ruangannya.
"Kalau saya mau ajak dokter ngopi, boleh?" Tanya Hadi, saat kami sudah dekat gedung rumah sakit.
"Kapan?"
"Kapan-kapan, kalau saya udah keluar rumah sakit."
Aku tersenyum, "Saya pulang ke Tangerang dua hari lagi,"
Hadi mendongah ke arahku, senyuman hilang dari wajahnya. "Kalau begitu, maaf atas ketawa saya yang kurang ajar barusan. Saya nggak bermaksud menertawai Cina Benteng..."
Aku tertawa sungguh-sungguh kali ini. Ada rasa yang aneh dan nyaman, tapi aku tak bisa berharap lebih. “It’s okay, Hadi...”

Pesawat Airbus yang kutumpangi memecah langit malam Amerika menuju benua Asia. Rencananya aku akan lebih muda dua belas jam saat sampai Soetta nanti.
Aku membuka buku catatan Akong, babad tak tertulis di nusantara, namun benar ada. Aku selalu merasa diriku sebagai Oei Kiang, tokoh utama cerita ini, seorang putri Cina Benteng sejati.

***

1945, Tengeran, Jawa Barat.
Oei Kiang kecil adalah anak bungsu dan perempuan semata wayang Oei Dji San, yang seorang saudagar paling kaya di kalangan etnis Cina Boen Teng.
Di tengah kehidupan miris tetangganya, dia berbaur begitu saja, sementara kakak laki-lakinya setengah mati dididik Baba untuk meneruskan bisnis keluarga mereka.

Oei Kiang remaja berkulit sawo matang, bermata sipit, bertubuh langsing dan memiliki lesung pipit. Sama seperti warga etnisnya yang lain, Oei Kiang belajar di kelenteng Boen Tek Bio. Dia juga membantu urusan rumah tangga, dan sesekali mengekori kokonya menjalankan bisnis mereka sebagai pemilik toko bahan pokok, toko obat dan restoran. Dia juga suka mengintip Babanya dalam transaksi jual beli tanah dan mempelajari bahasa Indonesia dengan lembut dan tegas.

"Oi, Kiang, lu mau bantu bikin bacang?" Teriak Aping.
Oei Kiang yang sedang asyik menambal kursi belakang rumahnya langsung melompat dan menyerahkan pekerjaannya pada para jongosnya.
"Ada acara apa lu buat bacang?" Tanya Oei Kiang, berjalan menjajari sahabatnya.
"Baba ai mau kasi makan orang yang mau beli tanah," jelas Aping, "Kata Baba, uangnya mau dipake buat acara Cap Go Meh..."

Aping juga salah satu gadis berasal dari turunan orang kaya juga, Babanya tauke beras. "Cap Go Meh kan minggu depan. Mana bisa keluar cepat uangnya,"
"Justru itu, Baba minta panjer."
Mulut Oei Kiang membulat. Cap Go Meh berarti sukacita. Biasanya semua warga Cina Boen Teng akan menyusuri sungai Cisadane menuju kelenteng Boen Tek Bio. Setelah sembahyang, mereka akan mengadakan festival naga di sungai Cisadane, tepat ditengahTengeran.
Oei Kiang dan Aping melintasi tanah yang akan dijual. Beberapa tuan Jepun dan pribumi berpakaian setelan safari berkanji rapi, tampak mengukur tanah itu.

Mata Oei Kiang bertumbukan dengan mata seseorang berwajah bulat dan berjanggut tipis yang menyebar ke cambang. Lelaki muda itu tersenyum, mengembangkan lesung pipit dan gingsul. Nakal, Oei Kiang mengerjapkan matanya, lalu membalas senyum geli. Sementara Aping menariknya pergi, tak pantas bagi mereka memperhatikan urusan laki-laki.
"Eeeh, Oei Kiang... Lu jadi Putri Xin," Ucap Ibunya Aping. Putri Xin adalah selir kaisar Ming yang diasingkan ke Nusantara karena dianggap memonopoli cinta sang kaisar. Beserta anaknya, pangeran Jung, mereka lalu menjadi nenek moyang warga etnis Cina Boen Teng. 
Ibunya Aping memang biasa mengatur festival naga. Dia seenaknya saja meminta Oei Kiang menjadi pemeran Putri yang akan diarak keliling kota. Alasannya tentu saja karena Oei Kiang paling cerdas dan mampu berbahasa Indonesia dengan baik, juga karena Babanya yang akan menjadi penyumbang besar dalam festival ini.

Oei Kiang tentu senang menjadi Putri Xin. Sementara Aping cukup puas menjadi dayang, mereka akan naik perahu naga dan melambai-lambai ke penduduk yang menonton.
Saat tetamu pembeli tanah datang, mereka sibuk menjamu dan mengeluarkan makanan-makanan. Lagi-lagi Oei Kiang melihat lelaki berlesung pipit itu dari balik tirai dapur, dia langsung menyuruh Aping yang menyuguhkan makanan.
Sementara menunggu tamu-tamu itu pulang, Oei Kiang memberi makan ayam di halaman rumah belakang, sementara Aping dan ibunya sedang ribut-ribut mandi dan bersolek supaya bisa melihat penyerahan uang panjer.
"Ei, Missen..."

Oei Kiang menoleh, jantungnya berhenti berdetak. Missen adalah panggilan untuk noni-noni Belanda. Dihadapannya berdiri lelaki yang barusan tersenyum padanya di tanah lapang Baba Hok.
"Kamu putri Tauke Hok?"
Oei Kiang menggelengkan kepala. “Saya tetangga, kawannya Aping,”
Mata lelaki itu membulat lebar mendengar bahasa Oei Kiang yang fasih tanpa cengkok Cina Boen Teng yang kasar setengah Sunda. "Kamu pasti sekolah di kelenteng?"
Oei Kiang menundukkan kepala, malu. 
Lelaki itu tersenyum, "Saya Mahadi, kasir dari Batavia,"

Mendengar Batavia, mata Oei Kiang terbelalak. Sebuah kota besar yang tak pernah terpikir akan diinjaknya. Tapi Oei Kiang menelan semua keingintahuannya. Tak pernah ada penduduk Cina Boen Teng ke Batavia, mereka terlalu miskin dan udik. Bahkan Babanya hanya pernah kesana sekali.
"Namamu?" Tanya Mahadi.
"Oei Kiang,"
"Anaknya Tauke Oei?"
Oei Kiang mengangguk. Bersemu lagi.
“Aku juga mengurus tanah ayahmu, Kiang.”
“Oh yaa?”
Mahadi mengangguk pasti, matanya menyipit karena tersenyum. “Kapan-kapan boleh kita bincang-bincang.”
“Tentang Batavia?”

“Sekarang namanya Djakarta.”
“Ah, apa bedaaaa?”
Lagi-lagi Mahadi tertawa, “Tak beda. Kamu cerdas, Oei Kiang!”
Tiba-tiba,
"Kiaaaaang dimanaaaa?"
Dan seketika Aping sudah ada diantara mereka sambil terbengong heran.
"Tuan..." Gagapnya
Mahadi tersenyum dan mengangguk. Aping menarik Oei Kiang masuk kedalam rumah. Dan, cinta itu bersemi.

Berhari-hari Oei Kiang tak dapat tidur, membayangkan Mahadi yang lemah lembut dan sopan. Lelaki itu tak tinggal lama dan sepertinya langsung kembali ke Batavia.
 Para murid di kelenteng Boen Tek Bio sibuk mengurus segala keperluan festival naga sebagai rangkaian upacara imlek dan Cap Go Meh. Disela-sela itu Oei Kiang mendengar suara seorang lelaki sedang berpidato di radio, tentang revolusi dan kemerdekaan.
Bahasa itu terlalu sulit bagi Oei Kiang, walaupun dia tetap berseri-seri mengingat Mahadi yang mungkin sedang sibuk juga di Batavia.
Sementara dirumah Baba Oei dilakukan persiapan menyambut tamu dan masak besar. Menurut Mama akan ada tamu yang melunasi harga tanah mereka bertepatan dengan festival naga. Secercah harap bagi Oei Kiang, mungkin juru kasirnya Mahadi. Dan dia akan berhias sebaik mungkin, tak memakai baju yang dimakan ngengat seperti kemarin.

Tapi pupus, bukan Mahadi, hanya sekelompok pemuda yang menyebut diri sebagai pengganti pegawai pemerintah ibu kota. Dari beritanya juga bahwa para Jepun dan pribumi anak buahnya sudah tersingkir pergi dari Batavia.
Benak Oei Kiang tak lepas dari Mahadi saat kepalanya diberi hiasan Putri Xin dan wajah dipupuri bedak. Bahkan saat naik ke perahu naga, gadis itu terdiam, ada rasa rindu mengukir di hatinya.
Selesai diarak, Oei Kiang tak ikut dalam keramaian. Dia hanya terdiam memandangi arus sungai Cisadane. Dihadapannya masyarakat menikmati pesta yang dibuat Baba Hok dengan alunan Gambang Kromong.
Kaumnya sederhana, makan cukup saja sudah terasa mewah, kehidupan Oei Kiang di rumah megah tak dianggap mewah karena dia makan sama dengan orang Cina Benteng lainnya. Hari ini benar-benar hari rakyat, sepengetahuan Oei Kiang, mereka juga merayakan acara itu ditengah ketegangan dengan penjajah. Katanya Jepun dipukul mundur keluar Tengeran. Oei Kiang tak terlalu mengerti, yang dia tahu, tak ada lagi orang Jepun.
“Hai Putri…”

Jantung Oei Kiang terremas, suara itu…
“Kenapa tak ikut pesta?”
Oei Kiang tergagu, bahkan tak sanggup tersenyum.
“Kamu cantik… sungguh seperti putri,”
“Ah, tidak Tuan, aku cuma gadis Cina Benteng. Bagaimana Djakarta? Kamu masih kerja? Katanya semua orang Jepun dan pengikutnya disuruh keluar?”
Mahadi tersenyum membendung ucapan gadis itu, “Aku bukan pengikut Jepun. Aku hanya abdi negara. Semua baik-baik saja Oei Kiang.”


“Ah, aku cemas,”
“Terimakasih…”
Mereka lalu memandangi pesta raya dari kejauhan.
“Kiang, aku ditugaskan di Semarang, aku akan meminta izin pada Tauke Oei untuk membawamu kesana. Aku perlu seseorang untuk membantu para wanita yang menjadi korban perang, dan kamu pasti cocok.”
“Aku? Mana bisa?”
“Bisa, kita akan menikah…”
Mendengar kata-kata itu, kebahagiaan Oei Kiang membuncah. Rupanya Mahadi merasakan hal yang sama dengannya.
Tapi semua tak semudah itu.

 “Tak ada keturunanku yang akan menikah dengan pengkhianat!” Oei Dji San murka.
“Tapi Baba…”
“Kau rupanya sudah menjadi murahan dan bercintaan dengan budak Jepun itu? Kita memang miskin Kiaaang! Tapi kau bertugas membantu orang Cina Benteng, bukan keluar dari Tengeran!”
Tak pernah Babanya teriak dan mengusir orang lain seperti dia mengusir Mahadi.
“Kau akan kunikahkan dengan A Bun…”
Tangis Oei Kiang pecah, dia menghambur berlari ke kamarnya. Oei Kiang tak lantas menyerah, dia tak mau menikah dengan A Bun. Dia lantas mengirim surat seperti yang diminta Mahadi, melalui Aping.
Dia akan pergi dari rumah.

***

Setelah itu tak banyak cerita tentang Oei Kiang. Dia pergi ke Semarang dan menikah dengan Mahadi, lalu mereka pindah ke Jakarta dan kembali ke Tangerang saat Baba Oei meninggal.

Aku memandang ekskavator menghantam tembok rumah di samping Akong yang tampak pasrah. Kurangkul lelaki renta yang juga ayah dari ayahku itu, hatinya pasti hancur sehancur rumah itu, di hari ke tiga setelah imlek.
Ya, rumah kami akan menjadi restoran cepat saji.
“Lu gak balik ke Amerika kan?” tanya Akong dari balik pundakku.
Aku menggelengkan kepala. “Udah ada kerjaan disini, di rumah sakit di Kebon Nanas…”
“Bagus lah… orang-orang sini pada takut ke dokter, lu pasti bisa bantu obatin mereka,”
“Iya, Kong,”
“Oya, besok lagi Cap Go Meh. Akong nggak mau ikut kecuali sembahyang aja,”
Aku mengangguk, lalu menuntunnya ke mobil, membawanya pulang ke rumah kami yang sekarang terletak di jalan Sukasari, rumah dengan warung seperti kebanyakan warga Cina Benteng.
Ayah Ibuku mengelola warung sembako, mereka bisa membuatku menjadi dokter, adikku satu menjadi insinyur sipil, satunya guru bahasa Indonesia. Kami beruntung tak seperti saudara-saudara kami di Sewan atau Teluk naga yang miskin, atau bahkan di perumahan dempet-dempet di tepian kali Cisadane.

Hari itu Cap Go Meh, pagi-pagi aku sudah menyusuri kali Cisadane, belakang Pasar Lama. Bersyukur pemerintah kota memperhatikan sungai kami, sepanjang pinggirannya dibuat taman, membuat warga nyaman berlari pagi.
Aku hanya berlari, tak cepat namun membuatku lumayan berenergi.
Diujung pasar lama, menuju pasar baru, kulihat persiapan Festival Cisadane. Warga menyiapkan perahu-perahu berukir naga lengkap dengan Gambang Kromong dan tari Cokek. Ah, aku terkenang lagi kisah Oei Kiang, bibinya Akong.

Aku meneguk air mineralku, masih menikmati pemandangan festival itu.
Tiba-tiba,
Princess…”
Aku menoleh, menemukan wajah bulat teduh dengan sebaran rambut dari dagu ke cambang, tubuhnya tak lebih tinggi dariku. Dia tersenyum lebar menyembulkan lesung pipi dan gingsul.
“Hadi?!”
“Nggak susah rupanya cari dokter yang juga putri…” godanya.
“Kamu kok ada disini?” aku sungguh bingung.
Hadi berdecak, “Jangan geer ya putri... dari awal kamu bilang kamu orang Cina Benteng, kamu nggak memberiku kesempatan untuk bilang kalau aku juga tinggal di Tangerang!”
“Maaf...” Aku tertawa. “Aku sangka kamu ngerti lelucon kami mengatai Cina Benteng,”
“Nggak banyak yang tau...”
Aku mengangguk, “Oya, mau ikut?”
“Kemana?”
“Festival Naga...”
Aku lalu melanjutkan lari. Dia menjajari disampingku.

18 Desember 2012


No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung ke blog BaW. Mohon kritik dan komentar yang membangun untuk setiap postingan ;)