Tuesday, July 9, 2013

[Diary Day] Inisial W

INISIAL W (versi asli, belum diedit pihak Femina ya)
Oleh: Wuri Nugraeni
 Dimuat di Majalah Femina, April 2013

            Inisial nama saya adalah “W” dari Wuri Nugraeni, atau huruf keempat dari belakang menurut alphabet. Nama yang membuat saya acapkali mendapatkan nomor urut 40an ketika di bangku sekolah. Nama saya pun kerap kali tertera di bagian bawah dalam absensi kelas.
            Nomor urut di bagian akhir memang tidak berdampak secara signifikan, saya bebas duduk dimana saja. Biasanya saya memilih bangku bagian belakang, agar jauh dari meja guru, hehehe, jangan ditiru ya. Tetapi, masih ada sisi negatif ketika terlahir dengan nama berinisial “W” tersebut.

            Saya sampai protes kepada orang tua, kenapa sih nama saya harus menggunakan inisial “W”? Ough, lebih enak kalau inisal nama itu pakai huruf-huruf yang tengah.
Andai nama saya Laras, Miranda, atau Putri, kan bakal dapat nomor urut di tengah. Dalihku, pas rasanya enggak menjadi orang terakhir, tidak juga dipanggil yang pertama.
Saya merasa tidak enaknya berada di nomor urut bontot itu setiap ujian praktek. Biasanya, saya menjadi salah satu siswi yang diuji terakhir. Para pengajar pasti memanggil muridnya berdasarkan daftar absensi yang diurutkan menurut abjad.
Misalnya saat ujian pelajaran olah raga berupa tes servis voli, dan semua murid wajib mengeliling lapangan. Satu per satu dipanggil untuk melaksanakan servis voli sebanyak lima kali. Bagi yang sudah selesai melakukan tugas, pak guru memberi kebebasan kepada siswanya.
Tidak jarang, saya masih terjebak di pinggir lapangan yang panas, sembari menanti urutan. Sementara kawan-kawan yang memiliki nama berinisial “A,B,C,” dst tengah asik menegak es teh manis di kantin. Saya hanya menelan ludah setiap melihat mereka sudah terbebas dari tugas olah raga.
            Tidak hanya itu, ketika ujian praktek kesenian contohnya. Setiap murid harus menyanyikan satu lagu daerah berdasarkan undian dadakan. Para siswa hanya tahu lagu apa yang akan dinyanyikannya ketika berhadapan dengan pak guru.
            Bagi murid yang sudah bernyanyi, pak guru mengijinkan untuk pulang. Lagi-lagi saya gigit jari melihat teman-teman yang lebih dahulu boleh pulang. Sementara saya masih menghafal kembali beragam lagu tradisional, padahal yang diujikan hanya satu lagu lho, huh!
Suatu pagi, saya terbangun pada pukul 06.15 WIB, padahal setengah jam kemudian, bel masuk berbunyi. Mata saya melotot seakan tidak percaya telah melewatkan alarm yang selalu berbunyi pada pukul 05.30 WIB. Saya menyalahkan diri sendiri yang menonton televisi larut malam, hingga bunyi jam weker tak berpengaruh.
Saya langsung bangkit, gosok gigi, dan mandi secepat kilat. Ritual sarapan terpaksa saya lewatkan, bahkan tidak sempat memasukkan seteguk air di dalam tubuh. Setelah pamit, saya bergegas pergi, dan Ibu sudah hafal dengan kelakuan anaknya yang panik.
Saya berlari menuju depan komplek yang tidak jauh dari rumah. Untunglah, angkot datang tanpa perlu saya tunggu lagi. Saya lekas naik dan berkali-kali melirik jam di tangan.
Perjalanan menuju sekolah yang ditempuh selama lima belas menit membuat batin saya cemas tak karuan. Jantung kebat-kebit berharap waktu mau melambat temponya. Semua karena pelajaran pertama adalah kimia, itu artinya saya akan berhadapan dengan bu guru killer.
Andai saya terlambat, maka saya harus menunggu di luar kelas selama pelajaran kimia berlangsung. Padahal nilai kimia saya itu pas-pasan, hasil ujian tidak pernah memuaskan. Kalau ditambah dengan catatan perilaku saya yang jelek, dapat memperburuk angka kimia di rapor.
Saya sampai di depan sekolah ketika suasana lapangan sepi, tandanya bel masuk telah berdentang. Saya mengambil langkah seribu untuk menuju kelas yang terletak paling ujung, dengan keringat deras yang mengucur. Berharap lebih dahulu masuk ke kelas daripada bu guru, sehingga tidak perlu menjadi siswa yang terlambat.
Ciiittt… Saya menghentikah langkah tepat di pintu kelas. Saya mengintip kelas yang pintunya setengah terbuka itu, dan mendapati bu guru duduk di bangkunya. Aduh! Nampaknya saya bakal menambah catatan merah di mata bu guru kimia.
Wajah saya mendadak pasi dan tubuh terasa lunglai. Sia-sia sudah lari pontang-panting saya tadi.
            Tiba-tiba Nani, teman sekelas yang duduk paling pinggir, tengah melambaikan tangan kepada saya. Ajakannya seakan meminta saya masuk ke dalam kelas saja. Ha? Yang bener nih? Dahi sampai berkerut saat memaknai kalimat Nani.
            Saya mengambil nafas dalam-dalam, bersiap mengikuti saran Nani yang mungkin menyesatkan itu.  Saya menyiapkan diri menjadi tontonan seisi kelas karena akan kena marah bu guru. Saya pun memberanikan diri melangkah ke dalam kelas.
            “Wuri Nugraeni.” Bu guru selalu mengawali pelajaran dengan melakukan absen murid satu per satu.
            “Saya, Bu” jawab saya sembari mengacungkan tangan di bibir kelas.
Seluruh isi kelas tertawa riuh melihat peristiwa unik saat itu. Saya hanya termangu menunggu keputusan bu guru.
            “Karena kamu masuk sebelum namamu diabsen, kamu boleh masuk” jelasnya.
Ah… lega rasanya, karena saya masih dapat mengikuti pelajaran kimia hari itu. Saya baru sadar, ternyata ada keuntungan memiliki nama berinisial “W” lho. Andai nama saya diawali dengan huruf “A” mungkin saat itu akan menjalani hukuman karena terlambat. Saya pun menyunggingkan senyuman…

4 comments:

  1. hihihi... baguss, so simple, tapi unik.
    ini di rubrik gado-gado ya mbak? 2 kali kirim kesitu, dan nggak ada kabar, hehe
    trus mogok deh :D

    ReplyDelete
  2. hehehehe....yg versi majalah aku belum baca....:D

    ReplyDelete
  3. Keren :-) banyak kejadian yang bisa ditulis,tapi bingung alurnya gimana

    ReplyDelete

Terima kasih telah berkunjung ke blog BaW. Mohon kritik dan komentar yang membangun untuk setiap postingan ;)