Monday, November 4, 2013

[Cerpen] Kereta Ekonomi Pukul 06.30 Pagi


Kereta Ekonomi Pukul 06.30 Pagi
Oleh : Tuti Adhayati

            Matahari belum sepenuhnya membuka mata, terangnya baru berpendar dari kejauhan. Perlahan ia mengintip melalui celah-celah daun, melalui kisi-kisi jendela, menghangatkan besi pagar yang aku tutup dan seperti biasa menemaniku dengan setia bersama sinarnya yang mulai hangat.  Matahari itu menyinari siapa saja, besar, kecil, baik, buruk. Hidup, mati apapun yang berada dipermukaan.

           Seharusnya aku mencintai hidupku dan seluruh tokoh yang terlibat didalamnya seperti tugas matahari. Yang terus berputar pada porosnya tanpa pernah merasa lelah atau bosan. Hanya memberi kasih tanpa mengharap imbalan. Seharusnya demikian. Seharusnya.
            Desakan orang-orang sudah terkumpul di samping ular baja yang menghubungkan Jakarta dan Bogor, lempeng besi itu adalah nyawa. Nyawa kedua kami yang menggantungkan harapan pada gerbong-gerbong kumal dan kotor demi meraih lembaran mimpi yang masih menggantung di awan-awan.
            Suara dari pengeras suara telah menyatakan kereta mulai mendekat, seluruh manusia membentuk barisan, bersiap-siap bak menunggu pukulan gong untuk mulai berperang. Moncong kereta berwarna oranye itu mulai terlihat, semakin mendekat, menderu, mulai pelan untuk berhenti dan melewatiku dengan hembusan angin yang membawa jutaan partikel debu. Semua berdesakan berlomba untuk lebih dahulu menuju pintu masuk. Desakan di dalam gerbong 20 kali lipat lebih dahsyat. Semua orang saling bersentuhan saling berhimpitan. Sebagian besar merasa senang sebagian lagi merasa tersiksa.
            Kereta mulai bergerak badanku belum cukup stabil berdiri, aku meraih tiang besi agar tidak terombang ambing mengikuti goncangan. Tiba-tiba sebuah tangan menggamit tangan kananku dan mengajakku untuk berjalan ke gerbong depan.
            “Net, aku pikir kamu enggak kerja!” tanyaku.
            Inet menggeleng, “aku memang enggak akan kerja hari ini, aku ada janji!” bisiknya genit.
            Geng Duduk Manis telah bergerombol, terdiri dari lima orang ditambah satu denganku sebagai anggota baru. Selama empat tahun pulang dan pergi menggunakan jalur kereta yang sama, menghimpun jarak yang panjang menjadi terasa pendek. Melihat wajah-wajah yang sama setiap pagi dan sore hari tidak pernah membuatku tertarik untuk menyapa mereka, duniaku selama perjalanan hanyalah kecamuk yang mengisi kepalaku dan si kereta, tidak yang lain. Namun sejak aku menemukan Inet yang tidak sengaja aku kenal karena pernah menyelamatkannya dari ulah jahil pencopet, kereta bisa dijadikan sarana relaksasi sesaat. Keluar dari kepompong rumah yang mengikatku dengan segala kewajiban dan tugas menuju kerja rodi yang entah kapan akan berakhir.
            Geng ini selalu ramai dan heboh, bicara apa saja yang terlintas dikepala mereka, dilemparkan ke tengah pusaran lalu dwarrr...jadi bahan pembicaraan, banyolan hingga cacian meski selalu ditutup dengan tawa yang mengail-ngail atap kereta. Tiga orang dari anggota geng termasuk Inet naik kereta dari stasiun pertama, mereka bertugas mencari tiga kursi kosong dan menjaganya untuk tiga orang lagi yang akan naik di stasiun berikutnya. Kursi yang mereka jaga haram diduduki orang lain, jika ada yang memaksa bisa panjang urusannya. Rata-rata diantara mereka telah lama bahkan ada yang hampir sepuluh tahun wara-wiri setiap pagi dan sore antara Bogor-Jakarta.   
Jika hanya bicara melantur dan bertukar informasi dengan kesetiakawanan yang kental masih sangat menyenangkan, namun ternyata mereka sangat terbiasa saling “dekat-dekatan” dengan teman laki-laki yang setiap pagi sama-sama satu kereta. Bertukar cerita, bertukar tempat duduk, bertukar nomor telepon, saling berpegangan jika terpaksa harus berdiri. Dan itu menjadi biasa, pemandangan yang sangat biasa di sepanjang gerbong yang berisi komunitas kereta ekonomi pukul 06.30 itu
Inet sudah terlanjur menjalani semuanya tanpa beban, ketika ia naik kereta dirinya seperti tiba-tiba berubah, berganti menjadi Inet yang lain yang memiliki kehidupan berbeda di atas kereta, Inet seperti membelah diri, menyimpan cangkangnya di saku terdalam menjadi Inet yang lain. Namun jika turun ia tetap akan kembali menjadi Inet bagi suami dan anak-anaknya, bagi bos dan rekan kerjanya.
Zak dan Inet, semua geng tahu itu. semua yang melihat mereka setiap pagi juga tahu itu. semuanya mafhum itu hanya sebuah hubungan di atas kereta, jika mereka turun mereka akan kembali membelah diri menjadi manusia yang lain, yang mungkin saja tidak saling mengenal.
Tapi sejak beberapa hari terakhir jemari Inet dan Zak terus mengait meski telah turun dari kereta, dan pagi ini dengan senangnya Inet bercerita bahwa ia akan pergi ke suatu tempat bersama Zak.
“jangan Net, nanti Ohang tahu!” bisikku langsung ke telinganya agar langsung terdengar tanpa terselip deru kereta.

Inet menggeleng yakin sambil mengajakku duduk ditempat yang sudah dipersiapkan oleh anggota geng yang lain. Kemudian mengambil gorengan dari bungkusan ditangan Soja teman kami.
“gila, anak gue pagi-pagi udah bikin rumah hampir kebakaran!” Soja membuka cerita.
“kok bisa?” tanyaku menyambut.
“biasa main korek api, cess buang...cess buang! Dia buang ke tempat sampah, tempat sampah plastik, meleleh ke sebelahnya, disebelahnya mesin cuci! Meleleh dah mesin cuci gue, hampir bolong!” kisah Soja antusias.
“gampang tinggal beli lagi aja yang baru!” sela Inet ringan.

Soja melipat dahinya. “lu kata duit gue dipungutin di depan stasiun apa? Yang ntu aja gue beli kredit baru lunas dua bulan lalu!”
“tinggal minta aja ke mas Iyut!” Inet menyebut kawan seperjalanan Soja, serupa hubungan Inet dan Zak.

Soja langsung menyikut pinggang Inet dengan mata membulat terbelalak, “syuuuttt, sebelah sono ada tetangga gue! Runyam urusannya kalo dia denger!” bisik Soja menekan suaranya.
Inet terkekeh sambil mengangguk-angguk serupa hiasan kepala anjing di atas dashboard mobil. Kemudian mereka terlibat lagi obrolan dengan tema berbeda yang enggan aku ikuti. Kupalingkan wajahku ke luar jendela, ke pepohonan yang nampak berlari-lari ke mobil-mobil yang mengumpat ingin menyebrang tapi tertahan kereta kami. Sebenarnya bukan itu niat mataku untuk melihat, tapi pada sesorang yang selalu terlihat berdiri di dekat pintu antar gerbong, seseorang yang memiliki mata sedikit sipit, dan selalu mengenakan rompi rajutan berwarna gelap.

Mata itu seringkali tertangkap melihat ke arah kami, tentu saja karena suara-suara kami mendominasi seisi gerbong kereta. Tetapi tiba-tiba pagi ini pemilik mata itu berbincang seru dengan mas Iyut “teman”nya Soja, mas Iyut mengajak laki-laki itu mendekati kami.
Mas Iyut mencomot gorengan dari bungkusan di atas pangkuan Soja, “iwnnhi khang Barlii!” ucapnya dengan mulut penuh gigitan gorengan. “jadwal naik keretanya Cuma senin kamis doang, macam orang puasa sunat!” Mas Iyut tertawa.
Barli tersenyum ke arah kami.

“kalau laper, dari rumah enggak sempet bawa makanan! Nangkring aja sama perempuan-perempuan cantik ini!” ucap mas Iyut pada Barli . “tuh, pok Yayah biasanya dia bawa beberapa nasi uduk yang boleh kita palakin!” lanjutnya sambil menunjuk mpok Yayah anggota geng paling senior yang berbadan subur.
Barli hanya tersenyum-senyum saja kikuk sambil menolak gorengan yang ditawarkan Soja.
“Jadi mas Iyut itu ngedeketin kita Cuma buat ngenyangin perutnya doang!” bisik Inet sangat pelan padaku.
Mas Iyut berbincang dengan Soja dan yang lainnya, mata Barli membaca headline koran yang aku baca.
“dia itu kalau enggak bawa koran, bawa buku! Kalau enggak bawa dua-duanya, dia tidur!” seru Soja mengomentari tatapan Barli ke arahku yang hanya dibalas segaris senyuman oleh Barli.
Aku melirik Soja dan kembali membenamkan mataku pada artikel lima paragraf yang tidak selesai-selesai aku baca sejak Barli mendekat.

Inet membereskan tasnya kemudian ia berdiri.
“mau ke mana Net, elu kan masih jauh?” tanyaku.
“gue enggak akan turun di tempat biasa, gue  ada perlu dulu!” ucapnya sambil melihat ke gerbong depan, ada Zak di sana yang berjalan menuju pintu kereta. Inet mencengkram lenganku. “elu udah tahukan sekarang? Namanya Barli! Elu pikir gue enggak tahu, elu selalu merhatiin lelaki itu saban senin kamis!” bisiknya sangat pelan dan cepat, namun jelas meski di sekelilingku suara-suara sangat risau.
“duduk mas, saya udah mau turun!” Inet mempersilahkan Barli menduduki tempatnya semula, yang artinya laki-laki dengan rompi rajut itu duduk tepat di sebelahku. Aku menahan napas, agar aroma Davidof itu tidak membius indra penciumanku.
“Inet kurang ajar!” desisku dalam hati.

Kereta berhenti, segerombolan turun digantikan oleh gerombolan yang lain. Inet melompat keluar, di pintu berbeda Zak menuruni kereta dan diam berdiri. Inet mendekat tidak lama kemudian jari telunjuk mereka saling mengait bak sepasang manusia usia belasan. Aku dan anggota geng yang lain, juga mas Iyut melihat itu tapi tak ada satupun yang berkomentar. Sama-sama tahu, sama-sama mau, sama-sama malu.
“turun di mana?” Barli membuka suara, akhirnya setelah enam bulan aku melihatnya bisa mendengar suaranya.
“pasar minggu!” aku membuka koran, dan fokus pada bacaan tentang wanita berambut ungu yang sudah jadi tersangka di KPK entah dari kapan namun baru saja masuk penjara. Agar Barli tidak melanjutkan obrolan, karena aku takut tak mampu menolaknya.
Meski tanpa jarak hanya terhalang Barli sendirian,  aku seperti terpisah dari anggota geng yang lain, yang sedang heboh membicarakan Syharini dan Bubu. Tentang apa yang akan di lakukan jika jadi Syahrini, juga apa yang akan di buat jika menjadi Bubu.

“ngantornya di Mega Tower ya?” tanya Barli.
Keningku berkerut heran mengapa ia tahu tempatku bekerja, ku tatap wajahnya sebentar. Oh terlalu! Ternyata hidungnya amat licin tanpa komedo, sekitar dagu dan di atas bibirnya penuh titik abu-abu sisa ia bercukur! Batinku mengigit.
“kok tahu?” tanyaku.
Barli hanya tersenyum. Syit! Senyumnya, jeritku dalam hati.
Enam bulan lalu, ada sosok baru di dalam kereta yang sudah sangat akrab denganku itu. Setiap wajah sering aku lihat, tapi wajah yang satu itu baru saat itu aku lihat. Seharusnya biasa saja jika tidak ada seorang laki-laki tua yang pingsan karena tidak terbiasa dengan sesaknya kereta ekonomi pagi. Barli langsung meminta semua orang minggir dan menidurkan laki-laki tua itu. tidak mempan menggunakan kayu putih, tiba-tiba laki-laki tua itu tersengal-sengal seperti orang meregang nyawa dan sepersekian detik akan meninggal. Barli menekan-nekan dada laki-laki tua itu tetapi tetap tidak berhasil, sesaat ketika kereta akan berhenti, bahkan belum berhenti sempurna Barli sudah membopong laki-laki tua itu ke luar kereta sambil berteriak-teriak.

“medis tolong...medis........tolong!”
Kejadian pagi itu melekat terus dalam ingatanku, terlebih ketika wajah Barli dua minggu sekali aku lihat di atas kereta. Sepanjang enam bulan ini, hanya mengagumi dari jauh sosok Barli saja yang berani aku lakukan. Tidak boleh lebih. Aku pejamkan mata, mengais-ngais ingatan tentang Hans, betapa Hans tidak pernah membuatku kecewa dan sakit hingga ia tak berdaya dengan tubuhnya yang kekar kini mati separuhnya.

Pemandangan Hans yang aku lepas setiap pagi, di atas kasur dengan selimut yang mulai lusuh. Ia hanya mampu memandangiku, untuk menjawab salam saja lidahnya telah kelu. Ketika Hans menungguku pulang kerja dengan tubuh yang ia miringkan karena punggunya terasa panas setelah sepanjang empat tahun ini ia hanya bisa terbaring.
Dengarlah Hans, dalam hidupku aku hanya mengagumi dirimu yang terlalu baik, yang selintas aku lihat ada pada Barli yang gagah itu. Sungguh kesetiaan itu seperti terletak di atas cawan kristal yang ditopang oleh ranting yang rapuh, sukar sekali menjaganya untuk tetap seimbang. Aku pastikan satu hal, aku tidak akan melakukan yang tidak boleh aku lakukan.

“bagaimana kabar bapak-bapak yang anda tolong waktu itu?” aku membereskan koran, melipatnya dan menjejalkannya ke dalam tas.
“baik, dia selamat!” ucapnya tidak kalah heran denganku tadi.
Aku berdiri meski tempat tujuanku masih tiga stasiun lagi, perlahan aku mohon diri dengan cepat kepada Barli yang ia balas dengan tatapan terkejut. Mempersilahkan seorang wanita menempati tempat dudukku. Berjalan ke gerbong depan di antara himpitan para penumpang dan penjual asongan, diantara keringat dan keletihan yang bercampur dengan berjuta semangat dan harapan.

1 comment:

  1. Nice , , ,

    Ni sob cerita paling ok http://q-opini.blogspot.com/2013/11/anak-raja-dan-dongeng-funny-fairytale.html

    ReplyDelete

Terima kasih telah berkunjung ke blog BaW. Mohon kritik dan komentar yang membangun untuk setiap postingan ;)