Wednesday, November 20, 2013

[Resensi Buku] Sunset in Weh Island


Oleh: Linda Satibi



Indonesia, negeri dengan 13.000 pulau yang terhampar dari ujung barat hingga timur, memiliki keindahan mengagumkan. Sayang, informasi tentang keindahan negeri sendiri kerap kurang menggaung sehingga wisatawan domestik masih terkonsentrasi di tempat-tempat populer, seperti Bali, Lombok, dan Yogyakarta. 

Novel Sunset in Weh Island membidik keindahan pulau kecil di ujung barat Aceh, Pulau Weh. Buku mengeksplorasi alam Weh dalam sebuah kisah cinta. Dengan segmen pembaca remaja, cara ini sungguh efektif untuk menumbuhkan cinta Tanah Air dan menggairahkan generasi muda mengunjungi wilayah-wilayah negeri sendiri. Tokoh utama kisah ini justru seorang pemuda Jerman. Dia mengunjungi pamannya di Pulau Weh. Axel, nama pemuda itu, meninggalkan Goettingen, Jerman, demi menghindari konfl ik dengan sahabatnya, Marcel. 

Dalam perjalanan menuju Pulau Weh, terjadi perjumpaan dengan Mala, gadis Aceh, mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Syah Kuala. Meski awal pertemuan itu terkesan klise, yakni bertubrukan karena langkah yang tergesa, namun tidak mengurangi keasyikan novel ini. 

Pertemuan Axel dan Mala terus berlanjut. Cottage paman Axel, Alan Scuba Diving, ternyata bersebelahan dengan restoran milik ayah Mala, Laguna Restaurant. Maka, Mala dan ayahnya sudah akrab dengan paman Axel yang bernama Alan. Lucunya, setiap pertemuan Axel dan Mala senantiasa diwarnai adu mulut sehingga Axel menganggap Mala adalah gadis yang unik, cerdas, dan tidak mau kalah dalam berargumen. Tokoh lain, ada Raffi . 

Instruktur diving pada Alan Scuba Diving, yang merupakan cinta pertama Mala. Ia kakak kelas Mala ketika di SMA. Hingga lima tahun berlalu, Mala belum sanggup melupakannya. Sebagaimana kisah remaja, novel ini mengangkat percintaan yang berbalut kegalauan. Mala bingung karena Axel ternyata mencintainya. Ia sendiri tidak yakin apakah akan tetap bertahan pada rasa cinta pertamanya, ataukah membiarkan hatinya terbuka menyambut Axel. 

Kemudian muncul Andrea, gadis Jerman yang mencintai Axel, membuat kisah cinta ini tidak mudah ditebak pembaca. Berbicara setting, penulis menggarap maksimal. Pembaca disuguhi keindahan Pulau Weh dan sekitarnya. Detail Pelabuhan Ulhee-lhee, Balohan, Ie Boih, Pulau Rubiah, Danau Aneuk Laot, Tugu Nol Kilometer, dan tempat-tempat eksotis lainnya dihadirkan jelas. Keindahan momen sunset dan sunrise pun semakin melengkapi. 

Siapa sangka di pulau terpencil itu terdapat show room mobil mewah impor dengan harga miring mulai dari Jaguar, BMW, Alphard, Lexus, Mercedes Benz (hal 137). Tak ketinggalan keindahan bawah laut pun tampil memesona. Karangkarang yang berwarna semarak, berkibar-kibar, sesekali terlihat mengembang mengerucut. Gerombolan ikan seperti dalam Finding Nemo, hilir-mudik di depan, belakang, kiri, dan kanan (halaman 98). 

Ada pesan tentang keseimbangan hidup. "Bagaimana laut yang tenang kemudian bergelombang, membawa ombak naik, surut, menepi, lalu kembali lagi. Tuhan membuatmu memiliki sahabat, tapi bersamaan dengan itu Tuhan memberimu musuh. 

Saat kamu senang maka Tuhan juga memberimu sedih. Mengapa? Agar kualitas bahagiamu lebih berlipat ganda. Ketika kamu marah maka Tuhan memberimu kesempatan untuk memaafkan. Untuk apa? Agar kamu belajar menjadi dewasa dari kesalahan orang lain" (hal 192). Sisi lain, pembaca diajak untuk memaknai sebuah kesetiaan. "Aku tahu, separuh hatiku tertinggal di sini, karenanya aku selalu kembali, di hatimu" (hal 243). 

Judul Buku : Sunset in Weh Island
Penulis : Aida MA
Penerbit : Bentang Belia (PT Bentang Pustaka)
Terbit : Cetakan I, Januari 2013
Tebal Buku : viii 252 halaman
ISBN : 978-602-9397-73-4


No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung ke blog BaW. Mohon kritik dan komentar yang membangun untuk setiap postingan ;)