Friday, April 19, 2013

[Resensi Film] Le Grand Voyage, Perjalanan Menuju Pemahaman




Salah satu impian terbesar umat muslim adalah bisa menggenapkan rukun Islam. Begitu juga dengan saya. Jauh di lubuk hati terdalam, keinginan itu selalu bertalu-talu. Tapi karena mahalnya biaya perjalanan ke tanah suci dan antrian waktu yang begitu mengerikan (di daerah saya daftar antrian reguler mencapai 15 tahun lebih), maka impian itupun tidak serta merta terwujud begitu saja. Ada proses bersabar, mengumpulkan rezeki sedikit demi sedikit sambil terus berdo’a supaya suatu hari nanti kita bisa menjadi salah satu hamba terpilih yang berkesempatan mencicipi nikmatnya beribadah di depan Ka’bah. Aamiin Ya Rabb..
  
Le grand voyage, salah satu film tentang perjalanan ibadah haji yang dirilis tahun 2004 itu, berhasil membuat keinginan saya itu semakin menggebu. Ah, seandainya Mekkah itu begitu dekat dan bisa dicapai dengan perjalanan darat. Seandainya negara kita memberikan kesempatan kepada orang-orang yang hanya memiliki kemampuan ekonomi terbatas.. (Ah, menerawang jauh)
Dan merekapun belajar banyak dari perjalanan itu. Sebuah perjalanan yang luar biasa!

“Papa, kenapa papa tidak naik pesawat saja untuk naik haji? Lebih praktis.” Itu salah satu pertanyaan Reda pada ayahnya, yang jawabannya kelak akan ditemukan di dalam perjalanan.

Ayah Reda, seorang muslim Maroko yang sudah 30 tahun bermukim di Perancis. Kerinduan akan tanah suci selalu mengusiknya. Ia bertekad, sebelum nafasnya berhenti, ia harus mencapainya. Maka, perjalanan sepanjang kurang lebih 5.000 KM dengan jalan darat itupun direncanakan. Awalnya, Sang Ayah minta diantar Khalid, kakak Reda. Tapi karena Khalid melanggar lampu merah, kabur dan SIMnya dicabut, jadilah kewajiban itu dibebankan pada Reda yang masih SMU. Dalam waktu empat hari, Reda terjebak dilema. Ia harus mengikuti ujian akhir SMU. Ia pernah gagal, dan ini adalah kesempatan terakhirnya. Disamping, imannya memang tipis. Meskipun orang tuanya muslim, tapi lahir dan tumbuh di Perancis membuat Reda menjadi Hedonis, muslim sebatas KTP. Awalnya, ia berjanji kalau perjalanan ayahnya yang diantar sang kakak bisa berhasil, ia akan berhenti mabuk dan mulai sholat.

Reda tak kuasa mengelak. Dengan setengah hati, ia menyanggupi mengantar ayahnya ke Mekkah dengan naik mobil butut mereka. Berbekal keteguhan hati sang ayah dan selembar peta, perjalanan dari Perancis ke Mekkah melintasi Italia, Slovenia, Kroasia, Yugoslavia, Bulgaria, Turki, Syria dan Yordania itupun dimulai.

Dan inilah sedikit dari lika-liku perjalanan itu.

Dua generasi tidak pernah sama pendirian dan pemikirannya. Ayah dan anak yang sama-sama keras, membuat perjalanan itu selalu diwarnai ketegangan. Tak jarang ketegangan itu berubah menjadi perang dingin. Seperti, ketika sang ayah mengakui telah membuang handphone Reda di tong sampah. Padahal tong sampah itu sudah tertinggal di belakang sejauh 300 KM. Atau, ketika Reda ingin berhenti di Milan, Sekadar jalan-jalan dan memotret. Tapi ayahnya menolak dengan tegas, “Kau pikir kita sedang pesiar, berhenti di setiap kota?” Tak ada kompromi.

Kehadiran seorang wanita tua dan bisu yang tiba-tiba menumpang mobil mereka, justru malah menunjukkan ke mana arah Beograd. Intuisi, ya sebelumnya mereka berdebat di sebuah pertigaan padang rumput dan bingung harus lewat arah yang mana. Sampai di Beograd, ketegangan ayah dan anak itu lagi-lagi terjadi. Hanya karena keberadaan wanita tua yang membuat Reda merasa tak nyaman.

Ketika terus melaju menuju Bulgaria, mereka dihadang badai salju. Berhenti di sebuah gubuk kecil, Reda mengajukan pertanyaan yang sama ketika masih di Perancis. Dengan bijak sang ayah menjelaskan,  “Saat air laut naik ke langit, rasa asinnya hilang dan murni kembali. Air laut menguap naik ke awan. Saat menguap, ia menjadi tawar. Itulah sebabnya, lebih baik naik haji berjalan kaki daripada naik kuda. Lebih baik naik kuda daripada naik mobil. Lebih baik naik mobil daripada naik kapal laut. Lebih baik naik kapal laut daripada naik pesawat.”

Karena badai salju itu, sang ayah sakit dan dirawat di rumah sakit. Tapi karena keinginan mencapai Mekkah secepatnya, secepat itu pula ia pulih. Dan perjalanan dilanjutkan kembali.


Ketika masuk Turki, ada sedikit masalah di Pabean. Mereka ditolong oleh seorang laki-laki yang kemudian mempunyai keinginan untuk menumpang, sekalian ingin ikut naik haji. Mereka berhenti sejenak di kota seribu masjid itu. Terlalu mudah percaya dan ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Sebenarnya sang ayah sudah mengingatkan agar Reda tidak percaya begitu saja dengan orang yang baru dikenal. Pada akhirnya Reda kena batunya. Orang itu tidak hanya membawa Reda pada clubbing dan mabuk-mabukan. Tapi pagi harinya, orang asing yang bernama Mustapha itu berhasil menggasak uang ayahnya tanpa tersisa. Ketika mereka bangun tidur, Mustapha sudah lenyap. Melapor ke polisipun tak ada gunanya. Tidak ada bukti  dan Mustapha sudah pasti tak mengakuinya. Sang ayah marah, “kau bisa baca dan tulis, tapi buta mengenai kehidupan.”

Dalam keadaan sedih, merekapun melanjutkan perjalanan, tanpa uang lagi, siapa yang akan bisa bertahan. Di pom bensin selanjutnya menuju Damaskus, tanpa disangka-sangka sang ayah mengeluarkan uang yang ia simpan di lipatan ikat pinggang (saya melihatnya terharu). Bisa dibilang lega, tapi tak sepenuhnya. Uang yang seharusnya untuk biaya perjalanan pulang dari Mekkah harus dikeluarkan sebelum waktunya.

Reda marah karena ayahnya terlalu baik menyedekahkan uangnya di saat mereka sendiri sedang kekurangan. Iapun pergi ke atas gurun, tak mau melanjutkan perjalanan lagi. Ayahnya dengan bijak membujuknya, menawarkan satu opsi kalau mereka bisa menjual mobil mereka di Damaskus untuk biaya pulang. Dan perjalanan-pun dilanjutkan kembali.

Bahwa ketika orang yang sama-sama keras hatinya, harus saling menurunkan egonya masing-masing agar konflik tak semakin meruncing dan menggagalkan rencana baik. Dalam hal ini, sang ayah telah berhasil dengan bijak memulainya

Dalam perjalanan berikutnya, mereka membeli domba. Ketika sudah mendapat domba dan diangkut ke mobil, lagi-lagi Reda terbawa emosi karena merasa terganggu dengan berisiknya domba. Lalu mereka berhenti untuk menyembelihnya. Tapi Reda tak terlalu kuat memeganginya, sehingga domba berhasil kabur. Melanjutkan perjalanan lagi, kali ini Reda yang merasa bersalah.

Saat sang ayah berhenti untuk sholat, tak sengaja Reda menemukan sejumlah uang yang cukup banyak terselip di kaos kaki ayahnya. Redapun tertawa lega, hampir menangis. Mungkin dalam hati mulai mengagumi ayahnya. Mereka menginap sejenak di hotel, meluruskan punggung. Ayahnya berkelit kalau uang itu diberikan oleh konsulat Perancis. Menurut ayahnya, itu sudah sebanding dengan jumlah yang telah dicuri oleh Mustapha. 

Di hotel, lagi-lagi mereka berdebat dengan alibi kalau ayah dan anak itu tak saling memahami. Reda marah dan menghabiskan waktu semalam suntuk di klub malam. Mabuk-mabukan dan tepergok  sang ayah sedang bersama wanita. Sang ayah marah besar. Perbuatan Reda kali ini sudah tak bisa ditolerir. Sang ayah memutuskan untuk melanjutkan perjalanan sendiri dengan berjalan kaki. Untuk pertama kalinya Reda meminta maaf pada ayahnya, walaupun itu juga dengan berteriak-teriak.

Mereka melanjutkan perjalanan bersama kembali. Mungkin karena rasa bersalahnya, di tidurnya, Reda bermimpi kalau ia tenggelam dalam padang pasir sambil berteriak-teriak memanggil ayahnya, sementara ayahnya berlalu bersama domba-dombanya. Mungkin ini adalah pertanda, batas antara orang beriman dengan yang tidak. Orang yang beriman akan mulus jalannya, sedang yang tersesat akan tenggelam dalam kehancuran. Seketika ia bangun dan mendapati ayahnya sedang sholat di tengah lautan pasir.

Dalam perjalanan selanjutnya, mereka bertemu rombongan mobil dari Mesir, Syria, Sudan, Libanon dan Turki yang akan menuju Mekkah. Perjalanan yang luar biasa. Rindu akan mekkah membuat sebuah perjalanan itu menjadi sesuatu yang syahdu. Saat berhenti lagi, mereka kehabisan air wudhu. Sang ayahpun tayamum dengan pasir. Reda melihatnya terpana, tak mengerti. Saat itulah ia mulai belajar memahami.

Semakin dekat dengan tanah suci, rona bahagia menyelimuti. Nikmat beribadah mungkin takkan tergantikan oleh apapun. Bahkan mungkin kalau harus menghembuskan nafas terakhir di sana. Mungkin bagi sebagian orang beriman, itu adalah anugerah.

Hari kedua di Mekkah, saat rembulan sempurna lenyap sampai matahari mulai muncul lagi, Reda tak mendapati sosok sang ayah kembali ke parkiran mobil mereka. Iapun mencari dan mencari di antara jutaan umat manusia. Berhasilkah Reda menemukan ayahnya? Apakah perjalanan yang telah ia lalui bersama sang ayah menyisakan sesuatu bagi dirinya? Tonton sendiri ya, tidak seru kalau semua diceritakan..

Yap, perjalanan yang menakjubkan dan mengharukan. Lika-liku di dalamnya cukup memberikan pembelajaran. Saya suka endingnya yang terbuka, tidak serta-merta menunjukkan Reda berubah menjadi baik dengan menjadi rajin sholat misalnya. Hanya proses menuju berubah. Selanjutnya, penonton sendirilah yang menyimpulkan.

Saya suka dengan akting Nicolas Cazalé (Reda) dan Mohamed Majd (sang ayah) yang terlihat begitu natural. Karena peran Reda, Nicolas mendapat award sebagai best actor dalam Newport International Film Festival. Tidak banyak film produk internasional yang mengangkat tema Islam. Dan saya berharap, ke depan akan semakin banyak film-film (religi) yang berkualitas seperti ini. Setidaknya cukup untuk menjadi ‘kompor’ menuju kebaikan.

4 comments:

  1. film yang menarik :) saat membaca prolog, saya pikir akan sama dengan "Emak Ingin Naik Haji", ternyata beda jauh >.<

    Memang dalam menjalani ibadah ini katanya tak selalu mulus. Apalagi untuk yang 'keras hati'nya. Namun seiring memaknai apa maksud ibadah, pasti akan terbuka hatinya. Seperti bagaimana sang anak di kisah ini ^^

    Review-nya bagus, lengkap dan jadi semakin penasaran untuk pinjam di rental VCD

    ReplyDelete
  2. jd inget aq sama bpk yg jg keras kepala... smua akan berjalan mulus jk mau mengalah

    ReplyDelete
  3. aku paling suka resensi ini, bikin nangis pengen ke mekkah. :') semoga suatu saat bisa ke sana sama ortu dan adek2

    ReplyDelete
  4. Mau nanya tp rada2 ndak nyambung nih. kalo mau nulis resensi seperti ini apakah naskah dikirim via email atau di share ke facebook group.

    ReplyDelete

Terima kasih telah berkunjung ke blog BaW. Mohon kritik dan komentar yang membangun untuk setiap postingan ;)