Monday, July 8, 2013

[Cerpen] Janji Kang Juri

Oleh: Shabrina WS.

Aku ingin  ikut kerja yu Mur, Kang.”
“Tidak!!!”
“Tidak?” Aku menatapnya tak mengerti. Belum pernah dia membentakku seperti itu.
“Lebih baik aku kelaparan, dari pada hidup harus menadahkan tangan di jalanan!”
 “Kau bisa saja mengatakan seperti itu, Kang? Tapi aku butuh makan? Anakmu juga butuh makan. Kita telah menjadi kere sejak menjejakkan kaki di kota ini. Apa itu belum cukup membuka matamu terbuka? Hah?!”
“Tini?!”
“Apa?! Mau menyuruhku bersabar lagi? Mau bilang kalau ini hanya sementara?!” Aku mendekat. “Berapa lama kau bilang sementara, Kang? Sepuluh tahun?! Dua puluh tahun?!”
“Ayo jawab! Jangan hanya diam?!”
“Sabarlah, Tin. Aku sedang berusaha,”ucapnya sambil berjalan ke pojok ruangan, meraih topi di cantolan. “Jaga saja anak-anak, aku kerja dulu.”
“Kau selalu begitu, Kang?!” aku memburunya, berdiri tepat di hadapannya. “Selalu menghindar setiap kali aku mengajakmu membicarakan masa depan!” ucapku serak,
“Bukan menghindar. Aku hanya tak mau kita terus bertengkar…”
Kutampik tangannya yang meraih pundakku. “Tak mau bertengkar?” Air mataku mulai mengalir, “atau pengecut?!” aku berkacak pinggang.
“Pengecut apa, Tin?”

“Apa namanya kalau bukan pengecut?” Aku terisak. “Setiap kali aku memulai bicara, kau hanya diam! Atau buru-buru pergi! Kau tak pernah tahu Kang, seperti apa anak-anak di rumah saat kau tak ada! Menangis, merengek, minta jajan ini, itu.”
“Jangan ajari mereka jajaaan. Beri saja nasi biar kenyang!”
“Apa?! enak sekali kau bicara Kang? Kau tidak merasa bagaimana susahnya mengurus tiga anak, karena kau selalu pergi pagi dan pulang malam!” ucapku beradu dengan tangis anakku yang terbangun.
“Ini demi kau dan anak-anak, Tin. Aku bukan pergi untuk bersenang-senang, harusnya kau tahu itu!”  Suaranya mulai meninggi.
“Demi kami? Mana buktinya?! Mana?!”
Dia menarik nafas panjang, menggeleng berkali-kali, lalu pergi.
Aku tak ingat pasti kapan pertama kalinya kami bertengkar. Kapan pertama kalinya kang Juri, suamiku membentakku. Dan kapan pertama kalinya aku berkata kasar padanya.
Yang kuingat, enam tahun lalu kami datang ke kota ini. Berhari-hari kami hidup seperti gelandangan karena kang Juri tidak segera mendapat pekerjaan. Lalu kang Juri memutuskan untuk menjadi pemulung. Kami tinggal di perkampungan kumuh yang padat. Menempati sebuah rumah petak berukuran 3x2,5m. Beratap seng dengan lubang- lubang di sana-sini, dan berdinding potongan-potongan triplek yang disambung sekedarnya.
“Sabar ya, Tin. Aku janji, ini hanya sementara.”
Hanya sementara. Itulah janji yang diucapkan kang Juri. Aku percaya kami bisa melalui kesulitan kami. Namun enam tahun, bukan waktu yang sebentar untuk terus bersabar. Tak ada perubahan dalam hidup kami. Kecuali dua kali kehamilanku berturut-turut. Sehingga rumah kami yang sempit terasa penuh ditempati lima kepala.
Sering aku hanya menelan getir ketika berbincang dengan beberapa tetanggaku.
“Makanya kamu bekerja, Tin. Dari pada pengangguran gini,” ucap Yu Mur suatu hari.
“Kang Juri tidak mengijinkan, Yu…”
“Tak mengijinkan,  kalau semua kebutuhanmu terpenuhi sih ndak masalah. Lah ini? membiarkanmu terlantar. Gimana sih jalan pikiran suamimu itu?”
Ya, mungkin benar ucapan yu Mur. Jangankan dia, aku yang bertahun-tahun menjadi istrinya saja, masih juga tidak bisa memahami jalan pikiran kang Juri. Dia lebih banyak diam dan memilih menghindar.
Sering aku berpikir, salahkah keputusanku dulu memilihnya menjadi suamiku? Benar ternyata, kalau sebuah rumahtangga tak bisa hanya di bangun dengan pondasi cinta.
Cinta? Di mana letaknya? Aku bahkan tak tahu lagi apa sebenarnya aku masih mencintainya? Mendengar kata-katanya yang sama setiap hari, yang selalu menyuruhku bersabar, bersabar, dan bersabar, membuatku begitu muak. Sering aku bertanya, apa yang dia lakukan seharian di luar sana?
“Jangan melamun, Tin.” Aku menoleh ke arah suara itu. Yu Mur datang mendekatiku.
“Banyak anak itu banyak rezeki.”
“Maksudnya, Yu?”
“Jakarta ini keras, Tin. Anak-anak harus diajari hidup yang kuat. Mereka harus bisa bertahan. Sudah berkali-kali kukatakan Yuni dan Puji itu bisa mendatangkan rezeki, percayalah.”
Aku diam, mengelus kepala Ninis yang kembali tidur di gendonganku. Sepertinya, aku memang harus melakukan sesuatu, tanpa atau dengan seizin kang Juri.
Maka, diam-diam aku mengikuti Yu Mur bekerja. Dia ajarkan padaku  beberapa hal. Memakai pakaian yang kumal, membiarkan bibir kering. Dan tidak mengusap wajah yang berkeringat.
“Jangan kau sisir rambut anakmu. Biarkan wajahnya belepotan ingus. Karena dengan seperti itu, orang akan merasa kasihan.” Begitu ucap yu Mur.
Awalnya aku merasa seperti orang dungu. Namun bahagia rasanya, melihat rupiah demi rupiah terkumpul. Meski beberapa kali aku harus teriak, karena yu Mur membawa Puji dan Yuni  menyelinap di antara mobil-mobil di dekat lampu merah.
Kucoba melupakan pertengkaran dengan kang Juri tadi pagi. Sengaja kuhidangkan makanan istimewa. Makanan dari hasil keringat kami. Nasi putih dengan ayam goreng.
“Wah, makan enak nih…” kata kang Juri sambil memandang sepotong ayam di piringnya.
“Enak, Pak. Tadi ibu beli ayam…” ucap Yuni dengan mata berbinar.
“Tadi kami kerja Pak. Gampang banget. Banyak orang baik di jalan raya yang memberi kami uang.”
“Appaaa?!”
Suara kang Juri membuatku tersentak. Air yang kutuangkan ke gelas tumpah. Ditaruhnya kembali piring yang sudah di tangan. Rahangnya mengeras. Dia mendekatiku dengan bola mata yang menonjol keluar.
“Apa aku sudah tidak layak untuk percaya padamu lagi, Tin?!” Dia mengucapkan kalimat itu dengan setengah berbisik. Namun kedua tangannya begitu kuat mencengkeram pundakku.
“Jawab, Tin!” Aku merasakan hembusan nafasnya di wajahku. Tak bisa lagi kubedakan sakit yang manakah yang membuat air mataku menderas. Sakit hatiku atau sakit pundakku oleh cengekeraman tangannya. Aku ingin berteriak. Namun belum sempat aku bersuara dia telah melepaskan cengkeramnya. Lalu melangkah pergi sambil menggaruk kepalanya dengan kasar.
Kupandangi wajah anak-anakku yang basah oleh air mata. Ingus mereka sudah hampir menyentuh bibir. Tangan-tangan mungil itu tak lagi menyentuh makanan. Mata-mata  yang semula  berbinar kini redup menyimpan ketakutan.
“Makanlah,Nak…, ayo makan.” Kusodorkan kembali piring-piring melamin ke pangkuan Puji dan Yuni. Namun mereka hanya menggeleng dengan air mata yang semakin menderas. Beberapa detik kemudian, mereka telah menghambur ke pelukanku. Kudekap mereka erat-erat. Isak kami beradu.
Sepanjang malam itu aku dan kang Juri saling diam. Bahkan hingga pagi, kami tetap tak saling bicara. Kang Juri melangkah pergi tanpa sepatah katapun. Lelaki macam apa itu? Makiku dalam hati. Aku menghela nafas dalam. Inilah saatnya. Semua harus berakhir. Dan aku yang akan mengakhiri.
Kuambil tas kumalku. Tas yang sama saat kami datang ke Jakarta enam tahun yang lalu. Dengan hati seperti diiris kumasukkan satu persatuan pakaian kami. Lalu kubangunkan anak-anakku pelan-pelan.
 “Kita akan ke mana, Bu?” tanya Puji.
“Kita akan mudik, Nak. Ke rumah simbah di kampung.”
 “Bapak?” pertanyaan Yuni membuatku terdiam sejenak. Dan sebisa mungkin aku tersenyum padanya, “bapak masih kerja.”
Kutatap kembali sudut-sudut rumah kami. Beberapa kenangan berkelebat. Namun aku tahu, aku harus kuat. Lalu aku berpamitan pada tetangga-tetanggaku. Ada yang mengatakan prihatin. Ada yang menyuruhku bersabar. Dan ada pula yang mengatakan agar aku  bercerai saja.
“Pulanglah ke ibumu, Tin. Tak ada gunanya kamu ikuti suami macam Juri. Kamu ini cantik, masih banyak laki-laki yang siap menjadi suamimu.”
Sesungguhnya, aku tak yakin sepenuhnya akan keputusanku. Namun  aku sudah tak punya pilihan lain. Dengan  gamang aku mengajak ketiga anakku menuju stasiun. Kubeli tiket dengan harga paling murah setelah bertanya berkali-kali.
 “Tin?!”
Aku menoleh pada suara yang sangat kukenal. Kami baru saja duduk di peron.
“Bapaaaak…!” Yuni dan Puji berteriak.
“Kang Juri?!” 
“Bapak minta maaf, Nak…,” Kang Juri memeluk Puji dan Yuni.
”Aku minta maaf, Tin. Aku sungguh-sungguh minta maaf.” Kang Juri menatapku dengan mata merah, lalu kalimat-kalimat permintaan maaf dan penyesalam meluncur dari bibirnya. Aku tak tahu harus berkata apa. Air mataku mengalir deras. Sungguh, sejak aku meninggalkan rumah, aku terus berharap, ada yang mengejarku. Ada sebuah tangan kokoh yang menahan langkahku.
“Ayo kita naik,” ajak kang Juri sambil menggendong Yuni dan Puji.
“Tiketnya….” Aku menunjuk selembar tiket di tanganku.
“Aku sudah membeli empat tiket, Tin. Satu kursi tidak akan cukup untuk kita berlima.”
Aku berjalan mengikuti langkah panjang kang Juri. Mencari bangku kereta yang sesuai dengan tiket di tangannya.
“Aku minta maaf kalau selama ini, aku begitu kasar dan keras kepadamu,” ucapnya setelah anak-anak tidur. Kereta telah jauh meninggalkan Jakarta.
“Selama ini aku menyembunyikan sesuatu darimu….”
“Sesuatu?” aku menatap mata kang Juri.
“Separoh dari penghasilanku aku tabung di bank, Tin. Aku sengaja tak mengatakan padamu. Kau tahu kan, tidak mudah menyimpan di rumah. Jika ada tetangga yang hutang tidak enak kalau tidak memberi. Tapi kalau dihutangi…uangnya sulit kembali….”
“Kang Juri, kenapa kau tak mengatakan sejak dulu? Kalau dari awal kau terbuka padaku, mungkin hari-hari kita tak dipenuhi pertengkaran.”
“Aku minta maaf, Tin.”
“Aku yang minta maaf padamu, Kang…aku sering berkata-kata kasar padamu.”
 “Aku menyayangi kalian. Aku  tak ingin membiarkan kalian menjadi korban keraskan hidup di Jakarta. Dan aku butuh waktu untuk mewujudkan itu.”
Kutatap wajah kang Juri.
“Aku sudah berencana membuka usaha…atau kembali bertani dan….”
Kereta terus melaju membelah malam. Kusandarkan kepalaku pada pundak kang Juri. Lelaki yang hampir tiap hari kucaci, lelaki yang sering kukatakan pengecut, lelaki yang kupikir tak pernah mencintaiku.Lelaki yang telah membuktikan cintanya, dan memenuhi janjinya dengan caranya sendiri. 
Sidoarjo 8 Februari 2012
Penulis Shabrina Ws
Dimuat di Majalah Ummi Juni 2013

No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung ke blog BaW. Mohon kritik dan komentar yang membangun untuk setiap postingan ;)