Tuesday, July 9, 2013

[Cerpen] Rekening

Cerpen ini pernah dimuat di Majalah Annida. Yuuk.. bacaa... ^_^

 REKENING
Oleh: Novia Erwida

Berbaris lagi. Pasti hari ini Maya baru membayar rekening telepon. Aku yang barusan datang, langsung bergabung di barisan terakhir, karena aku si bontot.
            “Dengar…” kakak pertamaku itu angkat bicara.
            “Bulan lalu,,,” ia membuka lipatan rekening dan mulai membaca dengan suara lantang.
            “Empat ratus tiga puluh tiga ribu sembilan ratus lima belas rupiah.” Matanya melotot, menatap kami satu persatu. Aku dan keempat saudaraku tertunduk.
            “Aku nggak pernah, Ya..” aku membela diri. Tidak ada tradisi panggilan kakak di keluarga ini. Namun semua tidak mengurangi rasa hormatku padanya.

            “Belum ada kesempatan membela diri! Lihat!” Maya membuka rincian pemakaian telepon bulan lalu. Tiga lembar. O-ow…
            “Semua ke handphone, kecuali satu. Tanggal 19, aku  telpon ke ayah. Minta tambahan uang bulanan untuk biaya eks kul kalian.” Bola matanya semakin membesar. Aku bayangkan, tiba-tiba saja urat-uratnya putus dan matanya meloncat keluar. Hihihi.
            “Mimi! Kenapa ketawa?”
            Ups! Senyum kecilku tertangkap olehnya.
            Aku diam. Tak bisa mengelak. Rupanya Maya lebih peduli pada pengeluaran yang semakin membengkak akhir-akhir ini dan tidak mengacuhkan senyumku tadi. Ah… syukurlah.
            “Kalian harus bertanggung jawab. Seperti biasa, tulis nama kalian pada nomor-nomor ini, sekaligus nomor siapa dan untuk apa menghubunginya.” Maya menyerahkan kertas itu pada Nina. Nina meneliti. Lalu menulis pada satu nomor dan menyerahkannya ke Maya.
            Giliran Andi, dia terlihat gugup. Namun ditulis juga. Giliran Alim, sedikit lebih tenang dibanding Andi. Lalu dia menulis. Lalu giliran Ega, juga agak gugup. Terakhir giliranku. Aku hanya menggeleng.
            Maya menarik kertas itu, membaca dengan seksama dan menjatuhkan vonisnya.
            “Nina ke nomor om Haryo. Ngasih kabar mau KKN, sekaligus minta dana. Hm…” Maya berfikir keras sambil meletakkan telunjuknya ke kening. Mengetuk-ngetuk keningnya pelan..
            “Gratis…!” putusnya.
            Terlihat raut lega di wajah Nina.
            “Andi..” suara Maya berhenti. Matanya melotot lagi melihat hampir separo dari seluruh nomor panggilan, bertuliskan nama Andi.
            “Ke nomor Mila, Rini, Iis, Awing… Hei! Cewek-cewek semua nih? Untuk apa?”
            Andi tak menjawab. Kena deh si pinter ngerayu cewek.
            Maya langsung menjatuhkan vonis yang lumayan mengerikan.
            “Uang sakumu bulan ini disunat untuk mengganti semua biaya nomor yang kamu panggil.”
            “Yah…” Andi bergumam kecewa. Apa boleh buat. Maya bendahara keluarga.
            “Alim… Urusan dakwah… urusan dakwah… urusan dakwah… Apa bener ini semua urusan dakwah?” alisnya berkerut.
            “Bener, Ya.” Alim tergagap.
            “Betul?” tanyanya menyelidik.
            “Betul.”
            “Lalu ini kenapa urusan dakwah?” Maya tersenyum. Alim pucat. Pasti ruwet kalau begini. Aduh… kalau banyak kasus seperti ini bisa kesemutan kakiku berdiri terus.
            “Kamu telepon ke Hpku, dan bilang urusan dakwah?” Bohong! Kamu tulis lagi yang betul! Bedakan mana urusan dakwah dan mana urusan pribadi.”
            Terpaksa Alim memperbaiki laporan pertanggungjawabannya. Hasilnya, untuk urusan dakwah, gratis. Dan untuk urusan pribadi yang melibatkan cewek, tanggung sendiri. Deu… Aktifis kita… Nggak nyangka…
            Kakiku mulai pegal. Sekarang giliran Ega. Ega nggak jauh beda dengan dua saudaranya yang “sehobi” menelepon cewek. Hasilnya, uang saku Ega juga dipotong.
            Giliranku karena tidak pernah memakai telepon bulan lau, dilewatkan begitu saja oleh Maya. Maya kembali berpidato.
            “Untuk bulan ini, selain abonemen, sudah tertutupi. Dan bagi yang punya Hp, saya sarankan untuk memanfaatkan Hpnya kalau tak ingin malu. Sidang ditutup. Tok! Tok! Tok!” Maya mengetuk meja.
            Kami berhamburan. Aku dan Nina mendekati Maya. Sedang Andi, Alim dan Ega menuding Maya.
            “Uh… Maya kezaaam. Telpon rumah kan lebih murah..” protes Andi. Maya cuma mengerlingkan matanya. Cling!
            “Pinter ngatur sidang, Ya.” Komentar Nina.
            Aku mengecup pipinya. Maya sudah menjadi sosok ibu bagiku sejak ibu tiada.
***
            Bulan berikut…
            Maya kurang semangat memimpin sidang pertanggungjawaban kali ini. Karena ini sidang terakhirnya sebelum pergi meninggalkan rumah. Maya terlihat sedih akan meninggalkan kami, adik-adiknya. Karena awal bulan depan Maya akan menikah.
            Masih seperti bulan kemaren, Andi, Alim dan Ega masih menelepon cewek untuk urusan pribadi. Uh… Abang-abang bandel susah dibilangin. Aku tak tahu pasti apakah mereka menghubungi some one special atau baru jurus pendekatan. Mudah-mudahan tidak keduanya.
            Maya tidak begitu memanfaatkan uang “jarahan” dari mereka. Kalau sudah tidak ada uang untuk membayar rekening, baru uang itu dipakai. Kalau masih ada simpanan, uang itu ditabung dan dibelikan untuk kepentingan bersama. Misalnya sajadah, sarung bahkan mukena. Mukena ini yang bikin cowok-cowok itu keki, masa’ uang jarahan mereka dimanfaatkan cewek-cewek di rumah ini?
Maya bukan kakak yang otoriter. Tapi dia sangat teliti dan disiplin dalam hal pengelolaan keuangan. Dalam setiap sidang Maya selalu mengatakan kalau dia mengevaluasi setiap pemakaian telepon, hanya untuk mengingatkan bahwa menelepon itu butuh biaya. Jadi harus bertanggung jawab. Bukan menagih iuran untuk kepentingan bersama saja. Lagian, banyak ruginya kalau cuma untuk sekedar ngobrol, bukan membicarakan hal-hal penting.  Fasilitas diberikan untuk dimanfaatkan pada hal-hal positif, bukan senang-senang doang. Dasar abang-abangku aja yang masih hobi. Susah mengubahnya. Mereka bahkan rela uang sakunya disunat, asal “privacy”nya nggak diganggu. Belum separah teman-temanku sih, yang ngapel beneran.  Tapi ya… tetap aja salah.
Sebelum sidang ditutup, Maya berucap pelan.
“Karena saya selaku ketua sidang tidak bisa lagi memimpin sidang berikutnya, maka kekuasaan penuh saya serahkan pada saudari Nina.”
“Keberatan, ketua.” Nina angkat bicara.
Hihi… Jadi kaya’ main sandiwara. Lihat tuh, muka yang cowok-cowok pada masam semua. Habis “disunat” sih… Hehe. Aku nyengir dan kebetulan Andi memandang ke arahku. Dia lumayan disiplin dalam setiap sidang. Nggak pernah ketawa. Melihat cengiranku, dia mengepalkan tinju. Aku mengkeret. Hiy… Takuuuut…
“Karena bulan depan saya KKN, maka saya tidak bisa menerima tugas mulia ini.” Sambung Nina.
O iya.. Aku sampai lupa. Bulan depan kan Nina KKN? Jadi, siapa dong pengganti Maya?
Maya terdiam. Memilih antara Andi, Alim, Ega dan aku. Bolak balik di depan kami berempat. Aku cuek, tak berharap menggantikan posisi Maya. Andi, Alim dan Ega kasak kusuk mengatur posisi berdiri mereka setegap mungkin. Cie… Pengen dipilih nih?
Tiba-tiba telunjuk Maya mengarah ke aku. Aku kaget. Andi protes.
“Maaf, ketua sidang. Saya rasa sebagai anak ketiga dan derajatnya lebih tinggi dari si bontot ini…” Andi sedikit menjitak kepalaku. “Sayalah yang berhak memimpin sidang selanjutnya.”
Aku mengelus-elus benjolan kecil itu. Sebal, kudelikkan mata sembari menginjak kakinya. Dia membalas. Huh… Gemeeees! Maya jeli melihat situasi. Dengan tatapan Maya, adu jotos tak berlangsung lama.
Maya dan Nina berbincang dengan berbisik. Aku dan ketiga abangku saling menatap sebal. Uh.. Pasti mereka ingin mengambil kekuasaan itu. Biar bulan depan yang nelpon ke Hp digratisisn. Enak-e…
“Mengingat dst… menimbang dst… memutuskan… menetapkan saudari Mimi sebagai pemimpin sidang berikut. Kepada saudari Mimi diharap untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan. Sidang ditutup. Tok! Tok! Tok!”
“Wa… Maya  curang..” Andi langsung protes. Suasana tidak resmi lagi.
“Kalau dikasi ke Andi, Alim atau Ega, pasti deh pada kompakan. Hayo ngaku…” tebak Nina. Cowok-cowok ganteng itu sebal.
“Cewek lebih teliti, adik-adikku sayang…” cetus Maya. Uh… Kenapa saat-saat menjelang perpisahan ini, kasih sayang Maya semakin tercurahkan? Sangat berkesan dan sukar dilupakan.
Aku mengambil tempat di sampingnya.
“Jadi… tugasku?” aku bertanya polos.
“Cuma bayar rekening, dan barisin abang-abangmu. Karena bulan depan aku dan Nina nggak ada disini.” Jelas Maya.
Aku melongo. Ah? Yang benar aja? Wong setiap hari dijitakin mereka kok malah harus jadi bu Hakim? Bisa-bisa sidang gagal dan bu Hakim nangis-nangis.
“Kalau dicurangin, lapor ke aku.” Cetus Maya. Cowok-cowok yang sedang mengunyah kue itu, terbatuk. Kue-kuenya berhamburan dari mulut mereka. Aku terkikik.
“Thank you, kakak.” Ah… Kalau lagi seneng gini manggilnya kakak, deh…
Maya cuma tersenyum. Dan cowok-cowok pada manyun.
Tak sabar rasanya menunggu awal bulan. Sekali-sekali abang-abang bandel itu perlu dikasih pelajaran. Hello… si bontot bebas area perjitakan… hehe. Eh, bukankah itu termasuk menyalahgunakan kekuasaan? Ah… Sedikit membalas, boleh dong…
Selesai sidang, kami kembali ke kamar masing-masing. Oahm… Capeknya seharian di luar rumah terus. Aku meregangkan badan.
“Tit… tit..” Hpku berbunyi. Sebuah nomor baru dengan pesan yang membuat aku bingung. Siapa ya? Pesan itu tak kuacuhkan. Lagian, pulsaku mau habis.
“Ah… Nomer salah ditanggapin. Capek ah…” aku menguap. Saat ini tempat tidur lebih menarik daripada membalas pesan itu.
***
Nomer itu lagi. Sudah terlalu sering SMS, tidak menelepon. Isi pesannya tak kumengerti sama sekali. Mungkin di beranggapan sudah mengirim ke nomor yang benar. Heran ya… Padahal nggak pernah dibalas. Lama-lama nggak enak juga. Siapa tahu betul-betul salah kirim. Aku membalas dan menjelaskan aku tak kenal dia. Dia menelpon.
“Oh.. Jadi gitu ya? Maaf kalau selama ini pesan-pesan saya ganggu kamu.” Sesalnya.
“Ah… Nggak kok. Mungkin lantaran nomernya mirip aja kamu jadi salah pencet.” Duh… Suara cowok. Aku grogi banget.
“Iya kali. Nomor temanku mirip banget dengan nomormu. Udah ya. Kapan-kapan kontakan lagi. Senang punya kenalan baru. Bye…”
“Bye…”
Uh… Islam nggak sih? Mau ngucap Assalmu’alaikum, ntar salah, lagi.
***
“Hallo… Masih ingat saya?”
“Oh…. Kamu….”
Enak juga nih dapat kenalan baru secara tak sengaja. Walau belum bertatap muka, tapi aku yakin orangnya asyik. Kelihatan dari canda-candanya. Ada lagi yang unik, aku dan dia belum saling kenal nama sampai saat ini. Padahal sudah jalan beberapa minggu. Untuk memudahkan, aku tulis namanya ‘Unik” di Hp-ku.
“Ketemu yuk?” si Unik ngajak. (Lho…?)
Aku memutar-mutar ujung jilbab. “Hm… Gimana ya?”
“Ayo dong… Masa udah lama kenal, nggak tahu orangnya? Penasaran nih…” dia sedikit merajuk. Hehe… Ternyata cowok juga suka ngambek ya?
“Kapan?” kupikir sedikit berpetualang nggak apa-apa. Lagian cuma kenalan, nggak salah kok.
“Besok deh… Kamu kuliah dimana?”
“Hm…” aku berfikir. “Bawa teman, boleh?” tantangku. Takut juga kan? Siapa tahu dia missionaris. Memang akhir-akhir ini “assalamu’alaikum”nya nempel terus. Nuduh sih nggak, curiga boleh kan?
“Nggak papa. Jam berapa kuliahnya selesai?”
“Sebelas. Di Universitas …….”
“Ok. Besok aku hubungi kamu lagi, jam sebelas. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam.”
Dag dig dug… Duh…  kok di-iya-kan sih? Sok berani amat Mimi. Aku sedikit nenyesali persetujuanku barusan. Lekas kutelepon Sinta.
Telpon diangkat. Secepat mungkin kujelaskan duduk persoalan. Sinta sedikit keberatan.
“Please dong, Sin. Temenin aku sekaliii aja…”
“Ye… emang sekali. Emangnya mau kenalan berapa kali?”
“Uh… Jangan sewot gitu dong. Mau ya?”
“Ogah ah. Masa’ percaya aja ama orang asing.”
“Duh… terlanjur janji nih…”
“Kamu sih…”
“Ayolah Sin. Sin cantik deh…”
“Pinter ngerayu! Kalo dia brewokan, aku tinggal kamu.”
“Kalau ganteng?”
“Kamu yang ninggalin aku ama dia. Hehe.”
***
Ternyata Unik eh Hendra orangnya memang asyik. Aku dan dia semakin akrab sejak perkenalan itu. Dia beda dari abang-abangku, lebih menghargaiku. Kalau abang sukanya nyuruh, anggap aku anak balita dan lain-lain yang nggak enak. Tapi Hendra? Wuih… Aku diperlakukan layaknya seorang Ratu.
Dia selalu menghubungiku. Walau sekedar untuk menanyakan kabar. Kadang saat-saat senggang kerjanya, dia meneleponku. Menanyakan aku sedang apa, jangan lupa makan, jangan terlalu sibuk nanti sakit, dan sebagainya. Rasanya aku tidak lagi menginjak bumi. Sudah bercanda dengan awan-awan setiap kali dihubunginya.
Aku sedikit lupa diri karenanya. Sinta melihat perubahanku. Dia menganjurkan agar aku membatasi diri bergaul dengan Hendra. Aku membela diri.
“Jadi akhwat nggak harus selalu berteman dengan ‘yang segolongan’ kan? Gaul dong..”
“Iya.. Tapi kalau ada gesekan? Ini aja aku lihat udah tinggal setengah senti, nih. Sekali telepon lagi, tinggal dua mili” tangannya menggambarkan.
“Tapi ini kan sekalian dakwah.” Aku membela diri.
“Ah… seberapa tebal sih pemisah antara kalian? Tinggal pencet nomor langsung nyambung. Bisa cerita apaaaa aja.”
“Suudzan, kamu.” Aku sedikit ‘panas’
“Nggak. Aku cuma takut kamu terbakar. Jangan main api, Mi.”
Aku merutuk sebal. “Please… Aku cuma berteman.”
“Ya! Untuk saat ini. Tapi nanti? We will see.”
“Ok.. We will see!” kutanggapi tantangannya.
***
“Aku cuma berteman.”
“Ya! Untuk saat ini.”
Aku termenung di atas sajadahku. Masih terngiang kecaman Sinta tadi siang. Kutelusuri hatiku. Apa betul aku dan Hendra cuma berteman? Apa betul dengan frekwensi telepon / SMS yang nyaris tiap hari itu “cuma berteman”? Aku tergugu. Setitik airmata penyesalan menetes.
Mataku makin menganak sungai saat kuingat ini adalah awal bulan. Saatnya menghakimi saudara-saudaraku yang suka menelepon cewek. Saatnya menjarah uang mereka meminta pertanggungjawaban. Saatnya menasehati mereka agar lebih mementingkan hal positif. Sementara hakimnya sendiri…?
Semakin deras airmataku. Saat kuteliti halaman perincian pemakaian. Bulan ini nyaris tak ada panggilan ke nomor-nomor yang biasa abang-abangku hubungi. Aku berhusnuzan, mereka tidak melarikan hobi dengan memakai Hp masing-masing. Karena itu berarti pengeluaran mereka akan lebih besar. Mungkin kepergian Maya menyadarkan mereka. Ucapan Maya yang lembut dan berharap saat sidang terakhir, menghanyutkan mereka. Ya.. aku yakin karena usaha Maya. Di samping hidayah Allah.
Kuamati dua kartu pulsa isi ulangku yang habis dalam bulan ini. Masyaallah.. Alangkah borosnya. Seingatku, kalau tidak Hendra yang menghubungi, aku yang hubungi dia. Pantas saja pulsaku cepat habis.
Aku semakin terpuruk. Perubahan diri abang-abangku semakin baik. Sementara perubahanku merosot tajam. Bukan aku yang harus mengingatkan mereka, seperti harapan Maya. Justru akulah yang mesti diingatkan.
Aku menyesal. Bukan karena uang yang sudah melayang. Aku masih bisa mengumpulkannya lagi. Ada sesuatu yang sangat mahal yang juga nyaris melayang. Meruntuhkan harga diriku. Imanku.
Aku ingat Maya. Aku rindu Maya. Maya bisa menjaga diri sekaligus adik-adiknya. Maya sengaja tidak mengunci telepon, menguji penguasaan diri kami. Maya cuma mengingatkan : “Boleh menelepon some one yang kalian anggap special dengan Hp, saya tidak tahu. Tapi Tuhan tahu.” Maya yang tegas, Maya yang juga lembut dan penyayang, Maya yang… Ah!!!
Maya bu Hakim yang sepantasnya. Bukan aku. Karena aku Hakim yang melakukan kesalahan, dan menghakimi orang dengan kesalahan yang sama. Aku tidak adil. Aku menyembunyikan kebusukan. Kebusukan yang luput dari pengawasan abang-abangku. Tapi tak luput dari pengawasan Tuhan. Aku malu!
Rasanya aku tak sanggup memimpin sidang pertamaku besok…
***
Bukittinggi, 12 Juni 2003

1 comment:

Terima kasih telah berkunjung ke blog BaW. Mohon kritik dan komentar yang membangun untuk setiap postingan ;)