Sunday, July 7, 2013

[Cerpen] Balada Pengemis

Balada Pengemis*)
Oleh: Irhayati Harun

    Dia masih berkutat di dapur sebagai tukang masak disebuah restoran padang yang cukup besar di salah satu sudut kota Jakarta. Hawa panas yang keluar mengitari setiap sudut dapur tanpa ampun. Keringat bercucuran disekujur tubuhnya. Sungguh! Hawa panas yang dirasakannya ini tak seberapa dengan rasa panas yang menjalar didalam tubuhnya, hingga membuat hatinya menggelegak bila mengingat kelakuan saudara saudaranya yang begitu rendah dimatanya.

Rasa gerah yang terpancar karena antusiasnya yang tinggi dalam mengolah aneka lauk padang di rumah makan ini, mampu mengeluarkan beribu-ribu keringat kemarahannya, yang bersumber pada sebuah nama.

“Uda Aznan benar-benar sudah kelewatan!”
Dia mengeluhkan nama itu seirama dengan ayunan pisaunya yang tajam. Yang tanpa perasaan memotong-motong berkilo-kilo daging yang teronggok pasrah diatas meja pembantaian.

“Mengapa Udanya itu tak pernah berhenti membuat masalah?”
 Dia pun semakin bekerja dengan kerasnya, agar kemarahannya tersalurkan dengan baik. Meski badannya sudah basah penuh keringat. Yang bila tak dikeluarkan lewat kerja kerasnya ini, akan menyumbat pori-pori kesabarannya. Hingga mampu merasuki otaknya yang akan membuatnya semakin gila karena emosinya. Emosi marah, benci, sedih, juga rasa prihatin yang dalam. Pelampiasan jiwanya yang sempurna.

“Jadi, kapan kamu bisa pulang Rusli? Abak sekarang dirawat dirumah sakit karena serangan jantung. Dia terus menyebut-nyebut namamu,” ujar Mande tadi malam sambil terisak-isak lewat telepon.

Kalimat tanya itulah yang kini mendesak kuat dalam otaknya. Seolah-olah ingin memecahkan tempurung kepalanya. Bagaikan bom waktu yang menolak untuk tak diledakkan. Memicu adrenalinnya agar segera bereaksi terhadap serangan rasa kesal yang memuncak.

“Kau benar-benar membuatku muak, Da!” 
Dia meremas-remas kelapa dengan sepenuh rasa gemes, agar menghasilkan santan kental yang sempurna.

Setelah berjam-jam, akhirnya tersajilah dihadapannya gulai ikan, kari ayam, juga rendang.  Menu seperti ayam pop, ikan asam pedas, sayur nangka, tauco juga menu lainnya, telah disiapkan oleh dua orang tukang masak yang sedari tadi di dapur membantunya. Para pelayan yang lainpun segera membawanya ke panglong, untuk segera menatanya sebelum matahari  beranjak lebih tinggi.
Tak lama kemudian, beberapa pelanggan mulai berdatangan. Ada yang memesan makan di meja. Ada juga yang minta dibungkus untuk dibawa pulang. Melihat kesibukan para pelayan, dia pun segera turun tangan untuk ikut melayani. Setelah hari beranjak sore, para pembeli tetap ramai. Tiba-tiba seorang lelaki yang usianya belum begitu tua, dengan pakaian compang-camping dan sebuah kaleng bekas ikut dalam antrian pembeli. Tak salah lagi, lelaki ini adalah pengemis yang sering ia lihat dipinggir jalan. Mau apa dia kesini? Batinnya. Lalu ia lihat pengemis itu duduk disalah satu kursi yang kosong.

“Da. Saya minta dihidangkan lauk yang ada dirumah makan ini secepatnya!”
Saya termangu tak percaya mendengarnya. Apalagi begitu dihidangkan, pengemis itu menghabiskan satu porsi daging ayam, rendang, juga lauk yang lainnya. Begitu selesai menghabiskan makannya, pengemis itu juga memesan jus.
Dia tak menduga bahwa seorang pengemis bisa menghabiskan aneka lauk yang lumayan banyak. Setelah dihitung anggarannya hampir lima puluh ribu. Apakah orang ini bisa membayarnya? Mengingat profesinya hanyalah seorang peminta-peminta dipinggir jalan.

Tapi prasangkanya meleset. Dengan entengnya pengemis itu pergi kekasir, dan mengeluarkan uang seribuan yang lumayan banyak. Setelah dihitung genap lima puluh ribu. Bahkan setelah dibayarkan, masih tersisa setumpuk uang ribuan dari kaleng bekas yang ia keluarkan. Benar-benar fantastis! Bagaimana bisa? Iseng-iseng dia pun mendekat untuk mencari tahu.

“Apakah Bapak tidak sayang menghabiskan uang segitu banyak hanya untuk makan? Bagimana kalau besok Bapak tidak punya uang lagi? tanyanya penasaran

“Yah, saya mengemis lagi,” jawabnya enteng sambil berlalu pergi.

Dia hanya bisa geleng-geleng kepala. Semudah itukah?  Dia langsung teringat pada Anak-anak Abak yang begitu mudahnya menghambur-hamburkan uang, tanpa perlu kerja keras. Hanya cukup menadahkan tangan setiap saat pada Abaknya. Pantaslah kalau seseorang yang bisa mendapatkan uang tanpa bersusah payah, akan berpikir untuk menghabiskannya dengan mudah juga. Karena tak pernah merasakan susahnya mencari uang dengan bekerja membanting tulang. Persis dengan yang dilakukan oleh pengemis barusan. Dia semakin miris saja memikirkannya. Itulah sebabnya dia memilih pergi merantau sejauh-jauhnya, karena tak ingin terus-menerus makan hati melihat kelakuan Udanya.

Bukannya dia tak ingin pulang. Bertemu Abak dan Mande di kampung halaman. Dia hanya tak ingin melihat lagi muka Uda Aznan yang kini pengangguran, tapi tak pernah berhenti meminta uang hanya untuk difoya-foyakan bersama teman-temannya. Padahal dulu Abak sudah susah payah menyekolahkannya hingga menjadi sarjana. Fasilitas seperti mobil, handphone blakberry, laptop, juga uang saku yang tidak sedikit selalu dikasih setiap bulannya. Tapi hasilnya? hanya menjadi benalu saja dikeluarga. Benar-benar memalukan!

Belum lagi Uni Etty yang masih suka meminta uang belanja, karena suaminya yang tak berguna itu kerap memilih-milih pekerjaan. Dan ujung-ujungnya setelah menjadi suami pengangguran, Abak dan Mande jua yang disusahkan. Alasannya sih minjam!tapi tak pernah dikembalikan.
Untuk membeli susu anaknyalah! Untuk makan sehari-harilah! Dan yang lebih tak berperasaan lagi meminta uang saban hari buat kebutuhan hidup suaminya yang tidak sedikit. Karena harus merokok dan bolak-balik ngerental ke warnet. Alasannya sih, mencari pekerjaan. Tapi mana buktinya? Berbulan-bulan hanya makan, tidur, dan kewarnet seharian. Entah apa saja yang ia lakukan selama hampir semalaman.

Dia sudah berusaha mengingatkan Abak agar tak terlalu memanjakan anak-anaknya. Siapa lagi kalau bukan Uda Aznan dan Uni Elly. Tapi Abak mengaku sering tidak tega bila tak menuruti keinginan mereka. Dengan alasan kalau dulu Abak pernah menderita semasa kecilnya karena hidup miskin. Dan Abak tak ingin anak-anaknya merasakan penderitaan yang pernah dia alami.
“Biarlah Rusli. Mumpung Abak punya uang. Lagipula buat apa uang kalau anak-anak Abak hidup susah?”
“Tapi cara Abak salah. Harusnya mereka belajar mandiri dengan bekerja! meskipun Abak kaya,” jawabnya sewot.
“Nanti juga Udamu akan Abak ajarkan berdagang,” Abak berkata lembut. Biarkan saja dia sekarang bersenang-senang dulu.”

Kenyataannya, Udanya bukan semakin mandiri, tapi semakin keenakan dengan segala fasilitas yang diberikan Abak. Pernah sih Uda diberi modal untuk berdagang. Tapi uangnya habis, hasil jualannya tak pernah nampak. Setelah itu, selalu memberikan seribu satu alasan bila diajak Abak berdagang. Dia sudah kehabisan kata-kata melihat tingkah laku Udanya itu. Belum lagi Uni Etty yang masih bergantung pada orangtua dari segi keuangan, meskipun sudah menikah.Tak tahan lagi, dia pun segera angkat kaki dari rumah. Dan memilih bekerja di Ibukota. Sampai akhirnya dia diterima bekerja di restoran.

 Sudah cukup lama dia bekerja direstoran besar ini. Mulanya dia ditraining sebagai tukang cuci piring selama tiga bulan. Lalu meningkat sebagai pelayan yang menyiapkan pesanan dimeja makan, juga yang dibungkus. Dan sekarang tugasnya lebih berat lagi yaitu sebagai tukang masak utama. Dialah kunci dari larisnya restoran padang ini. Bila dia sembarangan mengolah masakannya, maka rasa yang didapat tak dapat memuaskan selera para pelanggan. Hasil masakannya harus mendekati sempurna, lewat resep turun-temurun si pemiliknya.

Dari gaji yang ia terima, dia bisa menghidupi dirinya sendiri. Lebih baik begini, daripada dia harus tinggal dirumahnya yang mewah, yang dengan mudahnya menikmati hidup enak tanpa harus bekerja.  Apalagi sampai mengemis harta kekayaan keluarganya. Seperti yang dilakukan saudara-saudaranya.
Dengan tekat kuat, dia memutuskan untuk pergi dari rumahnya yang menurutnya begitu nyaman bagi para pemalas. Dan menghilangkan rasa gengsinya untuk bekerja apa saja yang penting bisa hidup diatas kakinya sendiri. Dia lebih bangga dipandang sebagai pelayan yang bisa hidup mandiri, daripada sebagai anak orang kaya yang hanya bisa menggerogoti harta orangtuanya.

 Dia hanya butuh kerja keras dalam hidupnya, agar dia bisa bernafas dengan hati yang lebih damai dan tenang meski uang yang ia terima tak seberapa. Daripada sibuk menghitung jatah warisan, dan memilih ribut untuk mendapatkannya. Yang terpenting, dia memiliki Goal yang jelas dalam hidupnya. Hingga berusaha mencari Resolusi yang tepat untuk planning hidup ke depannya.

Yah…suatu saat, dia ingin memiliki usaha rumah makan sendiri, dengan banyaknya cabang dimana-mana. Dan dia tak akan berhenti menimba ilmu sebanyak-banyaknya dari pekerjaan yang ia tekuni sekarang. Karena niat awalnya tak ingin menyusahkan keluarganya dengan mengeluarkan sejumlah modal bagi cita-citanya untuk berwirausaha. Meski berapapun jumlah yang ia minta orangtuanya bisa menyanggupinya, dengan harta berlimpah yang mereka miliki.

Tapi dia merasa lebih terhormat bila modal itu ia peroleh dari setiap tetes keringatnya sendiri. Lebih tepatnya, dia tak ingin dicap sebagai orang yang bermental pengemis! Yang hanya mampu menadahkan tangan kebawah daripada selamanya berada diatas. Sebuah prilaku yang sangat rendah dan hina menurutnya.
“Apalagi yang telah Uda lakukan Mande? Hingga Abak kembali terkena serangan jantung,” aku bertanya penuh sesal didada, saat sudah berada dirumah sakit. Abaklah yang menjadi alasannya untuk kembali pulang. Setelah tiga tahun lamanya.
“Beberapa hari yang lalu, Udamu memaksa Abak memberikan jatah warisan padanya, karena dirinya terlibat hutang ratusan juta pada temannya. Dan Abak kau marah besar mendengarnya, hingga jatuh semaput karena shok.”
“Benar-benar tak tahu diri si Uda. Abak belum mati saja dia sudah mengincar harta warisannya.” Dia mengepalkan tangannya dengan kencang. Giginya bergemeretuk menahan emosinya yang membeludak. Dan, tembok didepannya menjadi sasaran kemarahannya.
“Apa yang kamu lakukan Rusli? Lihat tangannmu sampai berdarah! Mande tak mau jatuh korban lagi Nak,” Mande menangis sambil memeluknya yang masih berdiri dengan mata memerah, bak banteng yang siap menubruk lawan didepannya.

Tak lama kemudian, seorang dokter paruh baya keluar dari ruang ICU
“Bagaimana dengan Abak saya dok? Apakah dia berhasil melewati masa kritisnya?”
“Saya harap kalian bisa tabah mendengarnya. Abak kalian tak mampu bertahan. Akhirnya, dia dipanggil Tuhan.” Ruslipun segera berlari ke kamar.

Sontak Rusli meraung-raung di depan jenazah Abak. Mande pun menangis pilu disampingnya. Sementara Uda Aznan hanya diam terpaku. Tak lama Uni datang dan menangis histeris sambil memeluk jenazah Abak. Dia tak tahu pasti apa arti tangisan Uninya. Apakah tangis penyesalan atau tangis buatan. Karena tak lama setelah Abak dimakamkan, wajah Uni dan Udanya tak tampak seperti orang yang sedang dirundung duka. Dia sendiri tak sanggup menelan makanan ke mulutnya. Setiap malam dia hanya duduk sambil menatap foto Abak. Maafkan Rusli Bak. Karena belum bisa membahagiakan Abak.Dalam hati dia menangis pedih.
Tak ingin berlama-lama dirumah, dia memutuskan kembali ke Jakarta. Meski Mande meminta dia untuk tidak pergi, tapi tekadnya sudah bulat. Dia tak ingin lebih lama lagi berada dirumah ini. Dia pun mempersiapkan baju yang akan dibawa besok.

Tiba-tiba Uda Aznan masuk kedalam kamarnya.
“Buat apa buru-buru balik Rusli. Kamu kan sudah lama tidak pulang. Belum lepas rindu kami padamu.”
“Rusli sudah tidak punya urusan lagi dirumah ini!” jawabnya ketus
“Kamu masih punya urusan untuk menandatangani surat warisan Rusli, agar segera bisa dibagi rata,” Uda Aznan memberikan sebuah surat bermaterai padanya. Tapi dia tak tertarik membaca isinya lebih lanjut.
Sekali lagi darahnya mendidih mendengar ucapan Udanya yang gila harta. Benar-benar tak punya hati. Belum juga kering kuburan Abak, sudah sibuk mau bagi-bagi harta peninggalan yang memang tidak sedikit. Mulai dari beberapa hektar tanah,  tiga buah rumah yang cukup besar, juga beberapa buah mobil.

“Asal Uda tahu, sedikitpun Rusli tidak tertarik dengan harta warisan peninggalan Abak, sebab Rusli bisa hidup dengan bekerja. Tidak ongkang-ongkang kaki seperti Uda! Lagipula, Mande kan masih hidup? pikirkan baik baik Da? Dimana Mande akan tinggal kalau semua harta Abak langsung dijual dan dibagi-bagikan!”
“Mande kan bisa ikut kamu. Gak masalahkan?”
“Kalau begitu, buang jauh-jauh dari otak Uda kalau Rusli akan menandatangani surat wasiat itu.”
“Berlagak sekali kau Rusli! Mentang-mentang sudah punya kerjaan di kota metropolitan. Tapi, apa cukup? Paling-paling hanya lepas buat makan . Mana bisa punya rumah dan mobil yang bagus kayak disini,” Uda Aznan mencibir.
“Akan Rusli buktikan! Sekarang sebaiknya Uda segera keluar dari kamar ini, karena Rusli mau istirahat!” Dia berkata sambil merebahkan badannya diatas kasur. Sementara Uda Aznan keluar dari kamar sambil menggerutu. Dan Rusli tersenyun puas karena bisa mengalahkan keserakahan Udanya. Tekadnya untuk segera pergi pun semakin bulat. Suatu hari, dia akan kembali kerumah ini setelah menjadi seorang saudagar yang kaya raya, tanpa perlu meminta-minta harta dari orang tua.

*Cerpen ini terpilih dalam 12 Cerpen Pilihan Annida Online

No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung ke blog BaW. Mohon kritik dan komentar yang membangun untuk setiap postingan ;)