Friday, July 26, 2013

[Cerpen] Mawar-Mawar Adzkiya

Mawar-mawar Adzkiya
Afifah Afra

Wajah itu sumringah saat langkahku memasuki pintu pagar kebun mawarnya. Ya, kebun mawar. Jangan bayangkan sebagai hamparan lembah penuh kuntum-kuntum yang meliuk atraktif dengan julangan gunung Ungaran sebagai lattar alaminya. Jangan pula digambarkan sebagai padang yang menyirat tembang di siang lengang, dimana ratusan tangkai ikut bernyanyi bersama beban-beban yang disangga bangga, yakni kelopak-kelopak itu.

Kebun itu hanya sepetak tanah tersisa dari bangunan semi permanen tipe dua satu yang kutempati bersamanya. Berpagar potongan bambu yang telah lapuk di sana-sini. Tampak menarik, karena pot-pot yang berjajar rapi, menciptakan melankolisme tersendiri. Ada getar kasih disana, terimbas oleh pengetahuan sangat mendalam pada diri ini atas gejolak hati sang pemiliknya, Adzkiya. Ia mengumpulkan pohon-pohon mawar liar yang bertumbuhan di padang-padang rumput kaki gunung Ungaran, lantas menumbuhkannya dengan sepasang mata berbinar dalam pot-pot mungil yang ia buat sendiri dengan tanah liat di belakang rumah kami. Bumi tembalang yang gersang sebenarnya tidak sesuai untuk ia abadikan sebagai persemaian mawar-mawarnya. Kegigihan luar biasalah yang membuat mawar-mawar itu tumbuh dengan cantiknya.

“Bunga itu indah, ya Paman?”
Suara polos Adzkia tidak meluangkan waktuku untuk berpikir dalam. Berbagai logika praktis yang mencekoki sekian cc kapasitas otakku selama ini, membuatku tak mampu terburai dalam romantisme berkepanjangan. Ya, bunga memang indah. Sebagian dari kemejaku bergambar bunga. Gordin usang yang menjadi hijab, pembatas jendela kamar di rumah kecil yang kudiami bersamanya pun bermotif bunga. Bunga itu indah, apa anehnya?
“Sekuntum bunga yang diberikan dengan penuh keikhalasan, akan melahirkan makna yang mendalam. Bukankah begitu?”
Jika ucapan Yaya-demikian aku memanggil kemenakanku yang yatim piatu itu- tidak berbekas di benak, itu karena letih terlalu mendominasi hari-hariku. Ungkap filosofis itu sebenarnya menghentak. Apalagi pelantunnya adalah bocah usia 10 tahun yang ringkih dan berpenyakitan. Yang tiap hari lekat dengan buku pelajaran, mawar dan…ah, itu dia…koran pagi. Dua jenis koran pagi! Barangkali itu yang menjadikan impuls dalam otaknya hingga ia bisa berpikir sedalam itu.

Koran pagi, bukan kolom anak atau remaja yang ia lahap, sama sekali bukan. Tajuk rencana dan segenap kolom editorial, bayangkan! Aku bahkan pernah berfikir, barangkali kejuvenilan tidak sempat mampir dalam jiwa yang kian hari kian sarat perenungan itu. Sering kulihat ia tengah menekuri ulasan politik William Liddle, prediksi ekonomi Anggito Abimanyu ataupun berita-berita dunia mutakhir yang aku sendiri malas membacanya. Lantas seribu satu ulasan menghambur. Mirip gaya Eep Saefullah Fatah, atau Marwah Daud Ibrahim. Apapun, yang jelas ia lebih mengenal hingar bingar dunia luar dibanding aku, Adhi Permana, mahasiswa kuper yang hanya kenal text book, laboratorium dan bengkel tempat mencari sesuap nasi.
“Paman, untuk apa sih, para mahasiswa turun ke jalan?” pernah suatu hari ia bertanya.
“Mmm, mau wawancara sama sopir kali…” jawabku santai. Aku memang tak tahu apa-apa tentang dunia mutakhir, meskipun aku sendiri seorang mahasiswa.
“Bukan Paman, mereka itu berdemo. Ada kelompok kiri yang meminta Golkar dibubarkan, lantas penjahat Orde Baru diadili. O,ya…bukan hanya golongan kiri, golongan kanan juga. Golongan kanan dan kiri itu apasih, Paman?”
“Kiri itu…bla..bla..bla, kanan itu…bla…bla…bla,” aku menjawab seadanya, tentu saja setahuku.
“Terus, resolusi jihad itu? NU dan Muhamadiyah kan sama-sama Islam. Katanya ummat Islam itu bersaudara, kok kayak mau perang saja. Mending mereka berangkat ke Palestina saja, Paman. Di sana jelas, musuhnya…Yahudi Israel. Daripada perang sendiri. Eh, sekarang partai-partai juga banyak yang pecah, kenapa Paman?”
Ia kritis, itu jelas. Guru-gurunya di SD Srondol sering dibuat kewalahan.
“Paman, kalau aku jadi pak Amin Rais, aku akan berkunjung ke rumah pak Gus Dur, membawa setangkai mawar.”
“O,ya?” aku tersenyum geli. “Entar baru masuk gerbang sudah ditembak banser.”
“Kok suudzon, sih…Itulah, kenapa Indonesia nggak damai-damai. Soalnya orang-orangnya sudah saling berburuk sangka. Padahal, kata Ustadz Anwar, tidak suudzon itu tingkat ukhuwah terendah. Kalau itu saja nggak punya, berarti ukhuwah nggak ada…” kembali orasi politiknya menghantam mental ‘kuli’ku. Sayang bocah secerdas itu harus terpurukkan oleh leukimia. 

Ah, Yaya…bisakah bening hatimu memahami ambisi yang bergejolak di hati orang-orang dewasa? Namun itulah uniknya, setiap Yaya selesai melahap koran pagi, sementara aku lebih asyik dengan nasi goreng dan kopi panas, selalu saja kesimpulan yang ambil dikaitkan dengan mawar.
“Mestinya GAM menanam mawar di depan rumahnya…”
Atau juga…
“Apa susahnya sih, mengganti senapan dengan mawar. Satu buah senapan kan bisa lebih mahal daripada sehektar mawar.”

“Kenapa harus dengan mawar, Ya?” akhirnya aku iseng bertanya.
“Karena bagi Yaya, mawar adalah ekspresi kasih, Paman…” jawabnya, “masa ada orang yang tega menyakiti seseorang yang memberikan kasihnya.”
Ya, aku sepakat. Tiga tahun berturut-turut, hari ulang tahunku selalu ia semarakan dengan tangkai-tangkai mawar. Say it with rose…ekspresi batin itu terasa semakin mendalam setelah kusadari, kuntum itu adalah kuntum terindah dari komunitas mawar yang mendominasi kebun mini gadis kecilku itu.
“Apakah semua harus diekspresikan dengan kasih, dengan damai?” aku menguji kedalaman analisanya.
“Jika ada yang tidak bisa diselesaikan dengan kasih, itu adalah persengketaan di Palestina, Paman. Tidak ada mawar untuk bangsa Yahudi. Mawar Adzkia haram untuknya. Yaya hanya mau mengirim untuk para mujahidin Palestina.”
Aku terhenyak, namun kembali tercenung, menatap hamparan mawar yang kuntumnya mengangguk-angguk di terpa angin.
Kebun mini itu telah menjadi kesatuan yang tak terpisahkan dari ujud Yaya. Setelah keceriannya terengut leukimia, dia menjelma menjadi sosok terasing, beruzlah dengan mawar-mawarnya. Yaya keseharian adalah kesunyian yang panjang. Sering kuperhatikan, keanggunan melankolisnya terbuncah bersama tarian jemari kurusnya di atas lembaran-lembaran mahkota yang kemerahan… Bersama senyum tipis dan bundar bola mata bening saat merawatnya. Mawar-mawar yang ditanam sejak kedua orang tuanya masih hidup, seakan memberikan berjuta pesona baru pada gairah jiwanya. Allah sedemikian kasih, menumbuhkan mawar-mawar itu menjadi rumpun yang mempesona.
“Seandainya dunia dipenuhi mawar, Paman…alangkah bahagianya hati manusia. Jika Yaya sehat, Yaya ingin mendamaikan dunia dengan mawar-mawar ini.”

Ya, Adzkiya sangat menyayangi mawar-mawar itu. Jika ia memberikan sekuntum dua kuntum mawar kepada seseorang, berarti impuls yang luar biasa telah menstimulan hatinya. Karena itu, aku dibuat terpana, ketika sepulang kerja, di ujung hari yang pepat,gadis kecil yatim piatu itu menghadang di pintu. Di tangan mungilnya ada keranjang, penuh bunga mawar. Barangkali ia telah memetik habis seluruh bunga di kebunnya. Apa yang terjadi?
“Paman, sayang kantor pos jauh dari rumah kita, ya… juga dari sekolah Yaya.”
“Memangnya kenapa, sayang?” kuelus jilbab putihnya.
“Paman mau nolongin Yaya?”
“Tentu,” kutatap mawar-mawar itu. “Mau kau apakan? Kau jual?”
Ia menggeleng, polos.
“Akan Yaya kirim. Ke Aceh.”
“Where?” aku angkat alis sebelah. Aceh? Apakah aku tidak salah dengar?
“Untuk Tuan Hasan Tiro, Tuan Husaini dan para pemimpin gerakan Aceh Merdeka.”
Apa?! Kutatap mata polos itu. Tak ada nada bergurau. Buru-buru aku tersadar, dia bukan anak kecil biasa. Untaian kata-katanya mengkiyas makna mendalam, barangkali dilambari indera ke-enam. Kedewasaannya melukis damai, muara perenungan panjang. Leukimia, penyakit yang diderita sejak lama, mengkolaborasi pencariannya.
Ia bukan anak kecil biasa, barangkali ungkapan itu perlu kutekankan. Ia melankolis, pemikir sejati. Setumpuk buku bacaan, koran-koran, serta majalah yang ia beli dengan uang jajannya, menjadi sumber yang shahih tentang analisa cerdasnya.

“Yaya tidak bisa berbuat apa-apa selain mengirim mawar-mawar ini, Paman. Barangkali, mawar yang Yaya berikan dengan ikhlas, akan menyadarkan mereka bahwa kita semua saudara.”
“Paman tidak tahu alamat mereka, Sayang…” kuacak kerudungnya, lembut. Sungguh, aku tidak akan tega menertawakannya, meski rasa geli itu muncul menggelitik.
“Kirimkan saja ke gubernur Aceh, Paman.”
Gubernur Aceh? Senyumku tak tertahan. Tetapi aku tidak mau berdebat. Wajah innocent itu terlalu sayu untuk kuantarkan pada perdebatan. Vonis dokter bahwa usiannya tinggal 1-2 tahun lagi membuat aku berjanji untuk sebisa mungkin tidak mengecewakannya. Mawar-mawar itupun kubungkus dengan hati-hati. Kebetulan bengkelku tempat bekerja berdekatan dengan kantor pos.

Paket itupun kubawa ke bengkel, meski hanya tergeletak di locker. Aku lupa mengirimnya. Memoriku tertelan oleh nuansa kerja yang super padat berbaur aktivitas perkuliahanku di semester akhir sebuah PTN favorit. Sampai suatu malam, ketika Yaya memasuki kamarku, aku mendapati sepasang mata itu memvonis kejam sekujur persendianku.
“Paman, kenapa konflik di Aceh tidak kunjung reda? Apakah mawar yang Yaya kirimkan tidak dipedulikan oleh mereka? Atau Yaya kurang ikhlas memberinya?”

Aku tersentak dari kealpaan. Esoknya kulihat, paket itu masih tergeletak di sudut locker. Kuntum-kuntumnya telah mengering, terpaksa aku urung mengirimkannya, meski dengan perasaan berdosa. Sengaja aku tidak memberi tahu gadis kecil itu. Penyakit yang ia derita tak memungkinkan ia untuk kuat menerima goncangan.
Peristiwa itupun berlalu, dengan cepat aku melupakannya. Namun episode itu ternyata telah ditakdirkan untuk tergores kembali. Suatu sore, Yaya kembali menyambutku dengan keranjang penuh mawar di tangan.
“Kali ini untuk Bapak-bapak pejuang bintang Kejora di tanah Papua. Paman bersedia mengirimnya bukan?”
Seperti yang lalu, aku terpana.
“Maksudmu, para perusuh itu?”
“Bukan perusuh, Paman… mereka itu orang-orang yang tidak mendapatkan cinta kasih. Orang yang memiliki cinta, pasti tidak akan mau menyakiti orang lain. Seperti Yaya sayaaaang banget sama Paman, maka Yaya tidak akan nyakitin Paman. Karena itu, Yaya mau ngasih bunga ini. Yaya sayang mereka semua. Bukankah kita itu bersaudara, Paman…”
Kuambil sekuntum mawar, harum. Ada puisi sederhana di secarik kertas yang terselip di antara kuntum-kuntum itu.

Bintang kejora itu indah, Bapak…
Tetapi persaudaraan lebih indah.
Bintang kejora itu cemerlang, Bapak…
Tetapi kasih itu lebih cemerlang.
Dari saya : Adzkiya Amatullah

Tubuh kurus itu basah oleh air mataku ketika kudekap erat-erat. Gadis kecilku, siapakah kau sebenarnya? Terbuat dari apa sebentuk hati milikmu?
Bunga mawar itupun kembali kubungkus rapi untuk kubawa ke bengkel. Maafkan Pamanmu yang tolol ini karena sempat lupa dengan paket pertama, Yaya.
Namun sesampai di bengkel, setumpuk pekerjaan menyambutku. Terpaksa paket itu kusimpan untuk sementara di loker, dan kembali, aku terlena. Terlupa. Dua bulan berikutnya, ketika ia menyambutku dengan keranjang mawar ketiga, baru aku menyadari ketidak amanahanku. Mawar itu masih di loker.
“Paman, mawar-mawar ini tidak ada artinya kalau tetap melekat pada tangkainya. Meskipun bapak-bapak di Aceh dan Papua tidak terpengaruh oleh kiriman mawar Yaya, Yaya nggak peduli. Yang penting Yaya sudah mengungkapkan rasa sayang Yaya…” ia tersenyum, agung. Aku kembali merasa tervonis, seperti narapidana.

“Sekarang Paman…mawar-mawar ini tolong kirimkan pada Bapak-bapak di Ambon. Paman tidak marah, kan…Yaya repotin terus?”
Justru kamu yang seharusnya marah pada Paman, sayang…kuacak poni rambutnya, lembut…Maafkan Paman, Yaya…
“Seandainya Yaya punya uang, Yaya akan datang ke sana. Ngomong sama Bapak-bapak, Ibu-ibu, Kakak-kakak disana supaya damai saja…” ia tersenyum, manis sekali, “perang hanya akan membuat anak-anak kehilangan para ayah. Sedang Yaya merasakan, tidak memiliki ayah dan ibu itu…”
Entah apa yang mampu menggambarkan perasaanku saat itu. Paket mawar ketiga! Aku tidak boleh lupa. Tidak boleh!
* * *
Pukul 12.30 alhamdulillah, sudah selesai salat zuhur. Aku bermaksud menghabiskan waktu istirahat dengan mengeposkan paket mawar Adzkiya ketika telepon di bengkel berdering.
“Bapak Adhi Permana? Ini guru sekolah Adzkiya…”
“Oh, ya…Yaya kenapa?”
“Ia pingsan. Sekarang di rumah sakit.”
Yaya pingsan? Ya Rabbi…Aku shock. Mawar itu kuletakkan begitu saja di loker. Setelah berpamitan dengan teman sebengkel, termasuk ijin pada atasan, bergegas aku ke rumah sakit.
Ruang kelas dua Rumah Sakit Islam Roemani, mendadak terasa suram ketika kutemukan gadis itu terbaring dengan wajah pias. Mengusir pandang cemas sosok-sosok berseragam merah putih, teman-teman Yaya, yang dengan segenap perhatian mengantar bidadariku itu. Adzkiya, ia tersenyum lembut.
“Paman, apakah mereka sudah menerima mawar-mawarku?” ia menggenggam tanganku erat-erat, seakan tak mau lepas. Kurasakan pendar haru bertalu-talu. Satu-satunya yang kumiliki, setelah kedua orang tua, saudara semata wayang-ayah Yaya- dan kakak ipar-ibu Yaya-Kau ambil dari sisiku, haruskah iapun menyusul, ya Rahmaaan…
“Yaaa…mungkin saja…”ucapanku mengambang.
“Tetapi kenapa mereka masih saja berperang?”
“Barangkali saja, mereka sukanya memang begitu…”

“Suka berperang, Paman? Ada orang yang lebih suka berperang daripada bersaudara?”
Ah, Yaya…kekomplekan hidup para manusia dewasa, sudahkah menghinggapi perenungan-perenungan dalam hari-hari sunyimu? Maafkan aku yang selama ini membiarkan kau sendiri. Aktivitasku yang padat memaksaku lebih banyak di luar. Yah, tuntutan hidup yang semakin berat, membuat aku harus giat. Biaya hidup, kuliahku, sekolah, pengobatan dan check up Yaya…bukan jumlah sedikit.

“Sudahlah Yaya, tidak usah berpikir tentang hal itu. Itu bukan urusan anak kecil seperti kamu…”
“Yaya hanya ingin melihat mereka berdamai. Damai itu indah ya, Paman… Meski Yaya cuma baca dari koran dan nonton TV, Yaya bisa membayangkan, bagaimana hidup mereka. Yaya sedih. Jika perang itu terjadi di sini dan Paman Adhi terbunuh, Yaya akan ikut siapa…?” ia menangis tersedu-sedu, “Yaya sudah merasakan, bagaimana ketikda orangtua Yaya meninggal…”

“Yaya, kamu sedang sakit, Sayang…jangan berpikir macam-macam.”
“Sakit Yaya tidak seberapa, Paman. Di Aceh, Ambon…kata Ustadz Anwar, guru ngaji Yaya di TPA, banyak orang dipenggal kepalanya. Ada adik bayi diambil paksa dari perut ibunya. Dibelah dengan parang. Kayak kelapa saja, hiiyy…seram!”
“Iya, tetapi itu bukan urusan anak kecil. Itu urusan orang dewasa…”
“Termasuk Paman juga? Paman kan sudah dewasa?”
Pertanyaan itu polos, namun aku benar-benar tertohok. Gadis kecil itu memaksaku untuk mengadili diri sendiri, atas ketidak acuhanku pada masalah demi masalah yang menimpa ummat. Aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri. Faghfirlii ya Ghofar…

“Paman, mawar-mawar di kebun sudah mulai berbunga. Jika kuncupnya telah mekar dan Yaya masih sakit, tolong Paman petik, ya…Terus dibagi empat.”
“Empat? Untuk siapa saja?”
“Buat Bapak Amin Rais, Ibu Megawati, Bapak Akbar Tanjung dan Bapak Abdurahman Wahid. Tuliskan ya…Yaya sayaaang mereka. Yaya sedih ngeliat mereka bertikai terus menerus…”
Aku terpana, menatap senyum yang tersungging tulus di belahan bibir mungilnya, yang ditegaskan dengan pancaran bening bola mata itu. 

“Satu lagi, Paman…buat para mujahidin yang sedang berjihad di Palestina. Tetapi ingat, tidak ada mawar untuk Yahudi. Mereka bangsa yang hina…”
Pertahananku bobol. Aku, Adhi Permana yang tegar dalam kesebatangkaraan, yang tidak memiliki siapa-siapa lagi kecuali gadis kecil berhati malaikat itu, menangis tersedu-sedu. Dadaku dipenuhi haru.
* * *

Gerimis di sore hari. Keteduhan membayangi onggokan raksasa bernama gunung Ungaran dengan padang-padang penuh bunga liarnya. Kesejukan yang ada semakin menjadi bersama tetes-tetes yang mulai membasahi kemeja putihku.
Kuselipkan setangkai mawar di balik nisan. Gundukan tanah merah itu, kini merekah basah. Bagian atasnya tertutup bunga-bunga mawar kering (dari tiga paket mawar di loker bengkel). Adzkiya Amatullah, gadis kecilku telah pergi. Dunia yang penuh manusia-manusia serigala terlalu buas untuk menjadi tempat tinggalnya. Padang pasir kehidupan terlalu gersang untuk tenaga bening hatinya. Dan raga itu, terlalu mulia untuk menjadi sarang leukimia.

Selamat tinggal gadis kecilku…Besok pagi-pagi, kapal yang akan membawaku ke Maluku akan berlabuh dari pelabuhan Tanjung Emas. Bening hatinya telah menginspirasikan azzam, semakin menguat. Bumi yang ingin ia damaikan dengan mawar-mawarnya semakin dipenuhi dendam. Aku akan bertindak. Ya, aku akan menjadi relawan yang mengurusi korban kerusuhan di Ambon. Kerusuhan belum juga mereda. Dengan kesebatangkaraan ini, barangkali aku akan lebih berarti jika ada di sana.

Sebelumnya, aku telah membeli tiga paket mawar untuk mengganti paket-paket yang mengering. Ditambah dua paket lagi untuk pemimpin masyarakat Halmahera dan Sampit, atas nama gadis kecilku, Adzkiya Amatullah yang kini telah pergi.

Ia telah mengajariku berjuta makna.
Semarang, 22 Maret 2001

No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung ke blog BaW. Mohon kritik dan komentar yang membangun untuk setiap postingan ;)