Menulis Buruk Lebih Baik daripada Tidak Menulis Sama Sekali!
Kalimat di atas diucapkan oleh AS Laksana. Mungkin
sebagian dari Anda telah mengenalnya. Beliau termasuk ke dalam jajaran
sastrawan Indonesia. Seorang penulis pasti pernah mengalami writers block, atau
kemandegan menulis. Penyebabnya bermacam-macam. Akibatnya kita jadi tidak bisa
menulis. Salah satu penyebab writers
block adalah standar yang ingin dicapai.
Saking kita ingin mendapatkan penghargaan dalam menulis, kita menetapkan
standar tinggi untuk tulisan kita. Segala teori menulis dijadikan acuan. Bagi
saya pribadi, standar yang ingin saya capai adalah menggunakan diksi-diksi yang
“tinggi” dan dapat melukiskan setting novel di tempat-tempat tak terjangkau
atau daerah-daerah yang belum pernah saya kunjungi. Itu membuat proses menulis
menjadi lebih lambat, karena saya memang jarang bepergian ke tempat jauh,
bahkan tidak punya passport. Lho, kan ada google? Googling saja! Iya, memang
bisa pakai google, tapi tetap saja sensasinya berbeda dibandingkan datang ke
tempatnya langsung. Dan sudah tentu jadinya lebih lambat untuk menceritakannya.
Penulis lain juga mempunyai standar sendiri. Mungkin ada yang ingin tulisannya puitis, mengandung
quotes-quotes yang membekas di benak pembaca, dan lain sebagainya. Sehingga untuk memikirkan satu quotes saja butuh waktu berhari-hari. Tanpa kita sadari, standar yang kita tetapkan itu membuat kita takut menulis. Kita takut tulisan kita jelek, tidak laku, mendapatkan kritik yang menjatuhkan, dan lain sebagainya. Ada juga yang belum menulis sudah memikirkan penerbit mana yang mau menerima tulisannya. Bagaimana kalau tidak ada penerbit yang mau? Bisa-bisa
laptopnya mati duluan karena Pemadaman Listrik, sebelum sempat mengetik sepatah kata pun. Tidak sedikit penulis yang akhirnya gantung pena, karena terjebak ke dalam writers block.
Sementara itu, waktu terus merambat, usia semakin menua, dan kita dihadapkan oleh deadline dari Yang Kuasa. Mau sampai kapan kita terjebak ke dalam writers block?
Menurut AS Laksana yang seorang sastrawan, lebih baik kita menulis dengan buruk (tidak sesuai dengan teori menulis atau tidak sesuai dengan standar yang kita tetapkan) daripada tidak menulis sama sekali. Tulislah apa saja yang ada di pikiran kita. Tidak dimuat media? Kan ada blog. Kita bisa memposting tulisan di blog tanpa melalui seleksi siapa-siapa. Toh, seleksi yang dilakukan editor atau penerbit juga tak bisa lepas dari penilaian subyektif mereka. Tulis saja dengan bahasa sehari-hari, tidak perlu menggunakan diksi yang susah-susah. Tulis saja, pokoknya tulis saja. Sebab, penulis yang gagal bukanlah penulis yang karyanya jeblok di pasaran, tetapi penulis yang TIDAK PERNAH MENULIS atau BERHENTI MENULIS.
Nah, uraian saya di atas menjawab pergulatan batin saya juga, yang akhir-akhir ini lebih banyak menulis untuk lomba blog daripada menulis buku atau novel, xixixixi…. Sebenarnya, setiap selesai menulis untuk lomba blog dan menutup komputer yang sudah hang, saya selalu memberikan janji. “Besok, kalau bisa buka komputer lagi, aku harus nulis novel minimal dua halaman…” Sayangnya, janji itu tak pernah ditepati. Ya, mau bagaimana? Tiba-tiba passion saya berubah, dari menulis novel ke menulis di blog. Saya menemukan gairah yang tinggi saat menulis di blog dan merasakan penurunan gairah dalam menulis novel. Mungkin saya memang harus rehat dulu menulis novel.
Itu pula yang membuat saya bersyukur, bahwa saya ditakdirkan menjadi
penulis tanpa genre. Begitu bosan dengan genre yang satu, bisa pindah ke genre
yang lain. Pilih mana, tidak menulis sama sekali atau menulis apa saja? Paling
tidak, dengan menulis apa saja dapat mempertahankan konsistensi saya dalam
menulis. Daripada saya sembunyi di gua dan menonaktifkan komputer sampai mood-nya datang lagi.
Mati suri, lebih baik saya manfaatkan peluang menulis apa pun yang saya bisa.
Dan pada akhirnya, saya melanggar janji lagi untuk menulis novel dengan menulis
catatan kecil ini
07 Januari 2012
a nice quote, sist ^_^
ReplyDeletekalau ingin jadi koki ya memasak, memasak, dan memasak
ReplyDeletekalau ingin jadi tukang roti ya mengadon, mengadon dan mengadon
kalu ingin jadi penulis yang belajar, berlatih dan terus menulis apa saja yang ada di pikiran dan sekitar kita.
so, menulislah!
Terimakasih sharing ilmunya.
ReplyDeleteAah... terasa disentil dengan tulisan ini. Iya, aku terus berjanji akan melanjutkan menulis novelku, tapi belum beres-beres :P. Xixix... Ok, I will move on ^_^.
ReplyDeletesuntikan semangat yang cerdas mbak, thanks before yak
ReplyDeleteqoutenya ngena banget :)
ReplyDeleteJadi semangat menulis lagi,latihan terus meski belum bagus tulisannya hehehe
ReplyDeletewah oke nih postingan yang sarat motivasi utk menulis. wlwpun buruk, kalo terus berusaha lama2 mjd lebih baik :)
ReplyDeletepertama kali saya baca cathar ini dari postingan blog tante leyla...
ReplyDeletemembuat saya yakin... menulis buruk lebih baik drpd gak sama sekali... itulah yang saya lakukan skrg, melawan rasa minder dan mencoba mulai rajin update blog dan memperbaiki kualitas tulisan :)
Wah, terimakasih sekali... tulisan di atas menyemangati aku.
ReplyDeleteSoalnya aku sering merasa tulisanku tuh biasa2 aja (ogah disebut jelek soalnya hahaha).
Tapi sejauh ini aku masih nekad aja nulis... tapi sebatas tulisan di blog.
Aku belum ada kemampuan utk menulis buku soalnya :) #jujur
postingan paling oke buat yang minder sama tulisannya yang kurang kurang baik, termasuk aku. jadi semangat lagi deh XOXO :D
ReplyDeleteizin share yah mbak :)
ReplyDeleteoke, writers block ya ini namanya :l (speechless)
ReplyDeleteAaaaah...gue banget inih Mbak T.T
ReplyDeletenice statement
ReplyDelete