Sumber [link] |
Judul
: “Rinai”
Penulis : Sinta Yudisia
Penerbit : Indiva
Media Kreasi
Tahun
: 2012
Komposisi : 400 hlm; 20 cm
“Ilmu pengetahuan selalu mempunyai guru, di samping mempunyai prajurit sebagai penjaga. Sebagaimana psikologi merupakan anak kandung dari ilmu filsafat, para penjaga ilmu jiwa, beragam alirannya.” (hal.62)
“Ibnu Khaldun seorang ulama, ia bukan hanya peneliti. Tiap kali merumuskan bab demi bab, ia senantiasa menukil ayat Al Qur’an dan Hadist. Tidakkah selama di Gaza, Rinai melihat betapa Al Qur’an adalah kartasis hebat bagi jiwa yang sakit? Ibnu Khaldun mengobati dirinya sendiri sebelum ia mengeluarkan rangkaian obat bagi masyarakat. Rinai tahu, banyak orang tak akan semudah itu percaya pada Ibnu Khaldun. Sebab ilmunya terkubur bersama kaum muslimin yang menguburkan sikap ilmiahnya, menimbunnya dalam pertikaian dan kecintaan pada dunia, serta penghambaan pada ilmu bangsa lain yang belum tentu benarnya.” (hal.323)
Beberapa kali saya sempat
terpukau oleh deskripsi penulis untuk menyisipkan wawasan di novel ini. Meski
awalnya saya terjebak oleh sudut pandang cerita yang melompat, yakni dari sudut
pandang orang pertama berganti haluan menjadi ketiga. Perjalanan alur cerita
menjadi bersahaja ketika dijelaskan karakteristik budaya Indonesia dan Palestina
secara bergantian. Novel ini cukup mengungkap rahasia anak-anak dan wanita Gaza
dalam medan pertempuran. Seolah-olah Anda diajak penulis untuk menyelami
kehidupan mereka, merasakan kepahitan dan kebangkitan emosi.
Jangan harap menemukan
kisah picisan dalam novel ini. Ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dalam
memaknai sebuah cinta. Tentang bunga-bunga cinta yang tumbuh mekar dan mewangi
meski tak harus memiliki. Ada konflik batin yang menurut saya belum berakhir
sampai epilog cerita. Hal ini menimbulkan rasa penasaran untuk membaca kisah
selanjutnya.
Rinai.
Sebuah novel fiksi yang
patut untuk diapresiasi kepada penulis Sinta Yudisia berdasarkan inspirasi jejak
rekamannya di bumi Gaza pada tahun 2010 silam. Yap. Sebuah perjalanan ke
manapun itu bisa menjadi sumber cerita yang penuh hikmah dan manis tatkala
diabadikan oleh pena.
Alhamdulillah, novel ini
dikhatamkan menjelang pergantian tahun masehi dengan secercah harapan; ‘Setiap
orang pasti memiliki potensi untuk dikembangkan. Kebiasaan untuk menulis secara
berkesinambungan adalah sebuah ikhtiar untuk menjadikan diri semakin produkif. Mari,
hasilkan karya positif untuk negeri tercinta. Apapun itu bentuknya :)”
30 Safar 1434 H
Resensinya berhasil menggelitikku utk membaca langsung bukunya deh. Jadi penasaran... :D
ReplyDelete