Oleh: Riawani Elyta
Ternyata, judul itu memang harus eye-catching ya? :)
Begitu jugalah dengan pujian. Saat kita dipuji, disanjung dan dihargai, kita akan merasa senang dan terhibur, apalagi, kalau pujian itu ditujukan untuk karya yang sudah kita buat dengan susah payah. Dalam frekuensi normal, pujian semacam ini memang terasa menyenangkan, kita jadi tersemangati karena merasa karya kita layak dihargai dan pengorbanan kita tak sia-sia.
Ternyata, judul itu memang harus eye-catching ya? :)
Part 1 dari catatan ini, sebenarnya masih versi recycling dari catatan jadoel saya yang judulnya "Dipuji or Dikritik, Kamu Pilih Mana?" Bedanya, kalau yang jadoel itu saya menganalogikan dengan permainan jungkat-jungkit, maka untuk yang ini, saya mencoba menganalogikan dengan...food. Ya. Makanan. My favourite :)
Apa yang kita rasakan saat mengecap makanan yang manis? Permen, es krim, or coklat misalnya? Pasti yang timbul adalah rasa nyaman dan terhibur, sehingga terkadang, sebagian kita cenderung melarikan diri dari persoalan dengan memakan makanan yang manis. Tetapi pada umumnya rasa manis ini hanya bertahan sekejap. Begitu melewati pangkal lidah dan meluncur ke tenggorokan, rasa manis itu pun akan lenyap. Dan meski pun makanan manis memiliki nilai gizi, kalau berlebihan mengonsumsinya, bisa berpotensi jadi penyakit, ya diabetes, obesitas, dsb.
Apa yang kita rasakan saat mengecap makanan yang manis? Permen, es krim, or coklat misalnya? Pasti yang timbul adalah rasa nyaman dan terhibur, sehingga terkadang, sebagian kita cenderung melarikan diri dari persoalan dengan memakan makanan yang manis. Tetapi pada umumnya rasa manis ini hanya bertahan sekejap. Begitu melewati pangkal lidah dan meluncur ke tenggorokan, rasa manis itu pun akan lenyap. Dan meski pun makanan manis memiliki nilai gizi, kalau berlebihan mengonsumsinya, bisa berpotensi jadi penyakit, ya diabetes, obesitas, dsb.
Begitu jugalah dengan pujian. Saat kita dipuji, disanjung dan dihargai, kita akan merasa senang dan terhibur, apalagi, kalau pujian itu ditujukan untuk karya yang sudah kita buat dengan susah payah. Dalam frekuensi normal, pujian semacam ini memang terasa menyenangkan, kita jadi tersemangati karena merasa karya kita layak dihargai dan pengorbanan kita tak sia-sia.
Tetapi, pada titik ini kita juga harus mulai waspada, jangan sampai pujian berkembang menjadi kebutuhan. Kita butuh untuk dipuji atau dihargai terlebih dulu baru tersemangati. Dan yang lebih gawatnya lagi, kalau kebutuhan akan pujian ini kian berkembang menjadi tujuan. Ya. Kita berkarya, kita berbuat, kita menulis dsb dengan harapan orang2 akan memuji kita. Sudut pandang agama mengatakan kalau terobsesi pada pujian termasuk perbuatan riya. Dan riya adalah bagian dari syirik kecil, karena itu, waspadalah selalu dengan reaksi hati terhadap pujian. Camkan dalam hati bahwa semua pujian adalah milik Allah, karena Dialah yang telah memberi kita kelebihan dan kemampuan untuk berkarya. Kelebihan yang kapan pun Dia mau, Dia berhak mencabutnya.
Lalu, bagaimana dengan kritikan?
Di sini, saya ingin menganalogikannya dengan jamu pahit. Ya. Jamu tanpa ekstra madu, gula dan perasan jeruk nipis. Saat pertama mencicipinya, terutama bagi yang belum pernah minum jamu, apa yang terasa? Pahit bener pastinya, dan wajah yang spontan berkerut. Selain itu, rasa pahit juga umumnya lebih lama tinggal di lidah. Membuat kita enggan mengonsumsinya sering2, padahal, jamu pahit bagus buat kesehatan, tentu aja, jamu yang juga sesuai dengan kebutuhan fisik kita.
Nah, ketika dikritik, apalagi kritikan yang pedes bin nyelekit, apa reaksi yang muncul? Pastilah bukan senyum lebar, melainkan ekspresi wajah yang akan terlihat jelek saat bercermin :). Ya. Kritikan memang terasa pahit, namun kita juga membutuhkan "suplemen" ini agar resistensi kita bisa lebih terasah.
Sebelumnya, ijinkan saya membagi jenis2 kritik dalam versi saya, jenis yang mungkin nggak teman2 temui dalam versi yang sudah pernah ada ^_^ :
Pertama - just throw it away critic - kritik yang disampaikan dengan cara yang kasar, pedes, kalimatnya mengandung cacian dan hinaan, seperti misalnya : karyamu jelek! nggak mutu! Bagusan juga puisi ponakan gue yang masih SD! dsb. Untuk kritikan jenis ini, yang harus kita lakukan adalah just throw it away, buang jauh2, nggak perlu dipikirin lagi. Case closed.
Kedua - don't heart so much critic - ini kritik yang pada umumnya disampaikan, dan biasanya berasal dari pembaca awam. Kritik yang menyebut kekurangan karya kita sepenangkapan mereka, dan meski mereka tidak menyebut solusinya, minimal kita bisa memahami maksud komentar mereka. Misalnya nih, tema ceritanya biasa aja, klimaksnya kurang nendang, settingnya kurang detail, dsb.
Kritik jenis ini, nggak ada salahnya diterima sebagai masukan, untuk kemudian kita pilah-pilih, mana yang memang pantas kita ikuti dan terapkan. Karena kita juga nggak mungkin mampu mengikuti semua saran, apalagi, kritik pada kategori ini juga sangat bergantung pada selera. Bagaimanapun, satu hal harus kita sadari, bahwa pembaca adalah mereka yang bisa melihat karya kita tanpa pretensi apapun.
Ketiga - take it properly critic - ini kritik yang pantas kita cermati dengan saksama, yaitu kritik yang nggak hanya nyebut kekurangan karya kita tetapi juga menyertakan solusi dan saran yang positif. Kritik jenis ini layak untuk kita - sebagai penulis - mengapresiasinya. Karena jarang2 gitu loh, orang mau bersusah payah membaca dan menilai karya kita sekaligus mau ngasih masukan. Apalagi kalo saran itu berasal dari mereka yang memang kompeten. Wuih, masukan berharga banget tuh. Itu artinya orang itu juga punya keinginan baik dan ekspektasi yang baik terhadap karya kita selanjutnya.
Tetapi, respon terhadap kritik juga sangat tergantung pada kadar resistensi kita. Ada yang masih bisa manggut2 dan senyum2 biar pun udah diserang dengan kritik jenis pertama, tetapi ada juga yang langsung nangis darah saat diberi kritik jenis ketiga :). Kadar resistensi ini sangat bergantung pada karakter dan pengalaman hidup setiap orang. Mereka yang berkarakter koleris akan memberi respon berbeda dengan mereka yang cenderung melankolis. Mereka yang telah banyak makan asam garam dan mencecap pahit kehidupan, biasanya resistensinya akan lebih baik dibandingkan mereka yang hidupnya senantiasa lancar mulus aja. Ibarat makanan (lagi), terlalu sering makan makanan yang manis dan lezat, saat suatu hari disodori segelas jamu pahit, rasanya bukan lagi pahit, tapi pahit bener-bener sampe pingin vomit :)
Nah, berhubung saya juga nggak tahu kadar resistensi masing2, buat teman2 yang mungkin selama ini kurang berkenan untuk kritik2 sotoy saya, just tell me the truth, jadi ke depan saya bakal tutup mulut, nggak lagi2 berani ngeritik, hehe, dan lewat tulisan ini sekaligus mau minta maaf untuk kritik2 saya yang selama ini mungkin kurang dapat diterima.
Trus, so far, apa hubungannya tulisan ini dengan judulnya?
ho-ho, tulisan ini emang belum selesai, masih ada lanjutannya lagi, sebagaimana kita dianjurkan untuk berhenti makan sebelum kenyang, maka begitu jugalah dalam memposting, berhentilah sebelum bikin mata pembaca berair dan pindah ke lain channel :)
What? Segitu aja? Heheh... Judulnya menarik sampai aku click tombol Like sebelum beres membaca. Aku tunggu part 2-nya ^_^ (penasaran ni sama kisah tampar2an, kejar2an, dan gilas2an).
ReplyDeleteSuka judulnya :)
ReplyDeletengok! aq sering kena kritik sana sini. yah lbh blajar memperbaiki :D
ReplyDelete