by: Arul Chandrana
PROLOG
Separuh dari kisah ini adalah fakta. Aku mendengarnya berulang kali dari ibu dan pamanku. Setelah merampungkannya berupa cerpen, aku mengirimnya beberapa kali ke koran dan senantiasa gagal. Mungkin karena cerpen ini, seperti pengakuan salah seorang temanku, terlalu menjijikkan. Anda sebaiknya mempertimbangkan membaca ini jika sedang makan atau hendak makan.
***
Akan malam
Kelam turun dari tangan senja. Gunung hijau mulai akan menghitam, dan gelam berlari ke puncak, meyimpan semua segala dalam gelap.
Tak ada satu pun suara manusia.
Tapi jangkrik mulai menjerit-jerit, setiap malam, dan juga burung hantu yang meratapi kematiannya kelak. Sesekali anjing melolong sepi dari kejauhan.
Sendiri…kubayangkan rupa sang mati.
Segala bunyi-bunyi itu masih sampai ke dalam gubug beku ini, mengingatkanku jika aku masih harus terus membayangkan bagaimana akhir dari riwayatku. Menanti. Datangnya masa sang maut bertandang dan dengan tak sabar melaksanakan tugasnya. Dalam keremangan bulan tanggal 12, kuamati diriku; diriku yang semakin jauh dari dirku di waktu dulu…tubuh ini membengkak, jari jemari tanganku tinggal separuh—jemari itu berjatuhan copot satu persatu—meinggalkan nananh dan darah yang menggumpal. Menjadi bau busuk yang tidak akan pernah pergi. Dengan jari tinggal beberapa, kuraba alisku yang tak lagi berbulu itu, dahiku menonjol dan terasa keras, seakan ada selapis cairan di sana yang siap untuk dilelehkan kapan saja. Dengan susah payah, kuraba telinga kananku, rasanya ia lebih kaku, lebar dan tebal dari yang kemarin. Kuraba telinga kiriku, ah sakit! Aku tahu, sebagian dari telinga itu telah membusuk, dari tempatnya nanah dan darah kehitaman meleleh tak henti sebagai akibat dari luka yang tak bisa sembuh. Tulang pipiku pun terasa sakit, nyeri sekali rasanya kalau tersentuh sesuatu. Sedang mulutku semakin lama semakin tak bisa kugerakkan. Bibir terasa makin berat dan membesar, aku merasa pasti sekarang ukurannya sangat mengerikan. Gusi membengkak, kadang darah meleleh begitu saja darinya.
πππ
Semua segala sakit itu berdiam di tubuhku yang membengkak ini. Membuatku tak bisa duduk lama-lama, tiduran lama-lama atau berjalan jauh. Karena tubuhku kini tak ubahnya dengan kantong kulit yang bisa pecah kapan saja ia mau.
Dalam kesah yang panjang itu, aku mencoba berbaring di dipan kasar dan dingin ini. Tanpa bantal, kurebahkan kepalaku. Ah! Kurasakan beberapa helai rambutku tercerabut oleh lantai dipan dari bila-bilah bambu yang bergeser karena gerakanku. Kupejamkan mata. Mencoba meredam nyeri yang tak pernah berhenti, selalu datang, selalu menggigit, selalu mengerat urat-urat syarafku.
Pada perjalanan menuju mimpi, selalu perasaan aneh ini menyertaiku, rasanya, bintang di langit yang nampak melalui lobang-lobang atap bellik seakan berputar dalam suatu gerak lambat yang teratur dan berurut, mereka terus berputar dan saling mendekat, kemudian berubah menjadi sebuah gumpalan cahaya maha besar, berkilauan berrupa warna. Perlahan, bola cahaya raksasa itu turun, turun, turun, menimpa atap gubug reyotku. Kemduian menimbunku, menusuk dadaku dan hanya meninggalkan satu tarikan nafas saja. Sebelum perasaan itu semakin kuat merenggutku, kulirik sesuatu di bawah dipan, seekor anjing coklat keemasan tengah tidur dengan damainya. Tak ada takut, tak ada benci, tak ada jijik padaku.
Setelah semua itu, tertidurlah aku dengan membawa serta rasa sakit tak berujung.
Matahari selalu tepat waktu
Mulailah binatang-binatang yang semalaman sibuk berkeliaran mengambil waktunya istirahat, tidur di sarangnya masing-masing. Dan diganti segala monyet, burung, serangga dan entah apa lagi meramaikan hutan ini. Hutan yang—sebenarnya—penuh dengan wabah.
Aku bangun tidur. Yang pertama kali bergerak adalah mataku, kuirik anjing itu, dia sudah bangun tapi masih berada di tempatnya. Menatapku, seakan dia sedang berdoa pada Tuhannya. Setelah itu, berangsur-angsur, kurasakan lagi nyeri di sekujur badan. Aku kaku tak bisa bergerak, seakar segala tulang rangka badanku berubah menjadi boneka kayu yang membatu. Punggungku lengket, seakan menyatu dengan lantai dipan, rasanya bilah-bilah bambu itu masuk kedalah tubuhku. Dengan nafas tersengal, susah payah aku mencoba bangun.
“Akh!!” erangan ini selalu terdengar pada waktu begini. Rasanya aku tak sanggup. Kudengar anjing itu menguik, seakan dia mengabariku kalau ada yang datang. Dan, dikejauhan kudengar tapak kaki menginjak ranting di atas tanah. Berjalan cepat.
“Heh…ghik odik? Masih hidup kau?” sebuah teriakan di luar pintu. Ingin segera ku jawab, tapi gusiku yang bengkak membekam suaraku.
“Heh, masih hidup?” teriakan itu terdengar lagi. Ada kekesalan di sana. Seakan dia benar-benar muak berada dekat-dekat tempat ini, ingin segera pergi menghilang sejauh mungkin. Masih aku tak bisa bicara, maka kujawab saja dengan erangan yang perih dan berat.
“Grrk…akh…”
“Ari’i kakanan, ini makananmu.” Begitu suara itu menyahut. Disusul kemudian sesuatu yang dengan cepat melayang ke dalam gubug melalui celah lebar di atas kusen pintu. Aku kaget melihatnya, tapi tak ada waktu, sesuatu itu menghantam telapak kakiku, sakit. Rasanya tulang-tulangnya berderak. Lalu sesuatu itu jatuh bergulir ke tanah, tepat di depad moncong si anjing. Dan, sesuatu itu koyak, menghamburkan segala isinya ke atas tanah: nasi putih dan beberapa iris ikan. Belum hilang kaget dan sakitku, kudengar suara orang berlari terbirit-birit meninggalkan gubug. Pastilah dia sangat jijik padaku.
Dengan susah payah, aku berusaha bangkit, oh, perihnya punggungku…aku merasa ada darah mengalir. Dengan sangat pelan, aku merayap turun. Dan seperti hari-hari kemarin, si anjing sama sekali tidak menyentuh nasi kiriman itu. Dengan jemari tak lengkap dan tangan yang luka, kuambil sejumput nasi, menyuapkannya ke mulut, mulai mengunyah, dan, pada kunyahan ke dua, berhenti di situ…radang tenggorokan membuatku takmungkin untuk menelannya. Gumpalan nasi itu tercekat, diam dalam rongga mulutku, tak masuk tak keluar. Anjing itu diam saja menatapku. Dan, begitulah akhirnya, nasi itu pun habis juga, disantap si anjing. Sedang yang sesuap tadi, masih menyangkut dalam mulutku.
Malam tanggal 13
Rembulan malam ini lebih besar lagi dari yang kemarin. Aku dalam perjalanan menuju ke gubug dari laut. Angin laut selalu membuatku merasa lebih segar dan bersemangat untuk mati tenggelam di lautan. Tapi setiap kali luka-luka ini menyentuh air laut yang asin dan dingin, perih yang amat sangat menusuk sekujur badanku. Ribuan jarum menusuk-nusuk kulitku. Membuatku lari terseok-seok kembali ke pantai setelah baru beberapa detik mencebur. Mungkin Tuhan ingin mengirim pembunuh dalam bentukyang lain. Tapi, bukankah penyakit ini dengna sendirinya dalah pembunuh? Yang sangat kejam dan menjijikkan?
Nafasku tersengal.
Aku berjalan layaknya orang tua yang baru sunat, berjalan mekangkang. Bahkan terkadang, aku pun harus merangkak saking susahnya mendaki jalan ini. Tiba-tiba, dari ujung jalan yang tertutup rimbunnya semak belukar, keluar dua cahaya obor diselingi suara dua orang berbincang-bincang. Nelayan. Dan dengan sendirinya, aku pun segera menepi ke pinggir jalan, bersembunyi dalam rimbunnya belukar. Aku tahu, jika mereka, kedua nelayan itu, berpapasan denganku di jalan, mereka akan lari terbirit-birit kembali ke kampung. Tanpa ikan. Tanpa penghasilan. Istri dan anak terlantarkan. Suara dan cahaya obor itu makin mendekat. Dari celah-celah semak, kulihat bayangan dua laki-laki berjalan beriringan. Masing-masing mereka menggotong sebuah jarring. Tawa mereka menyertai tiap langkahnya. Mereka semakin dekat dengan tempatku bersembunyi, dan aku baru sadar, aku bersembunyi kurang ke dalam. Mereka kemungkinan bisa melihatku. Aku tak begitu terlindungi oleh semak belukar. Aku beringsut-ingsut berusaha berpindah tempat, tapi tiba-tiba, sebuah ranting kering kasar menacap dengan keras daun telinga kiriku. Craks! Sontak kepalaku berdenyut, kesakitan yang seakan membelahnya menjadi dua, kepalaku seakan gemeratak, sakitnya membuat tubuhku bergetar. Aku mengatupkan kedua rahang berusaha meredam jeritan sakitku, dan darah menetes dari gusinya yang membengkak. Ranting kering itu menembus telinga kiriku yang membusuk separuh. Perlahan, kurasakan cairan hangat meleler di leherku. Aku tak kuat lagi, sakitnya membuat pening kepalaku. Aku mengerang perlahan, tepat ketikan ke dua nelayan itu sejajar denganku. Kupikir mereka tidak akan mendengarnya, ternyata…aku mengerang terlalu kencang tadi. Mereka berhenti berjalan, memasang telinga, mencari dengar.
“Ngeding kasakna apa nengghellok? Kau dengar suara tadi?” Tanya yang seorang.
“Ya, aku mendengarnya. Seperti orang mengaduh. Dari mana?” jawab yang satunya.
“Entah!”
Kuharap mereka segera pergi dan tak perduli, tapi mereka malah membungkuk-bungkuk mencari sumber datangnya suara yang mereka dengar tadi. Mereka tidak tahu, sebenarnya, mereka tengah mencariku! Dengan sekuat tenaga, kukunci mulutku rapat-rapat. Tak peduli nanah yang merembes dari gusiku. Kutahan sakit menggigit di telingaku, kubiarkan ranting itu menancap di sana lebih lama. Tapi, itu belum semua. Aku merasa ada ratusan benda kecil merayap di kedua kakiku yang membengkak parah. Ternyata aku jongkok tepat di atas rumah kawanan bilis mardo—semut merah yang pedas gigitannya. Semut-semut itu mencium aroma daging, mereka mengangkat kepala, membuka mulutnya, dan menancapkan gigitannya yang tajam pedas tanpa ampun. Ratusan gigitan semut kurasakan bersamaan. Perih. Sangat perih. Aku tak bisa menahannya lagi. Air mataku meleler.
“Aduh…” aku melenguh keras. Dan demi mendengar suara itu, sontak kedua nelayan itu menoleh ke arahku, mereka angkat obornya lebih tinggi, menerangi rimbunan belukar di depannya. Dengan bantuan cahaya obor, tampaklah diriku yang meringkuk kesakitan dalam semak belukar, tampaklah wajahku yang lebam meringis menahan sakit. Aku bisa melihat wajah mereka, ekspresi mereka, kulihat bagaimana mata mereka terbeliak demi menyadari apa yang sebenarnya mereka temukan. Mereka bergidik, menyaksikan aku yang hanya memakai celana pendek, tubuh membengkak dan bilur-bilur merah sekujur badan. Tampak jelas bagian-bagian tubuhku yang membusuk dan melelehkan cairan kekuningan. Mata mereka terbeliak, jijik dan kaget.
Kututup mataku, tak kuasa menerima tatapan seperti itu. Lalu kudengar jerit pekik ketakutan, derap kaki berlari sekencang-kencangnya, kedua nelayan itu berlari meninggalkanku dalam terror yang mengerikan. Seakan mereka baru saja berpapasan dengan rajanya setan segala setan. Aku mendesa pilu, harus menerima kenyataan bahwa aku memang sangat mengerikan bagi semua orang. Api rasa pilu itu tak bertahan begitu lama. Sakit di telinga dan kakiku menyentak semua pikiranku. Aku harus segera enyah dari tempat ini.
Perlahan, dengan sangat berhati-hati, kutarik kepalaku, mencoba melepaskan telingaku dari ranting kasar yang menancapnya. Grkt. Ranting itu menyangkut, nyeri dan sakit menyengat. Kucoba menarik lagi, perlahan dan tenang, ranting itu masih mengait dengan kuat. Daun telingaku rasanya terbakar, rasa sakit yang sangat menancap kepalaku. Pada saat itu, kawanan semut di kakiku bertambah banyak, mereka menggerogoti kedua kaki bengkakku. Apa lagi tadi aku beringsut, mereka semakin garang, berratus-ratus semut mengerubutiku, mengerat dagingnya perlahan, aku tak kuat, perih pedih itu menyayatku. Tanpa sadar, kuhentakkan kaki kananku, berusaha mengurangi kerumunan semut. Tapi akibatnya fatal, aku terpeleset! Kepalaku tersentak dengan kuat dan cepat, meluncur jatuh ke tanah. Seketika itu pula, aku merasa kepalaku dihantam dengan palu api yang menyala-nyala, telingaku mengejang, darah menyembur dari telinga kiriku. Aku terkapar di atas tanah, tak sanggup berkgerak, hanya mulutku yang menganga-nganga hendak berteriak tapi tak ada suara yang keluar. Di atas wajahku, sebuah ranting bergoyang-goyang naik turun, pada ujungnya, kulihat sekerat daging tertancap tak berdaya. Telinga kiriku tanggal dari tempatnya, tergantung di sana.
Malam tanggal 14.
Rembulan malam ini lebih besar lagi dari yang kemarin. Juga penyakit yang menggerogoti tubuhku ini lebih parah lagi dari yang kemarin. Nafasku satu-satu berhembus mengiringi ramainya kesepian ini. Tak sanggup lagi aku berlama-lama mengamati tubuh sendiri. Jemari tanganku yang tinggal beberapa dan terkerat sedikit demi sedikit meraba wajahku yang kasar tak berbentuk. Seperti apakah aku sekarang? Andai ada cermin, ingin aku sekali saja melhatnya. Walau hanya untuk sekali, untuk yang terakhir. Meski aku tahu nantinya hanya akan berakhir dengan sakit hati dan kebencian yang tak kan pernah bisa kutanggung. Seperti saat pertama kali aku menyaksikan perubahan pada wajahku, beberapa bulan yang lalu.
Mataku terpejam. Aku larut dalam kegelapan yang pahit dan menyesakkan. Perlahan tergambar lagi bagaimana semua kutukan ini bermula, saat pertama kali aku memasuki babak pembuka yang mengubah segalanya. Pada suatu pagi, di muka cermin, kudapati alis mataku berubah merah. Dan bulu mataku, ia telah hilang semua setelah kemarin hari rontok satu persatu. Kuperiksa dahiku, ia tampak lebih menonjol dari biasanya dengan warna kemerah-merahan. Kuperhatikan, ternyata seluruh wajahku berubah warna, semuanya memerah. Tulang pipiku menjorok ke depan, bibirku yang merah aneh itu membesar layaknya bibir negro. Kuamati telingku, ia membesar, memerah, dan saat kuraba, ia terasa menebal. Mulai detik itu, ketakutan dan kegelisahan memangsaku baik saat terjaga maupun saat tidur. Para tetangga sudah pada tahu mengenai keadaanku, mereka menjadikannya buah bibir yang asyik untuk mengisi waktu luang. Mereka dengan semangat mempergunjingkanku, di teras rumah, di lombhung dan dhurung, di tempat pemandian umum, di semua tempat. Desas desus mulai menyebar dan dengan sendirinya kebencian mulai menyeruak layaknya asap membubung dari tumpukan sampah.
Pada suatu siang terik yang tak terduga, pak lurah beserta sebagian besar penduduk desa datang nglurug rumahku. Dengan teriakan-teriakan menakutkan dan penuh dengan ancaman, mereka memaksaku untuk segera pergi meninggalkan desa. Awalnya tak ada yang memperdulikan tuntutan mereka itu, ibuku diam menangis di ambang pintu kamarku, ayahku gemetar berdiri di balik jendela menatap ratusan penduduk yang memadati halaman rumah. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain berusaha menyembunyikan aku yang tak mungkin lagi disembunyikan dari mereka. Beberapa keluargaku berteriak-teriak di teras rumah, mereka mati-matian berusaha menenangkan massa. Mereka memohon pada pak lurah agar tidak mengusir aku, mereka memohon pada warga agar membiarkan aku dirawat di rumah, tidak diasingkan ke Alas Tua. Tapi semakin mereka berusaha, semakin besar amuk massa. Seseorang menghantam pamanku dengan sebongkah bata merah, kepalanya berdarah. Aku tidak melihat itu, aku meringkuk di bawah dipan di kamarku, tapi jeritan ayah melihat adiknya terluka menerangkan apa yang terjadi di luar sana. Aku gemetaran. Aku tahu, aku tahu, ini akan terjadi lagi, ini akan terulang lagi. Cerita yang selalu muncul, cerita yang selalu berulang, pengasingan yang selalu terjadi. Keluargaku tidak akan bisa menahan warga desa, keluargaku yang miskin ini tidak akan bisa lama membentengiku, apa lagi tidak semua mereka menginginkan aku tetap di sini—aku tahu bahkan sebenarnya yang memprovokasi warga untuk mengusirku adalah salah satu dari mereka. Aku memejamkan mata, mengingat lagi cerita orang-orang tua tentang orang-orang sepertiku. Para pengidap laran jhubok yang dahulu. Mereka harus ke Alas Tua, menjalani pengasingan sampai Tuhan bosan mendengar ratapan putus asanya.
Pada siang itu pula, setelah kepala pamanku pecah, kaca jendela rumahku memburai dan beberapa genteng berantakan tertimpa batu, aku pun digelandang menuju Alas Tua, hutan yang kini menjadi penonton bisu setiap pekik sakitku. Di dekat pagar rumah, ibuku meraung-raung menangisiku dengan dipegangi beberapa orang. Beliau hanya bisa menangis, hanya menangis, bahkan untuk meronta pun tak lagi sanggup. Aku berlari terhuyung, dibuntuti ratusan warga beberapa puluh meter di belakang. Setiap kali aku berhenti untuk bernafas, mereka melempari batu ke arahku. Aku pun berlari lagi. Kalang kabut menyelamatkan diri. Di depan sana, sebuah gubug berdiri diam. Mereka sudah menyiapkannya beberapa waktu yang lalu. Inilah pengasainganku.
Hari-hari pertamaku berlalu dengan penuh penderitaan, warga bergiliran menjaga gubug. Mereka mengawasiku jika sewaktu-waktu aku mencoba kabur. Jika didapatinya aku menyelinap keluar, mereka akan memburuku layaknya binatang buas yang harus dimusnahkan. Aku menangis tak habis-habisnya di sana, merutuk semua yang terjadi pada diriku. Aku begitu lemah, layaknya burung terluka yang ingin sangat untuk pulang ke sarangnya. Setiap waktu aku berusaha menyelinap, mencuri masuk ke kampung, tapi begitu bayangan kemarahan warga menghantam kepalaku, ketakutan yang sangat mencekam meredam keinginanku.
Pernah sekali di suatu malam hujan, setelah melewati beberapa bulan pengasingan, kerinduanku pada rumah dan orang tua sudah tak tertahankan lagi, keinginan itu begitu kerasnya, sampai tak ada lagi takut dan khawatir yang dapat meredamnya. Maka, dengan terpincang-pincang aku mengindap menuju kampong menembus hujan badai dan kegelapan malam. Setelah beberapa jam, dari jauh, nampaklah kerlip lampu-lampu rumah. Aku sampai. Bayangan itu membuatku benar-benar bahagia. Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, aku akan kembali masuk ke kampung, aku akan menemui ibu, aku akan kembali mendapatkan kasih sayang dan cintanya. Titik cahaya itu menuntunku. Akan tetapi, semua kesenangan dan harapan itu runtuh berantakan menjadi ketakutan dan kengerian begitu beberapa warga memergoki kedatanganku.
Untuk kedua kalinya aku diburu oleh mereka, para penduduk desa yang meradang oleh amarah dan jijik tak tertahankan. Batu, kepingan papan, balok kayu, beterbangan mengejarku. Sorak dan makian memburuku tanpa ampun. Dalam gemuruh kemarahan itu, masih sempat terdengar dalam telingaku jerit tangis ratapan kesedihan dari beberapa suara yang sangat kukenal.
“Rato bulo….aduh rato bulo…duhai buah hatiku…”
Mereka baru kembali ke kampung setelah mencapai hutan pengasinganku. Mereka pergi dengan gerutu dan umpatan tak tertahankan. Sedangkan aku, aku harus menanggung akibat dari kenekatanku sendiri. Sekujur tubuh penuh luka, telapak tangan, kaki dan dengkul lecet semua karena tadi berkali-kali jatuh tersungkur saat berlari. Dengan tertatih, letih, sedih, kecewa dan berdarah-darah. Aku kembali ke gubug. Berharap semoga kematian datang leih cepat dari semestinya.
Mengingat semua itu, tubuhku bergetar hebat. Segala beban jiwa dan sakit hati menggumpal keras dalam tubuhku. Aku merasa sesak. Tiba-tiba, pergelangan lengen kananku yang sudah membusuk parah copot dari tempatnya. Jatuh terkulai bagai bangkai ke atas lantai.
Aku tersentak menyaksikan sepotong anggota badanku copot begitu saja. Aku shock, dan tanpa sadar tubuhku meluncur jatuh. Wajahku menyosor menghantam tanah kering. Aku terkulai. Darah memburai dari tempat copotnya lengan tangan kananku, sementara wajahku, kulitnya terkelupas seperti dihantam dengan parut besi. Aku gemetar menahan sakit. Aku tak bisa bergerak. Tak bisa berbalik. Degan darah dan nanah aku tengkurap kesakitan. Di luar gubug, anjingku menguik-nguik gelisah.
Malam tanggal 15
Rembulan malam ini lebih besar lagi dari yang kemarin. Langit sedikit diusik awan tipis. Bintang-bintang kecil bersembunyi di balik cahaya purnama raya. Terang yang damai itu mengalir membelai dedeaunan pohon kernduan. Dan beberapa bulir embun sudah turun di permukaan rumput, berkemilau memendar pancar. Angin malam menggoyang sepi. Ada sedikit lolong anjing mengalun, sedang burung hantu masih saja menangis sedih berkabug untuk kematiannya yang tak tentu. Di balik daunan kering yang gugur, jangkrik berjuang membakar ini sepi.
Selama satu siang, setelah perjuangan mati-matian, akhirnya aku berhasil membalik tubuhku. Dan selanjutnya, terkulai tak berdaya. Sisa tenaga hanya bisa untuk bernafas satu dua. Aku tersengal, wajahku tepat berada di bawah lobang besar menganga atap gubugku. Atap itu hancur dimakan rayap. Ada sejumput ranting kering melintang, dan selebihnya, bulan purnama sempurna tampak dari tempatku berada. Cahaya keemasan itu jatuh tepat di atas mukaku.
Entah pukul berapa sekarang. Sudah sangat lama aku tidak perduli pada jam dan waktu.
Perlahan, perlahan, perlahan, aku tak bisa lagi merasakan tarikan nafasku. Kurasakan sekitarku berubah menjadi semacam kehampaan besar tak berujung. Tak ada lantai tanah dipunggungku, tak kurasakan hembus angin, tak kurasakan gerak waktu, tak kurasakan dinginnya malam, satu-satunya yang kurasakan adalah kehampaan yang terang benderang. Aku merasa begitu kesepian, begitu seorang diri, tak ada yang lain, bahkan rasa sakit itu pun telah hilang entah kemana. Walau pun aku tahu ada ratusan semut yang kini tengah mengerubuti tubuhku, tapi aku tak merasakan apa-apa. Tak ada rasa sakit!
Dalam derasnya aliran kehampaan ini, dalam luasnya kekosongan ini, tiba-tiba aku mendengar suara yang tak pernah kudengar sebelumnya, suara yang tak bisa kubayangkan apa itu sebenarnya. Sejenak datang sejenak hilang. Suara itu serasa sedang berkeliaran mencari sesuatu. Apa itu? Kupasang baik-baik telingaku, sebisa mungkin mencoba mendengar, tak ada apa-apa! Kembali hanya sepi dan hampa di sini. Tapi entah dari mana datangnya, aku merasa ketakutan. Begitu gelisah. Begitu terasing, meras begitu nista. Aku merasa terdesak, dan terancam, dan mengharapkan pertolongan. Aku merasa ngeri tapi entah terhadap apa. Aku ingin berteriak dan berlari, tapi tak bisa, tak bisa, aku terkapar. Dan perlahan, kurasakan hawa diingin yang tajam merambat dari kakiku. Dingin. Dingin yang tak pernah kurasakan sebelum ini. Dingin yang amat dingin. Aku menggigil. Tercekam. Dan rasa takut itu menusuk-nusuk dadaku tanpa ampun. Ada apa ini, oh Tuhan?
Dingin yang sangat dan ketakutan yang tak biasanya menelanku yang tergeletak tak berdaya. Dalam cengkeraman gelisah, kudengar suara-suara memanggil dari kejauhan. Suara? Suara siapa itu? Siapa? Siapa yang masih sudi memanggil namaku? Mencariku di tengah malam begini? Aku mendengar bunyi langkah kaki. Siapa ini?
Dalam kekalutan, jantungku berdegup makin kencang, sementara dingin makin menggigit. Nafasku tersengal. Ada apa ini? Siapa yang datang?
Aku menatap langit yang terhampar di atas sana, cahaya rembulan yang menyiram dengan lembut dan penuh kasih sayang. Cahaya rembulan itu diam saja, membisu, sedang ranting pohon yang melintang sesekali bergoyang. Tapi tiba-tiba, cahaya rembulan berubah menjadi satu sorot cahaya yang menancap kuat! Mataku silau. Aku tercekat dan terengah. Tak ada yang kulihat selain kilau cahaya yang tajam dan membutakan. Aku tenggelam dalam silau cahaya. Lalu suara-suara aneh itu kembali terdengar, lebih nyaring, lebih dekat, lebih menakutkan dari apapun. Suara orang berbicara, kaki berderap di permukaan tanah, gumaman tak jelas, perintah-perintah yang tak bisa ditolak. Tak kuasa menatap tajamnya cahaya rembulan, aku berusaha berpaling. Sekuat tenaga aku memalingkan wajahku ke kanan, dan, seketika tenggorokanku rasanya putus, mataku membeliak, tubuhku bergeletar ketakutan, sejak kapan…sejak kapan mereka berdiri di sana? Sejak kapan? Dan…siapakah mereka itu?
Kemudian, hanya ada sehembus angin yang menampar-nampar pintu yang tak lagi terbuka. Untuk selamanya.
***
Pagi yang tak beda dari kemarin.
Gubug reyot di tengah hutan itu miring sekali ke kiri. Atapnya yang terbuat dari anyaman dhoun bellik hancur di sana-sini. Sebagian dinding gedeknya kecoklatan diselubungi rumah rayap. Senyap sekali. Tak ada bunyi. Melintas seekor anjing di depan pintu, juga daunan yang gugur tak perduli digapai angin lalu.
Pagi yang tak beda dari kemarin.
Kumalasa, 21-03-2004
Catatan penulis:
Teman-teman, mohon sudi untuk memeberikankritik saran pada cerpen ini. Dan, apa yg harus kulakukan jika ingin mengirimkan (lagi) cerpen ini ke koran atau majalah?
arul, semoga lekas sembuh yaaa... :D
ReplyDelete2004? ceritanya lama banget, yah...
ReplyDeleteberarti sekarang arul udah sembuh total.alhamdulillah.aman jeng aan kalo berteman dengan arul sekarang.*zinggg...ngeles dr sambaran sandal arul
Delete