Saya terlebih dulu
mengawali catatan ini dengan 3 permintaan (maaf) ^_^.
Pertama, karena saya
nggak benar2 niat untuk meresensi jadi mohon maaf untuk catatan ini yang makin
ke bawah (mungkin) bakal semakin ngawur :D
Kedua, mohon maaf buat
anda yang telanjur mengira kalau saya "patah hati" karena melihat
beberapa scene romantis antara Reza Rahadian - Julie Estelle, surely not at
all, jadi pastikan anda untuk terus mengikuti catatan ini sampai akhir :)
Ketiga, buat anda yang
belum menontonnya tadi, dan nggak tahu ceritanya tentang apa, mohon maaf kalo
saya melewatkan bagian sinopsisnya, tetapi anda bisa dengan mudah
membrowsingnya kok, salah satunya di sini : http://www.tabloidbintang.com/film-tv-musik/ulasan/54380-brokenhearts-galau-cinta-kaum-pekerja-urban.html
Sebenarnya, ini film
typikal saya banget ^_^ karena saya memang senang film2 romantis bernuansa
tenang dan nggak terlalu bikin adrenalin melompat2, tetapi, saya harus jujur
bilang, tanpa akting ciamik Reza di sini, belum tentu saya sanggup menontonnya
sampe selesai, dan saya hanya bisa beri 2,5 dari 5 star untuk film ini.
Kenapa?
Pertama, saya sangat
terganggu dengan view para pemain wanita dengan rok-rok mini dan baju2 seksi,
seolah-olah ini bukan di Indonesia dan settingnya adalah bekerja di sebuah
perusahaan multinasional, padahal, dalam film ini, mereka "hanya"
bekerja di sebuah penerbitan. Saya yakin, penerbit sekelas GPU pun, nggak punya
staf2 wanita yang semuanya pada berbaju seksi begitu :)
Kedua, karena terdapat
beberapa pengulangan adegan, juga dialog2 yang cukup panjang antar pemain,
sehingga film ini memang rada ngebosenin.
Ketiga, pendapat saya
pribadi bilang, harusnya sutradaranya tahu bahwa ending dengan cara mematikan
salah satu tokohnya sebagai solusi adalah ending yang sudah tidak populer dan
gampangan, ending yang bisa langsung bikin penonton berkomentar
"yahhh" dengan ekspresi kecewa, jadi, nurut saya, AAC adalah satu
dari sedikit film yang berhasil lolos dari stigma ini dan berhasil best seller
pula.
Dari resensi yang saya
berikan linknya di atas, sang resensor mengatakan kalau akting Reza di sini
sedikit over dan over eksploitasi dari sutradara terhadap perannya, (mungkin)
itu karena mentang2 dia bisa bermain baik. Tetapi, teman2 sebaiknya percaya omongan
saya bahwa karakter yang diperankan Reza itu sama sekali tidak over apalagi
lebay, melainkan ngepas banget dan saya yakin dia sudah melakukan riset
terlebih dulu, juga totalitasnya untuk menurunkan BB sampe 10--15kg demi peran
ini juga layak diacungi jempol.
Sampai disini, mungkin
udah ada yang langsung berkoor "huuu" dan pengen nabok saya pake
bantal, hehe, tetapi saya juga tidak asbun = asal bunyi, kenapa? inilah bagian
lain dari catatan ini yang membuat catatan ini bakal kehilangan jati dirinya sebagai
sebuah resensi :)
Saya dulu memiliki
abang angkat yang terkena penyakit sama seperti tokoh Jamie yang diperankan
Reza, yaitu komplikasi kanker hati, dan dia meninggal pada usia 26 tahun
setelah sembilan bulan digerogoti oleh penyakit itu. Dan semua gestur Reza saat
memerankan Jamie yang tengah sakit, dengan mata yang menyorot kuyu, sesak napas
hingga harus berkali2 mengembuskan nafas dari mulut saat bicara, sesekali
memegang perutnya yang besar dan kesulitan saat berjalan, semuanya sama persis
dengan penderitaan abang saya saat itu. Bahkan tokoh Jamie di film digambarkan
masih bisa berjalan jauh meski kepayahan, sementara alm. abang saya dulu, untuk
berjalan keluar kamar saja dia sudah megap2.
Awalnya saya tidak pro
dengan tokoh Jamie yang bukannya berusaha untuk sembuh malah menyuruh
sahabatnya untuk mendekati kekasihnya agar kekasihnya tidak jatuh ke tangan
pria lain. Tetapi, ingatan yang sesaat disergap dejavu pada alm. abang saya
membawa saya pada satu pemahaman bahwa orang yang berada dlm kondisi seperti
itu, memang mengalami "penyimpangan" pada sikap yang ia pilih.
Penyimpangan yang terkadang sulit dicerna akal.
Selama bertahun2,
interaksi saya dan abang saya itu - untuk alasan yang tidak bisa dijelaskan -
memang kurang harmonis. Sampailah pada suatu siang, saat saya baru pulang
kerja, saya mendengar suaranya yang berteriak lemah, dan saya dapati dia
tergeletak di lantai dan tidak bisa bangun dengan kondisi perutnya yang besar
itu, pada hari2 terakhirnya perutnya sudah lebih besar dari perut ibu yang
hamil 9 bulan. Saya lalu lari ke belakang, memanggil tetangga untuk
menolongnya. Alhamdulillah waktu itu ada beberapa orang pria di rumah tetangga,
dan merekalah yang kemudian menolong abang saya bangun dari lantai.
Saya pikir, yang saya
lakukan itu sama sekali bukan apa2. Tetapi kemudian abang saya memanggil saya,
dengan mata berkaca2 dia menyerahkan seperangkat topi dinas, tali pinggang dan
emblem jabatan yang entah kpn dia membelinya sambil berkata, "nanti kalau
kamu udah jadi camat, pake ini ya."
Waktu itu, saya
langsung lari ke kamar dan menangis. Karena betapa saya tahu persis, dia
menyimpan impian yang sangat besar untuk menjadi seorang pamong. Dia dan saya
pernah mengikuti tes STPDN, saya sempat lolos di tes awal, dan dia tidak,
tetapi dia tetap memelihara mimpi itu selama bertahun2, termasuk berusaha
menjaga mimpinya dengan membeli dan menyimpan perlengkapan dinas pamong itu,
sesuatu yang akhirnya tak mungkin dia capai karena penyakitnya.
Saya juga masih ingat
saat suatu tengah malam, papa saya terserang stroke hingga harus segera dibawa
ke RS. Waktu itu, dia yang memang sejak sakit jarang sekali bisa tidur nyenyak,
langsung bilang, "Bawa sini kunci mobil, biar saya yang antar papa."
Waktu itu, kami yang
ada di rumah sempat tercengang, bagaimana mungkin dia bisa menyetir mobil
dengan kondisi seperti itu? Dia bilang, "Kalian bantu saya jalan sampai ke
mobil, nanti saya yang nyetir." Mungkin, kalau tidak karena panik,
ucapannya itu bisa menjebak kami semua dalam perasaan yang lain lagi. Akhirnya,
papa saya dibawa dengan ambulance.
Yah, saya juga nggak
tahu persis dorongan apa yang membuat saya pengen curhatin ini malam ini
setelah nonton Broken Heart, satu bagian hidup saya yang belum pernah saya
tuliskan di kesempatan mana pun sebelum ini. Tetapi, saya bersyukur karena
takdir abang saya lebih baik dari tokoh Jamie di film, dia sempat menikah
sebelum penyakitnya berkembang parah, tanpa diawali proses pacaran, dan meski
kemudian istrinya meninggalkannya saat dia sudah mulai sakit parah, at least,
dia wafat dalam keadaan sudah menyempurnakan separuh iman. Dan saksi mata yang
mendampinginya ketika ajal menjemputnya, mengatakan kalau dia pergi dengan
sangat tenang, tanpa terlihat kesakitan, bahkan sempat berpamitan seolah-olah
dia hanya hendak pergi ke suatu tempat biasa, "Mama, saya mati." Kata
pamit yang terucap begitu tenang dari bibirnya. Dan kondisi fisiknya saat ajal
itu telah menjemputnya, berangsur2 berubah, tidak lagi seperti seorang
pesakitan dengan mata kuyu, tubuh yang hanya tinggal tulang sementara perut
membesar dan kaki bengkak, melainkan perlahan2 kembali seperti dia saat masih
sehat, dengan tubuh yang kembali tegap dan wajah yang juga berisi. Hanya Allah
yang tahu kenapa bisa demikian. Yang saya tahu, dia tidak pernah meninggalkan
sholat lima waktu sejak mulai akil balig dan selalu nolongin temennya yang lagi
butuh uang meski diam2, malam2 dia membawa motornya keluar rumah untuk ngojek.
Ah, saya tak sanggup
lagi melanjutkan catatan ini, mata saya sudah telanjur basah semua, bukan
karena film Broken Heart pastinya, andalah yang tahu mengapa.
wow ..
ReplyDeletespeechless!!
^^