Oleh: Tuti Adhayati
Adalah empat perempuan yang bersahabat, Shakuntala (seorang penari yang sangat membenci ayahnya, sayangnya alasan ia membenci sang ayah dan saudara laki-lakinya tidak di singgung sama sekali.) Cok, seorang pengusaha. Yasmin, seorang pengacara yang pada akhirnya mendapatkan cinta Saman, meski dengan jalan perselingkuhan. dan Laila satu-satunya yang masih gadis yang sedang galau.
Sejenak saya ingin mengembalikan pada ingatan akhir tahun 90-an. Dimana novel Saman karya Ayu Utami ini hadir. Semua sahabat pasti sudah membaca novel ini, seperti sebuah novel wajib bagi siapa saja yang menyukai fiksi atau ingin meramaikan jagat literasi Indonesia –(katanya, tapi saya tidak terlalu yakin). Buku ini sejak terbit tahun 1998 hingga 2012, sudah mengalami cetak sebanyak 30 kali. *moga buku kita semua suatu hari akan seperti itu, melibihi kalau bisa. Aamiiin
Cerita dimulai dengan setting new york, bersama tokoh Laila yang akan menemui lelaki yang berselingkuh dengannya. Kemudian setting berpindah ke Laut China Selatan, tempat pertama kalinya Laila bertemu dengan kekasihnya Sihar. Lalu setting berpindah ke Perabumulih, sebuah perkebunan Karet yang hampir menemui ajal, dengan mengenalkan tokoh Saman. Yang berganti nama dari sebelumnya yaitu Wisanggeni.
Saman atau Wisanggeni sebagai salah satu tokoh utama, menepati bagian terbanyak diceritakan. Dari mulai masa kecilnya, Hingga pada saat ia mulai melakukan aktifitasnya dalam membantu masyarakat yang tertindas. Menurut saya, dalam bab penceritaan Saman ini. Saya menemukan zona ternyaman dalam membaca novel ini. Kita diingatkan pada banyak pengalaman pahit bangsa ini. Penindasan, penculikan, hingga ke pelarian seorang buronan. Suspense sangat terasa ketika penceritaan tokoh Saman.
Adalah empat perempuan yang bersahabat, Shakuntala (seorang penari yang sangat membenci ayahnya, sayangnya alasan ia membenci sang ayah dan saudara laki-lakinya tidak di singgung sama sekali.) Cok, seorang pengusaha. Yasmin, seorang pengacara yang pada akhirnya mendapatkan cinta Saman, meski dengan jalan perselingkuhan. dan Laila satu-satunya yang masih gadis yang sedang galau.
Novel ini memotret banyak hal dari kehidupan bangsa ini, kehidupan yang Alhamdulillahirrabilalamin belum pernah saya temukan disekitar saya. Atau saya alami sendiri. Namun kita sering mendengarnya dari banyak sumber informasi. Seperti tentang Upi, gadis yang kurang waras tapi memiliki perkembangan hormonal yang normal pada hal seksualitas. kemudian tentang ibunya Wisanggeni yang beberapa kali kehilangan bayi yang masih dalam kandungannya, cerita mistis seperti ini seringkali diceritakan orang dalam kehidupan nyata, meski kita belum pernah melihat bukti yang otentik. Juga tentang Wisanggeni yang mengganti nama menjadi Saman, selain agar dia bisa lolos dari kejaran aparat. Juga sebagai kelahiran dirinya yang baru karena tidak lagi menjadi pelayan Tuhan. Pergulatan batinnya ketika ia harus meninggalkan gereja, untuk menjadi seorang aktivis murni demi membela kaum tertindas. Hingga ia harus pergi ke luar negeri. Kegalauannya untuk dapat berhubungan jasmani dan ruhaninya bersama seorang wanita yaitu Yasmin.
Selanjutnya yang sering jadi sorotan tentu saja pandangan Shakuntala, Yasmin dan Cok pada hubungannya bersama lawan jenis, yang bablas. Tapi sesuai dengan segala hal yang melatar belakanginya. Namun diimbangi dengan Laila, yang tetap mempertahankan virginitasnya yang hanya akan ia berikan kepada orang yang tepat.
Well. Selanjutnya masuk ke urusan teknis. Khusus untuk saya yang masih unyu-unyu di dunia ini. Penggunaan point of view seperti ini sangat riskan. Dimana kita harus berganti peran berkali-kali, mendalami setiap karakter satu persatu. Jadinya ya tidak fokus, tapi tentu saja karena novel ini juara, Ayu Utami dapat melakukannya dengan baik. Penulisnya bisa membawa kita bernapas teratur ketika membaca bab POV Laila. Dan membuat jantung berpacu ketika membaca POV Shakuntala, karena Shakuntala ini sepanjang bab rasanya hanya berisi tentang kemarahan, kebencian dan bagaimana gairah tentang seksualitas itu bisa tercipta (puyeng).
Diksi. Saya bukan orang yang familier dengan diksi yang sedikit kasar atau jorok, meski itu sangat bernas. Tapi tetap jauh lebih banyak yang bagusnya sih dari pada yang joroknya. Hal itu tertangkap mata saya karena tidak biasa, dan rasanya masih banyak pilihan kata yang lebih baik dari itu. well....itu sebuah pilihan. Juga pilihan pembaca untuk dapat mengambil inspirasi dari sisi yang sebelah mana dari novel ini.
Saran saya, jangan simpan novel ini di sembarang tempat. Jauhkan dari jangkauan anak-anak. Bahkan yang masih remaja sekalipun, membutuhkan bimbingan orang tua (parental advisory).
Sekian saja review sotoy saya, jika ada yang pernah mereview novel ini mohon maaf ya, biar ini menjadi versi saya saja.
novel dewasa rupanya... hem, baca resensinya agak riweh dg berbagai karakter yg ada d novel
ReplyDeleteMMMMM saya jadi punya bayangan isi novel Saman yang cetar itu, ternyata...untung ga jadi beli novelnya :D #halah mo bilang ga punya duit buat beli novel kok susyah :p
ReplyDeleteUpss.. aku harus mengaku kalau aku mungkin satu2nya yang belum baca novel ini.
ReplyDeleteSetelah sering baca resensinya, aku jadi berpikir utk membelinya.. takut aja anakku yang suka banget ngobrak-abrik lemari bukuku menemukannya dan membacanya hehehe
Boleh kasih kritik? tolong tambahkan cover dan keterangan buku ^^
ReplyDeleteSaman emang legendaris. Walau demikian, bukan berarti semua orang tahu bagaimana 'rupa'nya kan? :)
kalau isi resensinya, sudah OK. membuat orang berniat membeli si Saman ^^
Kayaknya puyeng deh bacanya
ReplyDeletenovel ini kerrrrrrrrren bgt. sastra banget.
ReplyDeletenovel ini sangat legendaris karena berani "mendobrak" kultur lokal selama ini. dari dari segi cerita maupun pilihan kata sangat tidak biasa bahkan bisa dibilang anti-mainstream pada masanya (tahun 1998-an). buku ini benar benar highly recommended
ReplyDeletesaya juga sudah baca Saman. Pinjam teman (karena sdikit banyak dengar tentang kevulgaran bahasanya). Dari seluruh buku itu, bagian yang paling saya suka sama dengan teh tuti. jadi terasa banget kalau penulis benar-benar melakukan eksplorasi data. mantap. Keren. Selebihnya, tidak membuat saya ingin membaca dua kali.
ReplyDeletekalo mau alami vulgarnya Ayu Utami si malah lebih cetar di serial Bilangan Fu, itu benar-benar bejibun seksploitasinya hehe... walau unsur keindahan sastra n pesannya si Ayu (sebagai feminis sekuler) berhasil bgt dimasukin.. dan novel-novelnya Ayu Utami emang keren...
ReplyDelete