Cerpen Non-Fiksi yang lolos dalam lomba cerpen nasional bertema Kepramukaan :)
Mohon masukan dari teman-teman..
Bendera merah kuning itu berkibar sangat cepat. Aku dan
teman-teman mengamati sang pemberi pesan dari kejauhan. Dengan terbata-bata,
aku menulis pesan yang tersirat. Rangkaian kalimat belum terbaca sempurna. Padahal,
kami harus bisa memecahkan kode-kode itu dalam waktu lima menit. Kalau tak
berhasil, kami akan kesulitan menemukan tanda perjalanan.
“Carilah pita biru,” bisik Amel ke
telingaku. Aku begitu kagum karena ia mampu membaca kode semaphore dengan cepat. Aku cocokkan jawabannya dengan susunan
kalimatku.
“Bagus, Mel. Kau telah menyempurnakan
kalimatku,” pujiku di hadapan teman-teman. Aku telah mengenal Amel sejak SMP.
Saat itu kami tergabung dalam tim inti Pramuka. Asam garam pengalaman lomba
Pramuka telah kami rasakan. Selain semapohore, Amel juga pandai dalam
memecahkan kode morse. Kemampuan analisanya begitu mengagumkan. Tak jarang kami
memperoleh kemenangan dalam perlombaan. Saat SMA kami terjun dalam organisasi
yang sama, Korps Soeringgit 149.
Usai menjawab kode semaphore, kami diarahkan oleh kakak tingkat untuk menemui pos
selanjutnya. Pencarian pita biru di antara semak-semak belukar, hutan, dan kebun
kadang menemui kesulitan. Kami harus ekstra
teliti dan hati-hati jika ada duri-duri tajam ataupun waspada dari binatang
melata yang melintas. Jiwa pramuka memang identik dengan sosok petualang.
Tangguh dalam menerima tantangan dan menghadapi masalah dengan tenang.
Rute perjalanan hiking yang panjang tak membuatku jenuh. Aku sangat menikmati pemandangan
alam Gunung Ungaran dengan ungkapan syukur tak terkira. Wawasanku tentang biota
tanaman jadi semakin bertambah. Perjalanan hiking
jadi semakin bergairah. Apalagi ditemani oleh keluarga baru di KS 149. Aku
bersyukur telah mengenal mereka. Persaudaraan kami bertambah erat saat mengenal
satu sama lain.
Ada satu kenangan yang tak bisa aku
lupakan dalam perjalanan hiking itu.
Sebuah memori yang masih membekas dan menjadi pengalaman berharga bagiku. Saat
mendekati pos akhir hiking, kami
memasuki areal persawahan yang baru digarap. Seorang petani dan kerbaunya masih
membajak sawah dengan giat. Kami melihat kakak tingkat yang melambai-lambai
tangan ke arah kami. Spontan saja, kami menuju tempat pos dengan berjalan
hati-hati. Kami dikumpulkan dalam satu barisan yang memanjang di kubangan tanah
yang belum ditanami padi. Perasaanku semakin cemas karena di areal sawah itu
terdapat petak terowongan kecil yang terbuat dari tali rafia.
“Oke, sekarang lepaskan sepatu kalian
dan singkirkan barang-barang berharga yang ada di pakaian!” perintah kakak
tingkat dengan nada ketus. Aku tahu ia sengaja marah untuk memancing emosi
kami. Kemudian kami mengikuti instruktur darinya dengan setengah hati. Aku
menebak perintah selanjutnya pasti lebih menyeramkan.
“Di dalam pos terakhir ini, kalian harus
merayap terowongan sawah itu secara bergantian tanpa terkecuali. Ada harta
karun yang harus kalian temukan di antara sampah yang berceceran. Harta karun
itu sangat penting sebagai syarat masuknya anggota,” urai kakak tingkat yang
membuat bulu kudukku berdiri. Perintahnya sungguh keterlaluan. Semua anggota
kelompok harus menerobos terowongan di kubangan sawah satu per satu. Semula
kami diam dan tak mau melaksanakan perintah. Kemudian, kakak tingkat memaksa
Aulia, ketua kelompok kami untuk maju.
Aulia memberontak, “Aku tidak mau kalian
paksa. Emang kalian anggap kami apa?” Aku mengamati wajah pucat pasinya.
Sepertinya dia merasakan ketakutan yang sama.
“Ayo, jangan pakai lama. Bariskan
anggotamu untuk memasuki terowongan sekarang juga,” perintah kakak tingkatku
dengan nada emosi. Dia seorang laki-laki yang tak sekedar memberikan perintah
saja tetapi juga memberikan praktik nyata. Di dalam terowongan kecil itu, dia
menirukan cara merayap yang baik sambil mencari harta karun. Sesampai di ujung
terowongan, dia menyengir kepada kami. “Ini contoh nyata untuk kalian. Sekarang
kalian harus mencobanya secara bergantian,” katanya.
Sepintas muncul keberanianku untuk
mengikuti perintah kakak tingkat. Namun tiba-tiba emosi Aulia muncul lagi, “Ini
tidak bisa ditoleransi. Kami tidak mau melaksanakan perintah kalian,” tolak
Aulia secara tegas. Kakak tingkat tidak ambil diam. Dia menyeret kami untuk
memasuki areal terowongan secara paksa. Semua pakaian terutama jilbab coklatku
akhirnya ternoda oleh lumpur sawah. Tanah yang lembek dan penuh cacing itu
menghinggapi tubuh dan wajahku. Untungnya, tubuhku bisa menyesuaikan tinggi
terowongan hingga bisa bergerak bebas. Aku mencari-cari harta karun di penjuru
titik. Hasilnya nihil. Aku hanya menemukan beberapa sampah hingga ujung
terowongan. Aulia maju paling awal dan ia masih tampak kesal dengan kakak kelas
yang dianggapnya arrogant.
“Baik, sekarang tunjukkan benda-benda
apa yang berhasil kalian dapat,” kali ini intonasi lembut dari kakak tingkat
yang lainnya. Layaknya seorang wanita, ia pasti memahami kesulitan kami usai
melewati terowongan itu. Dia amati benda-benda yang telah berhasil kami
peroleh.
“Selamat, kalian telah berhasil
menemukan mutiara lumpur yang telah terpendam,” ungkap kakak tingkat sambil
memperlihatkan badge yang digenggam
Aulia.
“Mbak pikir permainan ini menyenangkan?
Bagiku sangat menyedihkan,” respon Aulia tiba-tiba dan beranjak keluar barisan
tanpa pamitan.
“Tunggu, Aulia. Kau mau ke mana?” tanya
Amel prihatin. Sepatu dan tasnya masih tertinggal di gundukan tanah. Sebelum
mengejar Aulia, aku sempatkan bertanya ke kakak tingkat.
“Maaf, mbak. Kondisi Aulia masih
tertekan. Kami boleh langsung pulang menuju barak perkemahan?” izinku dengan
sopan.
“Boleh, Dek. Dari areal sawah, jalan
lurus ke barat saja. Di sana kalian akan menemukan sungai kecil untuk
membersihkan diri. Selanjutnya kalian akan menemukan ladang mawar yang
merupakan halaman belakang barak perkemahan. Hati-hati di jalan, ya!” pesan
kakak tingkat yang baik hati.
“Iya, mbak. Terima kasih,” ucapku sambil
berpamitan. Aku bersama teman-teman menyusul Aulia. Sikap Aulia begitu aneh.
Emosinya mudah meledak. Padahal awalnya, ia selalu memompa kami untuk selalu
semangat.
Tak lama kemudian, akhirnya kami
berhasil mendekati Aulia. Ia berjalan sangat gontai, tampak sangat kelelahan.
“Aulia, pakai dulu sepatumu. Kakimu bisa
lecet semua,” saran Dania dari arah belakang. Aulia tak menjawab. Pandangannya
masih kosong.
“Lihat, teman, ada sungai kecil di
seberang. Sebentar lagi kita sampai ke barak perkemahan,” sahut Lena.
“Aul, kamu ga apa-apa, kan?” sapaku
merangkul bahunya. “Yuk, kita bersihkan dulu kaki dan tangan yang kotor,” ajakku
sambil menyeberangi sungai. Akhirnya ia menganggukkan kepala tanpa bicara.
Sesampai di barak, kami langsung menuju
kamar mandi untuk mensucikan diri. Aku bantu Aulia mempersiapkan pakaian
bersihnya. Selepas mandi, kami melaksanakan shalat Zuhur berjama’ah. Aku bertindak sebagai imam lalu mendo’akan
kondisi Aul agar segera pulih. Sepertinya ia masih tertekan dari peristiwa di
sawah tadi. Pandangannya ke langit-langit barak masih kosong. Suasana
ketegangan belum mencair, Aulia lalu menangis sejadi-jadinya.
Ada yang berpikir bahwa Aulia kesurupan.
Perkemahan Bantir Sumowono ini memang terkenal angker. Apapun presepsi buruk
tentang hal itu, Aku tak peduli. Aku mencoba menenangkan Aulia dengan cara
merangkulnya. Tangannya masih bergemetaran dan sangat dingin.
“Aul mau teh hangat? Agar pikiran lebih
segar lagi,” ucap seseorang mendekati kami. Dialah kakak tingkat yang
menjerumuskan kami di pos sawah tadi. Gelas teh yang masih hangat diserahkannya
dengan hati-hati. Namun sayang, Aulia tak mau meminumnya.
“Tujuan kami di pos sawah tadi
sebetulnya baik, Aul. Kami ingin para anggota KS memiliki keberanian menemukan
mutiara dalam dirinya, yaitu potensi yang selama ini terpendam. Kadang
seseorang masih belum menemukan potensinya hingga merasa menjadi orang yang
terbuang. Padahal, ia belum berusaha dan masih minder akan kemampuannya. Oleh
karena itu, kami sengaja meletakkan badge
anggota di kubangan lumpur untuk mengetahui seberapa besar usaha kalian untuk
menyadari potensi diri,” jelas kakak tingkat yang membuatku paham atas maksud
yang tersembunyi.
Tiba-tiba Aulia pingsan tak sadarkan
diri. Kami baringkan ia di alas tidur yang cukup tebal dan nyaman. Kakak
tingkat mempersilakan kami ISHOMA sampai menjelang Maghrib. Seharusnya Aulia ikut makan bersama kami. Pingsan dalam
kondisi perut kosong tentu tidak sepenuhnya nyaman.
“Ania, di mana sepatuku?” tanya Aulia
saat aku membereskan piring.
“Alhamdulillah, udah bangun, Aul? Iya,
sepatu sudah ku letakkan di samping ranselmu,” jawabku senang karena mengetahui
kesadaran Aulia.
“Kepalaku sangat pusing, An. Habis
kejadian di sawah tadi, ada sikapku yang kurang berkenan, yah? Aku minta maaf.
Omonganku jadi kemana-mana,” ungkap Aul secara spontan.
“Ga apa, Aul. Semuanya berjalan
baik-baik saja. Yuk, kita makan sebelum sholat Maghrib,” ajakku tanpa
basa-basi.
Dalam prosesnya, Aulia menjadi wakil
pemimpin KS yang membanggakan. Ia belajar mengendalikan emosi hingga mampu
memegang amanah secara baik. Sikap empati dan loyalitasnya, mampu memberikan
keteladanan kepada kami beserta adik-adik tingkat di bawahnya.
baguszzz
ReplyDeleteini blog rame2 tah?
Iyaa, Annur.. ini blog grup penulis di Fb :)
DeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeletebrrsemangat!
ReplyDeletesaya aslinya g terlalu suka dg pramuka, tp pernah jg jd tamu yg mantengin anak2 pramuka wktu di uji... ternyata mengasyikkan jg :D
ReplyDeletemungkin lebih banayk ditambah narasinya hingga bisa terasa settingnya. atau mungkin memang sengaja demikian agar memberikan kesan 'ringan'? ^^
ReplyDeleteSuka nulis? Mau tulisan kamu jadi penghasilan tambahan hingga jutaan Rupiah bahkan tak terbatas jika kamu rajin nulis dan ngeshare!
ReplyDeleteNih ikutin aja http://www.siperubahan.com/read/1381/Kabar-Gembira-SIPerubahancom-Kini-ada-Program-Tukar-Poin