Penulis: Lia Herliana
Siang
itu, langit mendung pekat. Gerimis, segera berubah menjadi hujan. Ririn berlari ke teras depan sebuah toko, untuk
berteduh. Brrr! Ririn merapat ke tembok, agar tak terpercik air hujan.
Didekapnya ranselnya di dada.
Huuf!
Tadi pagi, ia berangkat terburu-buru, sampai lupa membawa payung. Dan sekarang,
ia terjebak hujan di sini. Padahal, ada tugas Bahasa Indonesia yang belum
dikerjakannya. Besok harus dikumpulkan.
Tiga
hari yang lalu, Bu Atin, memberi tugas dengan tema Hari Kartini. Setiap murid
kelas 6, harus mewawancarai seorang wanita yang inspiratif. Yaitu, wanita yang punya
kegiatan mulia, berjiwa sosial, dan pekerja keras.
“Pokoknya,
wanita yang menurut kalian pantas menjadi teladan,” jelas Bu Atin waktu itu.
“Misalnya,
guru, atau dokter, Bu?” tanya seorang murid.
Bu
Atin mengangguk. “Boleh, tapi tak sebatas itu! Perhatikan sekitar kalian. Pasti
banyak wanita hebat, yang selama ini tidak kalian sadari! Nah, temukanlah
mereka, dan tuliskan ceritanya!”
Ririn
sudah membuat daftar pertanyaan yang akan diajukan pada narasumbernya. Nanti,
jawaban-jawabannya, akan ditulis ulang menjadi sebuah karya tulis.
Tapi,
masalahnya, sampai siang ini, Ririn belum juga menemukan seseorang untuk dijadikan
narasumber.
“Aduh
…, siapa ya yang harus aku wawancara?” batin Ririn kebingungan. Rasanya, ia tak
punya kenalan, atau keluarga, yang bisa diwawancarai.
Saat
itulah, seorang anak perempuan berlari menerobos hujan, lalu berteduh di
samping Ririn. Rambut keritingnya basah. Begitu pula kaosnya.
“Maaf,
bisa geser sedikit, tidak?” tanya anak itu pada Ririn.
“Sempit,
nih. Tidak bisa geser lagi,” jawab Ririn.
Anak itu terlihat bingung. “Aduh, bisa basah
semua, nih,” gumamnya. Ia mendekap erat kantong kresek besar yang sedari tadi
dipeluknya.
“Memang
isinya apa, sih?” tanya Ririn ingin tahu.
“Koran-koran
dan majalah bekas,” jawab anak keriting itu. “Lumayan, hehehe.”
“Buat
apa?” tanya Ririn lagi.
Anak
itu tersenyum. “Biasanya sih aku jual. Tapi, kadang aku simpan, kalau kebetulan
ada yang bagus,” tukasnya.
Ririn
makin tertarik untuk bertanya. Kelihatannya, anak di sampingnya ini… “Kamu,
pemulung, ya?”
Anak
itu menyeringai, malu-malu. “Bisa dibilang begitu. Aku biasa keliling sekitar
sini, Mencari barang rongsokan. Botol plastik, gelas plastik, kertas, koran,
apa saja. Yang penting, laku dijual.”
“Ini
tadi aku diberi orang yang sedang bongkar gudang. Lumayan, jadi aku tidak perlu
keliling jauh hari ini. Tapi, malah hujan, nih. Kalau kebasahan, nanti jadi
tidak laku,” kata anak itu lagi.
Ririn
mendengarkan dengan hati trenyuh. Benar dugaannya, anak itu pemulung. “Rumah
kamu di mana? Kamu sekolah, kan?”
Anak
itu mengangguk. “Iya, aku sekolah, kelas 5. Rumahku di kampung belakang mall
itu,” jawabnya sambil menunjuk.
“Kenapa kamu mulung?” tanya Ririn lagi.
“Ya,
karena aku pingin bantu emakku. Bapakku sudah meninggal. Emakku, kerja jadi
tukang cuci di warung makan. Mulung begini, aku bisa dapat uang
sedikit-sedikit. Buat nabung, buat beli alat tulis.”
“Kalau
kamu harus mulung, capek, dong. Kapan belajarnya?” lagi-lagi Ririn bertanya.
“Ya
malam, habis mengaji di musholla. Kadang, sambil istirahat waktu sedang mulung,
aku juga baca-baca,” sahut anak itu.
“Koran
dan majalah bekas ini, buatku tetap baru. Tetap asyik dibaca!” sambungnya lagi
penuh semangat. “Aku suka sekali baca.”
Ririn
memandangnya dengan kagum. Wah, hebat sekali dia! Meski kurang mampu dan harus
bekerja sendiri, dia tidak kenal lelah. Tetap semangat belajar. Keren!
Tiba-tiba,
Ririn tersadar. Dari tadi, ia sibuk bertanya ini-itu pada anak itu. “Seperti
sedang wawancara saja!” pikir Ririn senang.
Ya,
bukankah anak ini cocok untuk menjadi narasumber tugasnya? Dia wanita – meski
masih kecil, sih - dan dia hebat! Punya
cita-cita tinggi, punya semangat, mau kerja keras. Bisa menjadi teladan, buat
anak-anak lainnya.
Ririn
jadi tambah bersemangat. Diputuskannya untuk terus me’wawancara’. Mengobrol
dengan anak ini, sangat asyik. Ririn merasa tak perlu daftar pertanyaan lagi.
Semua ceritanya, mengalir dan menyentuh. Pasti, hasil tugasnya nanti unik,
karena narasumbernya juga unik!
Kedua anak perempuan itu kembali asyik
mengobrol. Tak terasa, hujan akhirnya berhenti. Menyisakan rintik gerimis saja.
“Eh,
ngomong-ngomong, namamu siapa?” tanya Ririn lagi.
“Kartini!”
jawab anak keriting itu, mengagetkan Ririn.
“Hei,
hujannya sudah berhenti! Aku duluan, ya!” Anak itu, Kartini, melesat menembus
gerimis, Plastik ‘harta karun’-nya, didekap erat di dada.
Ririn
memandanginya berlari menjauh. Dalam hati ia berdoa, semoga Kartini bisa
mencapai cita-citanya. Dan semoga, semangat Kartini menular padanya, juga
anak-anak lainnya.
Bagus...
ReplyDelete