Thursday, July 25, 2013

[Cerpen] Mencari Kartini


Penulis: Lia Herliana

Siang itu, langit mendung pekat. Gerimis, segera berubah menjadi hujan. Ririn  berlari ke teras depan sebuah toko, untuk berteduh. Brrr! Ririn merapat ke tembok, agar tak terpercik air hujan. Didekapnya ranselnya di dada.
Huuf! Tadi pagi, ia berangkat terburu-buru, sampai lupa membawa payung. Dan sekarang, ia terjebak hujan di sini. Padahal, ada tugas Bahasa Indonesia yang belum dikerjakannya. Besok harus dikumpulkan.
Tiga hari yang lalu, Bu Atin, memberi tugas dengan tema Hari Kartini. Setiap murid kelas 6, harus mewawancarai seorang wanita yang inspiratif. Yaitu, wanita yang punya kegiatan mulia, berjiwa sosial, dan pekerja keras.
“Pokoknya, wanita yang menurut kalian pantas menjadi teladan,” jelas Bu Atin waktu itu.
“Misalnya, guru, atau dokter, Bu?” tanya seorang murid.
Bu Atin mengangguk. “Boleh, tapi tak sebatas itu! Perhatikan sekitar kalian. Pasti banyak wanita hebat, yang selama ini tidak kalian sadari! Nah, temukanlah mereka, dan tuliskan ceritanya!”
Ririn sudah membuat daftar pertanyaan yang akan diajukan pada narasumbernya. Nanti, jawaban-jawabannya, akan ditulis ulang menjadi sebuah karya tulis.
Tapi, masalahnya, sampai siang ini, Ririn belum juga menemukan seseorang untuk dijadikan narasumber.
“Aduh …, siapa ya yang harus aku wawancara?” batin Ririn kebingungan. Rasanya, ia tak punya kenalan, atau keluarga, yang bisa diwawancarai.
Saat itulah, seorang anak perempuan berlari menerobos hujan, lalu berteduh di samping Ririn. Rambut keritingnya basah. Begitu pula kaosnya.
“Maaf, bisa geser sedikit, tidak?” tanya anak itu pada Ririn.
“Sempit, nih. Tidak bisa geser lagi,” jawab Ririn.
 Anak itu terlihat bingung. “Aduh, bisa basah semua, nih,” gumamnya. Ia mendekap erat kantong kresek besar yang sedari tadi dipeluknya.
“Memang isinya apa, sih?” tanya Ririn ingin tahu.
“Koran-koran dan majalah bekas,” jawab anak keriting itu. “Lumayan, hehehe.”
“Buat apa?” tanya Ririn lagi.
Anak itu tersenyum. “Biasanya sih aku jual. Tapi, kadang aku simpan, kalau kebetulan ada yang bagus,” tukasnya.
Ririn makin tertarik untuk bertanya. Kelihatannya, anak di sampingnya ini… “Kamu, pemulung, ya?”
Anak itu menyeringai, malu-malu. “Bisa dibilang begitu. Aku biasa keliling sekitar sini, Mencari barang rongsokan. Botol plastik, gelas plastik, kertas, koran, apa saja. Yang penting, laku dijual.”
“Ini tadi aku diberi orang yang sedang bongkar gudang. Lumayan, jadi aku tidak perlu keliling jauh hari ini. Tapi, malah hujan, nih. Kalau kebasahan, nanti jadi tidak laku,” kata anak itu lagi.
Ririn mendengarkan dengan hati trenyuh. Benar dugaannya, anak itu pemulung. “Rumah kamu di mana? Kamu sekolah, kan?”
Anak itu mengangguk. “Iya, aku sekolah, kelas 5. Rumahku di kampung belakang mall itu,” jawabnya sambil menunjuk.
“Kenapa kamu mulung?” tanya Ririn lagi.             
“Ya, karena aku pingin bantu emakku. Bapakku sudah meninggal. Emakku, kerja jadi tukang cuci di warung makan. Mulung begini, aku bisa dapat uang sedikit-sedikit. Buat nabung, buat beli alat tulis.”
“Kalau kamu harus mulung, capek, dong. Kapan belajarnya?” lagi-lagi Ririn bertanya.
“Ya malam, habis mengaji di musholla. Kadang, sambil istirahat waktu sedang mulung, aku juga baca-baca,” sahut anak itu.
“Koran dan majalah bekas ini, buatku tetap baru. Tetap asyik dibaca!” sambungnya lagi penuh semangat. “Aku suka sekali baca.”
Ririn memandangnya dengan kagum. Wah, hebat sekali dia! Meski kurang mampu dan harus bekerja sendiri, dia tidak kenal lelah. Tetap semangat belajar. Keren!
Tiba-tiba, Ririn tersadar. Dari tadi, ia sibuk bertanya ini-itu pada anak itu. “Seperti sedang wawancara saja!” pikir Ririn senang.
Ya, bukankah anak ini cocok untuk menjadi narasumber tugasnya? Dia wanita – meski masih kecil, sih -  dan dia hebat! Punya cita-cita tinggi, punya semangat, mau kerja keras. Bisa menjadi teladan, buat anak-anak lainnya.
Ririn jadi tambah bersemangat. Diputuskannya untuk terus me’wawancara’. Mengobrol dengan anak ini, sangat asyik. Ririn merasa tak perlu daftar pertanyaan lagi. Semua ceritanya, mengalir dan menyentuh. Pasti, hasil tugasnya nanti unik, karena narasumbernya juga unik!
 Kedua anak perempuan itu kembali asyik mengobrol. Tak terasa, hujan akhirnya berhenti. Menyisakan rintik gerimis saja.
“Eh, ngomong-ngomong, namamu siapa?” tanya Ririn lagi.
“Kartini!” jawab anak keriting itu, mengagetkan Ririn.
“Hei, hujannya sudah berhenti! Aku duluan, ya!” Anak itu, Kartini, melesat menembus gerimis, Plastik ‘harta karun’-nya, didekap erat di dada.
Ririn memandanginya berlari menjauh. Dalam hati ia berdoa, semoga Kartini bisa mencapai cita-citanya. Dan semoga, semangat Kartini menular padanya, juga anak-anak lainnya.

1 comment:

Terima kasih telah berkunjung ke blog BaW. Mohon kritik dan komentar yang membangun untuk setiap postingan ;)