Balada Pengemis*)
Oleh: Irhayati Harun
Dia masih berkutat di dapur sebagai
tukang masak disebuah restoran padang yang cukup besar di salah satu
sudut kota Jakarta. Hawa panas yang keluar mengitari setiap sudut dapur
tanpa ampun. Keringat bercucuran disekujur tubuhnya. Sungguh! Hawa panas
yang dirasakannya ini tak seberapa dengan rasa panas yang menjalar
didalam tubuhnya, hingga membuat hatinya menggelegak bila mengingat
kelakuan saudara saudaranya yang begitu rendah dimatanya.
Rasa gerah
yang terpancar karena antusiasnya yang tinggi dalam mengolah aneka lauk
padang di rumah makan ini, mampu mengeluarkan beribu-ribu keringat
kemarahannya, yang bersumber pada sebuah nama.
“Uda Aznan
benar-benar sudah kelewatan!”
Dia mengeluhkan nama itu seirama dengan
ayunan pisaunya yang tajam. Yang tanpa perasaan memotong-motong
berkilo-kilo daging yang teronggok pasrah diatas meja pembantaian.
“Mengapa
Udanya itu tak pernah berhenti membuat masalah?”
Dia pun semakin
bekerja dengan kerasnya, agar kemarahannya tersalurkan dengan baik.
Meski badannya sudah basah penuh keringat. Yang bila tak dikeluarkan
lewat kerja kerasnya ini, akan menyumbat pori-pori kesabarannya. Hingga
mampu merasuki otaknya yang akan membuatnya semakin gila karena
emosinya. Emosi marah, benci, sedih, juga rasa prihatin yang dalam.
Pelampiasan jiwanya yang sempurna.
“Jadi, kapan kamu bisa pulang
Rusli? Abak sekarang dirawat dirumah sakit karena serangan jantung. Dia
terus menyebut-nyebut namamu,” ujar Mande tadi malam sambil terisak-isak
lewat telepon.
Kalimat tanya itulah yang kini mendesak kuat
dalam otaknya. Seolah-olah ingin memecahkan tempurung kepalanya.
Bagaikan bom waktu yang menolak untuk tak diledakkan. Memicu
adrenalinnya agar segera bereaksi terhadap serangan rasa kesal yang
memuncak.
“Kau benar-benar membuatku muak, Da!”
Dia
meremas-remas kelapa dengan sepenuh rasa gemes, agar menghasilkan santan
kental yang sempurna.
Setelah berjam-jam, akhirnya tersajilah
dihadapannya gulai ikan, kari ayam, juga rendang. Menu seperti ayam
pop, ikan asam pedas, sayur nangka, tauco juga menu lainnya, telah
disiapkan oleh dua orang tukang masak yang sedari tadi di dapur
membantunya. Para pelayan yang lainpun segera membawanya ke panglong,
untuk segera menatanya sebelum matahari beranjak lebih tinggi.
Tak
lama kemudian, beberapa pelanggan mulai berdatangan. Ada yang memesan
makan di meja. Ada juga yang minta dibungkus untuk dibawa pulang.
Melihat kesibukan para pelayan, dia pun segera turun tangan untuk ikut
melayani. Setelah hari beranjak sore, para pembeli tetap ramai.
Tiba-tiba seorang lelaki yang usianya belum begitu tua, dengan pakaian
compang-camping dan sebuah kaleng bekas ikut dalam antrian pembeli. Tak
salah lagi, lelaki ini adalah pengemis yang sering ia lihat dipinggir
jalan. Mau apa dia kesini? Batinnya. Lalu ia lihat pengemis itu duduk
disalah satu kursi yang kosong.
“Da. Saya minta dihidangkan lauk
yang ada dirumah makan ini secepatnya!”
Saya termangu tak percaya
mendengarnya. Apalagi begitu dihidangkan, pengemis itu menghabiskan satu
porsi daging ayam, rendang, juga lauk yang lainnya. Begitu selesai
menghabiskan makannya, pengemis itu juga memesan jus.
Dia tak menduga
bahwa seorang pengemis bisa menghabiskan aneka lauk yang lumayan
banyak. Setelah dihitung anggarannya hampir lima puluh ribu. Apakah
orang ini bisa membayarnya? Mengingat profesinya hanyalah seorang
peminta-peminta dipinggir jalan.
Tapi prasangkanya meleset.
Dengan entengnya pengemis itu pergi kekasir, dan mengeluarkan uang
seribuan yang lumayan banyak. Setelah dihitung genap lima puluh ribu.
Bahkan setelah dibayarkan, masih tersisa setumpuk uang ribuan dari
kaleng bekas yang ia keluarkan. Benar-benar fantastis! Bagaimana bisa?
Iseng-iseng dia pun mendekat untuk mencari tahu.
“Apakah Bapak
tidak sayang menghabiskan uang segitu banyak hanya untuk makan? Bagimana
kalau besok Bapak tidak punya uang lagi? tanyanya penasaran
“Yah,
saya mengemis lagi,” jawabnya enteng sambil berlalu pergi.
Dia
hanya bisa geleng-geleng kepala. Semudah itukah? Dia langsung teringat
pada Anak-anak Abak yang begitu mudahnya menghambur-hamburkan uang,
tanpa perlu kerja keras. Hanya cukup menadahkan tangan setiap saat pada
Abaknya. Pantaslah kalau seseorang yang bisa mendapatkan uang tanpa
bersusah payah, akan berpikir untuk menghabiskannya dengan mudah juga.
Karena tak pernah merasakan susahnya mencari uang dengan bekerja
membanting tulang. Persis dengan yang dilakukan oleh pengemis barusan.
Dia semakin miris saja memikirkannya. Itulah sebabnya dia memilih pergi
merantau sejauh-jauhnya, karena tak ingin terus-menerus makan hati
melihat kelakuan Udanya.
Bukannya dia tak ingin pulang. Bertemu
Abak dan Mande di kampung halaman. Dia hanya tak ingin melihat lagi muka
Uda Aznan yang kini pengangguran, tapi tak pernah berhenti meminta uang
hanya untuk difoya-foyakan bersama teman-temannya. Padahal dulu Abak
sudah susah payah menyekolahkannya hingga menjadi sarjana. Fasilitas
seperti mobil, handphone blakberry, laptop, juga uang saku yang tidak
sedikit selalu dikasih setiap bulannya. Tapi hasilnya? hanya menjadi
benalu saja dikeluarga. Benar-benar memalukan!
Belum lagi Uni
Etty yang masih suka meminta uang belanja, karena suaminya yang tak
berguna itu kerap memilih-milih pekerjaan. Dan ujung-ujungnya setelah
menjadi suami pengangguran, Abak dan Mande jua yang disusahkan.
Alasannya sih minjam!tapi tak pernah dikembalikan.
Untuk membeli susu
anaknyalah! Untuk makan sehari-harilah! Dan yang lebih tak berperasaan
lagi meminta uang saban hari buat kebutuhan hidup suaminya yang tidak
sedikit. Karena harus merokok dan bolak-balik ngerental ke warnet.
Alasannya sih, mencari pekerjaan. Tapi mana buktinya? Berbulan-bulan
hanya makan, tidur, dan kewarnet seharian. Entah apa saja yang ia
lakukan selama hampir semalaman.
Dia sudah berusaha mengingatkan
Abak agar tak terlalu memanjakan anak-anaknya. Siapa lagi kalau bukan
Uda Aznan dan Uni Elly. Tapi Abak mengaku sering tidak tega bila tak
menuruti keinginan mereka. Dengan alasan kalau dulu Abak pernah
menderita semasa kecilnya karena hidup miskin. Dan Abak tak ingin
anak-anaknya merasakan penderitaan yang pernah dia alami.
“Biarlah
Rusli. Mumpung Abak punya uang. Lagipula buat apa uang kalau anak-anak
Abak hidup susah?”
“Tapi cara Abak salah. Harusnya mereka belajar
mandiri dengan bekerja! meskipun Abak kaya,” jawabnya sewot.
“Nanti
juga Udamu akan Abak ajarkan berdagang,” Abak berkata lembut. Biarkan
saja dia sekarang bersenang-senang dulu.”
Kenyataannya, Udanya
bukan semakin mandiri, tapi semakin keenakan dengan segala fasilitas
yang diberikan Abak. Pernah sih Uda diberi modal untuk berdagang. Tapi
uangnya habis, hasil jualannya tak pernah nampak. Setelah itu, selalu
memberikan seribu satu alasan bila diajak Abak berdagang. Dia sudah
kehabisan kata-kata melihat tingkah laku Udanya itu. Belum lagi Uni Etty
yang masih bergantung pada orangtua dari segi keuangan, meskipun sudah
menikah.Tak tahan lagi, dia pun segera angkat kaki dari rumah. Dan
memilih bekerja di Ibukota. Sampai akhirnya dia diterima bekerja di
restoran.
Sudah cukup lama dia bekerja direstoran besar ini.
Mulanya dia ditraining sebagai tukang cuci piring selama tiga bulan.
Lalu meningkat sebagai pelayan yang menyiapkan pesanan dimeja makan,
juga yang dibungkus. Dan sekarang tugasnya lebih berat lagi yaitu
sebagai tukang masak utama. Dialah kunci dari larisnya restoran padang
ini. Bila dia sembarangan mengolah masakannya, maka rasa yang didapat
tak dapat memuaskan selera para pelanggan. Hasil masakannya harus
mendekati sempurna, lewat resep turun-temurun si pemiliknya.
Dari
gaji yang ia terima, dia bisa menghidupi dirinya sendiri. Lebih baik
begini, daripada dia harus tinggal dirumahnya yang mewah, yang dengan
mudahnya menikmati hidup enak tanpa harus bekerja. Apalagi sampai
mengemis harta kekayaan keluarganya. Seperti yang dilakukan
saudara-saudaranya.
Dengan tekat kuat, dia memutuskan untuk pergi
dari rumahnya yang menurutnya begitu nyaman bagi para pemalas. Dan
menghilangkan rasa gengsinya untuk bekerja apa saja yang penting bisa
hidup diatas kakinya sendiri. Dia lebih bangga dipandang sebagai pelayan
yang bisa hidup mandiri, daripada sebagai anak orang kaya yang hanya
bisa menggerogoti harta orangtuanya.
Dia hanya butuh kerja keras
dalam hidupnya, agar dia bisa bernafas dengan hati yang lebih damai dan
tenang meski uang yang ia terima tak seberapa. Daripada sibuk
menghitung jatah warisan, dan memilih ribut untuk mendapatkannya. Yang
terpenting, dia memiliki Goal yang jelas dalam hidupnya. Hingga berusaha
mencari Resolusi yang tepat untuk planning hidup ke depannya.
Yah…suatu
saat, dia ingin memiliki usaha rumah makan sendiri, dengan banyaknya
cabang dimana-mana. Dan dia tak akan berhenti menimba ilmu
sebanyak-banyaknya dari pekerjaan yang ia tekuni sekarang. Karena niat
awalnya tak ingin menyusahkan keluarganya dengan mengeluarkan sejumlah
modal bagi cita-citanya untuk berwirausaha. Meski berapapun jumlah yang
ia minta orangtuanya bisa menyanggupinya, dengan harta berlimpah yang
mereka miliki.
Tapi dia merasa lebih terhormat bila modal itu ia
peroleh dari setiap tetes keringatnya sendiri. Lebih tepatnya, dia tak
ingin dicap sebagai orang yang bermental pengemis! Yang hanya mampu
menadahkan tangan kebawah daripada selamanya berada diatas. Sebuah
prilaku yang sangat rendah dan hina menurutnya.
“Apalagi yang telah
Uda lakukan Mande? Hingga Abak kembali terkena serangan jantung,” aku
bertanya penuh sesal didada, saat sudah berada dirumah sakit. Abaklah
yang menjadi alasannya untuk kembali pulang. Setelah tiga tahun lamanya.
“Beberapa
hari yang lalu, Udamu memaksa Abak memberikan jatah warisan padanya,
karena dirinya terlibat hutang ratusan juta pada temannya. Dan Abak kau
marah besar mendengarnya, hingga jatuh semaput karena shok.”
“Benar-benar
tak tahu diri si Uda. Abak belum mati saja dia sudah mengincar harta
warisannya.” Dia mengepalkan tangannya dengan kencang. Giginya
bergemeretuk menahan emosinya yang membeludak. Dan, tembok didepannya
menjadi sasaran kemarahannya.
“Apa yang kamu lakukan Rusli? Lihat
tangannmu sampai berdarah! Mande tak mau jatuh korban lagi Nak,” Mande
menangis sambil memeluknya yang masih berdiri dengan mata memerah, bak
banteng yang siap menubruk lawan didepannya.
Tak lama kemudian,
seorang dokter paruh baya keluar dari ruang ICU
“Bagaimana dengan
Abak saya dok? Apakah dia berhasil melewati masa kritisnya?”
“Saya
harap kalian bisa tabah mendengarnya. Abak kalian tak mampu bertahan.
Akhirnya, dia dipanggil Tuhan.” Ruslipun segera berlari ke kamar.
Sontak
Rusli meraung-raung di depan jenazah Abak. Mande pun menangis pilu
disampingnya. Sementara Uda Aznan hanya diam terpaku. Tak lama Uni
datang dan menangis histeris sambil memeluk jenazah Abak. Dia tak tahu
pasti apa arti tangisan Uninya. Apakah tangis penyesalan atau tangis
buatan. Karena tak lama setelah Abak dimakamkan, wajah Uni dan Udanya
tak tampak seperti orang yang sedang dirundung duka. Dia sendiri tak
sanggup menelan makanan ke mulutnya. Setiap malam dia hanya duduk sambil
menatap foto Abak. Maafkan Rusli Bak. Karena belum bisa membahagiakan
Abak.Dalam hati dia menangis pedih.
Tak ingin berlama-lama dirumah,
dia memutuskan kembali ke Jakarta. Meski Mande meminta dia untuk tidak
pergi, tapi tekadnya sudah bulat. Dia tak ingin lebih lama lagi berada
dirumah ini. Dia pun mempersiapkan baju yang akan dibawa besok.
Tiba-tiba
Uda Aznan masuk kedalam kamarnya.
“Buat apa buru-buru balik Rusli.
Kamu kan sudah lama tidak pulang. Belum lepas rindu kami padamu.”
“Rusli
sudah tidak punya urusan lagi dirumah ini!” jawabnya ketus
“Kamu
masih punya urusan untuk menandatangani surat warisan Rusli, agar segera
bisa dibagi rata,” Uda Aznan memberikan sebuah surat bermaterai
padanya. Tapi dia tak tertarik membaca isinya lebih lanjut.
Sekali
lagi darahnya mendidih mendengar ucapan Udanya yang gila harta.
Benar-benar tak punya hati. Belum juga kering kuburan Abak, sudah sibuk
mau bagi-bagi harta peninggalan yang memang tidak sedikit. Mulai dari
beberapa hektar tanah, tiga buah rumah yang cukup besar, juga beberapa
buah mobil.
“Asal Uda tahu, sedikitpun Rusli tidak tertarik
dengan harta warisan peninggalan Abak, sebab Rusli bisa hidup dengan
bekerja. Tidak ongkang-ongkang kaki seperti Uda! Lagipula, Mande kan
masih hidup? pikirkan baik baik Da? Dimana Mande akan tinggal kalau
semua harta Abak langsung dijual dan dibagi-bagikan!”
“Mande kan bisa
ikut kamu. Gak masalahkan?”
“Kalau begitu, buang jauh-jauh dari otak
Uda kalau Rusli akan menandatangani surat wasiat itu.”
“Berlagak
sekali kau Rusli! Mentang-mentang sudah punya kerjaan di kota
metropolitan. Tapi, apa cukup? Paling-paling hanya lepas buat makan .
Mana bisa punya rumah dan mobil yang bagus kayak disini,” Uda Aznan
mencibir.
“Akan Rusli buktikan! Sekarang sebaiknya Uda segera keluar
dari kamar ini, karena Rusli mau istirahat!” Dia berkata sambil
merebahkan badannya diatas kasur. Sementara Uda Aznan keluar dari kamar
sambil menggerutu. Dan Rusli tersenyun puas karena bisa mengalahkan
keserakahan Udanya. Tekadnya untuk segera pergi pun semakin bulat. Suatu
hari, dia akan kembali kerumah ini setelah menjadi seorang saudagar
yang kaya raya, tanpa perlu meminta-minta harta dari orang tua.
*Cerpen ini terpilih dalam 12 Cerpen Pilihan Annida Online
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung ke blog BaW. Mohon kritik dan komentar yang membangun untuk setiap postingan ;)