Sunday, July 7, 2013

[Diary Day] Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya


Alhamdulillah, berkat ilmu dari BAW dan doa teman-teman di sini, tulisan saya muncul di rubrik Renungan Paras. Mbak Iir yang ngasih beritanya, :-)

Oh iya, sebenarnya saya mengirimkan ini untuk Rubrik Pelangi, tapi dimasukkan ke Rubrik Renungan oleh Paras. Kalau teman-teman punya kisah yang menginspirasi, kirim ke Paras oke juga, tuh. Lumayan, dapat baju dan kerudung cantik, :-) *kedip-kedip

Tulisan Mba Ary ini dimuat di Majalah Paras (Juni 2003)



Buah Jatuh (Bisa) Jauh dari Pohonnya
Oleh Ary Nur Azizah

Ary Nur Azizah
Semalam, kami kedatangan tamu istimewa. Boy, kawan Thariq anak sulung saya, berkunjung ke rumah bersama kedua orang tuanya. Sebuah keluarga dari Indonesia. Dari kampung halaman yang sama dengan suami. Terus terang, dikunjungi oleh sesama perantau membuat kami merasa bahagia. Bagi kami dan para perantau pada umumnya, kawan ibarat saudara. Keberadaan mereka sangat berarti.


Menurut penuturan orang tuanya, Boy hendak meminjam buku pelajaran. Sudah berkeliling ke toko buku di seluruh Johor, tetap saja mereka belum menemukannya. Memang, sebagai pendatang, kami diwajibkan membeli buku sendiri. Tak ada pinjaman seperti yang diberikan kepada anak-anak Malaysia. Sayangnya, jumlah persediaan buku di pasaran seringkali tak mencukupi. Jika tak membelinya awal-awal, bisa-bisa kehabisan stock sehingga harus foto kopi.
Sementara anak-anak mengerjakan tugas, kami pun akrab bercerita. Saling mengabarkan aktivitas masing-masing. Saling menyemangati untuk melakukan yang terbaik.

Kami mengenal keluarga Boy lebih kurang tiga tahun yang lalu. Ayah Boy masuk ke Malaysia dengan visa kerja, sebagai TKI sejak tahun 1985. Artinya, sudah dua puluh delapan tahun beliau berdomisili di negeri ini.

Ketika datang untuk pertama kali, Ayah Boy hanya seorang buruh bangunan. Belasan tahun kemudian barulah ia dipercaya oleh seorang toke (pemilik usaha) berkebangsaan China untuk menjadi mandor. Dan sekarang ini, ia sudah menjadi tangan kanan sang toke untuk membawahi banyak buruh bangunan yang didatangkan dari kampung halamannya.

Ada yang membuat ia berbeda dengan para TKI lainnya.

Lelaki berusia empat puluh tahunan itu mengajak serta anak dan istrinya. Memangnya boleh? Begitu pertanyaan yang muncul dari kebanyakan orang, termasuk saya.

Kenyataannya boleh, meski urusannya tak semudah seorang pelajar atau ekspatriat tentunya.

Dalam urusan perijinan saja, baru dua tahun ini mereka diberikan visa tahunan. Awalnya, setiap enam bulan mereka harus memperbarui ijin tinggal. Bahkan, pernah beberapa kali mereka hanya menerima visa per tiga bulan. Pun tak seperti kami, visa keluarga pelajar yang diuruskan oleh pihak universitas, Ayah Boy harus melewati setiap step pengurusan visa sendirian. Lengkap dengan berbagai interview yang rumit dan menegangkan. Beruntung, pengalamannya tinggal cukup lama di sini, membuat keluarga itu selalu lolos dan mendapatkan ijin untuk masa berikutnya.

Dan yang membuat saya kagum pada kedua orang tua Boy adalah tujuan mereka tinggal di sini. Mereka ingin bisa menyekolahkan Boy di tempat yang lebih baik daripada yang pernah mereka alami. Bukan hanya itu. Ayah Boy ternyata sangat fokus terhadap pendidikan anaknya.

Semasa TK, Boy sekolah di sebuah TK internasional dengan tujuan agar cakap berbahasa Inggris. Ia juga dimasukkan ke sebuah tahfiz Al Quran agar pandai mengaji. Setelah sang anak masuk SD pun, Boy masih diikutkan kursus ini dan itu, bahkan didaftarkan pada kursus internet berlangganan dengan harga yang tak murah. Semuanya demi kemudahan dan kelancarannya dalam menuntut ilmu. Dan ketika semangat belajar sang anak menurun, kedua orang tuanya mengantarkan Boy ke rumah kami untuk belajar bersama Thariq.
Masya Allah! Saya dan suami salut terhadap kegigihan mereka.

“Hanya itu yang bisa kami berikan pada Boy supaya masa depannya lebih baik daripada kami, Mas… Mbak. Kami tak bisa mengajarinya karena kami tak cukup sekolah. Saya bahkan tak lulus SD dan tak bisa mengaji,” ujar Sang Ayah di akhir penjelasannya.
***
Hidup memang sebuah pilihan, termasuk masalah pendidikan.

Prinsip yang dipegang oleh setiap keluarga dalam urusan ini tak selalu sama. Yang jelas, tujuan orang tua Boy bisa diacungi jempol. Keinginan untuk merancang masa depan yang baik bagi si buah hati, patut diberikan penghargaan. Tak banyak orang dengan latar belakang pendidikan seperti mereka memiliki pemikiran yang sama. Tak banyak juga orang yang sedemikian detail memikirkan pendidikan anaknya, lantas mau berkorban apa saja untuk mewujudkannya.

Akan dipandang wajar jika seseorang dari kalangan berada, mampu menuntaskan pendidikannya di tempat terbaik pada level yang tinggi. Terlebih jika orang tersebut berasal dari keluarga terpelajar.

“Maklumlah, orang ayahnya juga profesor!” begini umumnya komentar orang.
Sebaliknya, semua orang akan memandang takjub ketika seorang doktor, misalnya, lahir dari orang tua yang tingkat pendidikannya tidak seberapa.
Bagi kami berdua, keluarga Boy adalah teladan. Meski mungkin kami tak akan meniru setiap keputusan yang mereka ambil, setidaknya kami akan mencontoh semangat mereka dalam memberikan pendidikan. Mengusahakan yang terbaik bagi amanah yang dititipkan Allah pada kami.

Dan dari Thariq kami mendapatkan cerita, bahwa Boy termasuk anak yang cerdas di kelasnya. Ia berada di kelas unggulan dan masuk dalam jajaran top ten. Maka tak berlebihan bukan, jika saya katakan bahwa buah jatuh (bisa) jauh dari pohonnya?

Dengan usaha yang tepat dan sungguh-sungguh, tentunya.***

Artikel di atas terdiri dari 4.271 karakter termasuk judul.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung ke blog BaW. Mohon kritik dan komentar yang membangun untuk setiap postingan ;)