|
|
Oleh: Irhayati Harun
Dimuat di Rubrik Pelangi, Majalah Paras, Juni 2003
|
Irhayati Harun |
Sebagai cucu pertama, nenek selalu memperlakukan Uda Wan dengan
istimewa. Gimana enggak! Sedari kecil bila Uda mau Makan, nenek selalu
menghidangkan rendang. Bahkan kerap nenek menyimpan rapat rendang
kesukaan Uda agar tak dimakan oleh adik-adiknya. Tak heran setelah Uda
menikah pun rendang harus tersedia di atas meja. Celakanya lagi istri
Uda yang berasal dari suku Jawa, tidak mahir memasak rendang. Tapi demi
memenuhi selera suami tercinta, istrinya rela berburu resep rendang
kemana pun juga. Bahkan dengan sabar istrinya menimbang setiap bahan
agar jangan sampai kelewat 1 gram pun dari ukuran yang tertulis di buku
resep. Hasilnya? Tadaaaa...!!!
“Mengapa rasanya jauh berbeda
dari rendang buatan (alm) nenek?” Protes Uda. Tak habis akal Uda pun
mengkursuskan istrinya ke saudara yang pintar memasak rendang juga.
Minimal rasanya gak jauh bedalah dengan rendang buatan nenek tercinta. Aku
pikir nenek pasti punya alasan tersendiri. Mungkin nenek ingin cucu
pertamanya mencicipi resep andalannya yaitu rendang. Perlu pembaca
ketahui, akibat rendang buatan neneklah restoran Abak mencapai puncak
kejayaannya. Yah, ibaratnya rendang adalah masterpiece restoran kami.
Uniknya lagi selain rasa rendang nenek yang jauh lebih enak dengan
rendang lainnya (red: kalau kata pak Bondan Winarno sih ’maknyus’)
ritual memasak nenek juga lain dari tukang masak yang lainnya. Bahkan
tak akan ditemui pada “master chef” sekalipun hehehehe. Yah,
selain menyiapkan bumbu-bumbu komplit hasil racikannya sendiri, nenek
juga menyiapkan “jampi-jampi”. Eits! Jangan su’uzon dulu. Jampi-jampi
nenek bukanlah sejenis sihir atau pelet agar rendangnya laku. Nenek
hanya membacakan doa-doa yang di ambil dari Al-qur’an. Mungkin dalam
doanya nenek meminta keberkahan. Ritual menghidangkan Uda makan tak
pernah hilang. Meskipun tak selamanya ada rendang. Hal itu tetap terjadi
saat restoran kami terbakar hingga ekonomi keluarga mengalami pailit.
Disusul tak lama kemudian Abak meninggal dunia Akan tetapi berkat
kesabaran dan ketekunan Uda jugalah perlahan-lahan ekonomi keluarga kami
terangkat naik kembali, sehingga semua adik-adiknya termasuk saya,
bisa berkuliah ke Pulau Jawa. Yah, meminjam filsafah rendang
yang butuh kesabaran dalam menggodok rendang hingga berjam-jam agar
hasilnya sempurna, Uda juga melalui proses yang tidak sebentar untuk
mencapai sukses hingga berhasil mendirikan perusahaan sendiri. Jauh
sebelum Uda berhasil, beliau pernah merasakan ejekan sanak saudara
ketika mengangggur begitu tamat dari kuliah. Dibilang “sarjana pak ogah”
lah, atau “buat apa jadi sarjana kalau akhirnya gak bisa kaya?”dan
ejekan-ejekan lainnya. Kesabaran Uda kembali diuji ketika
mendapati beasiswanya dibatalkan. Rupanya selidik punya selidik ada
permainan uang dari perwakilan lembaga yang memberi Uda beasiswa. Namun
usaha dan kerja keras Uda akhirnya terbayar juga. Beliau kembali
mendapat bea siswa untuk sekolah ke luar negeri di bidang Manajemen
Bisnis. Lagi-lagi Uda tak ingin berpindah rasa dengan meminta dikirimin
rendang meskipun telah mencicip aneka kuliner luar negeri. Dilemanya
ketika Uda tak mau berpantang makanan berlemak dan bersantan terutama
rendang. Padahal dokter telah mewanti-wanti saat Uda divonis terkena
kanker hati. Memang selama ini kesukaan Uda pada rendang dan masakan
Padang tak diimbangi dengan pola hidup sehat yaitu olahraga dan
makan-makanan berserat. Uda memang anti makan sayuran. Tak dinyana,
akhirnya perjalanan ‘si rendang’ untuk terus menemani Uda Wan sahabat
sejatinya harus berakhir. Setelah dua tahun menjalani pengobatan Uda
pun tak bisa bertahan Tepat di bulan kelahirannya Uda Wan pergi untuk
selama-lamanya. Namun Uda Wan dan rendang akan terus hidup di tengah
keluarga kami.
|
|
|
|
Oleh: Irhayati Harun
Dimuat di Rubrik Pelangi, Majalah Paras, Juni 2003
|
Irhayati Harun |
Sebagai cucu pertama, nenek selalu memperlakukan Uda Wan dengan
istimewa. Gimana enggak! Sedari kecil bila Uda mau Makan, nenek selalu
menghidangkan rendang. Bahkan kerap nenek menyimpan rapat rendang
kesukaan Uda agar tak dimakan oleh adik-adiknya. Tak heran setelah Uda
menikah pun rendang harus tersedia di atas meja. Celakanya lagi istri
Uda yang berasal dari suku Jawa, tidak mahir memasak rendang. Tapi demi
memenuhi selera suami tercinta, istrinya rela berburu resep rendang
kemana pun juga. Bahkan dengan sabar istrinya menimbang setiap bahan
agar jangan sampai kelewat 1 gram pun dari ukuran yang tertulis di buku
resep. Hasilnya? Tadaaaa...!!!
“Mengapa rasanya jauh berbeda
dari rendang buatan (alm) nenek?” Protes Uda. Tak habis akal Uda pun
mengkursuskan istrinya ke saudara yang pintar memasak rendang juga.
Minimal rasanya gak jauh bedalah dengan rendang buatan nenek tercinta.
Aku
pikir nenek pasti punya alasan tersendiri. Mungkin nenek ingin cucu
pertamanya mencicipi resep andalannya yaitu rendang. Perlu pembaca
ketahui, akibat rendang buatan neneklah restoran Abak mencapai puncak
kejayaannya. Yah, ibaratnya rendang adalah masterpiece restoran kami.
Uniknya lagi selain rasa rendang nenek yang jauh lebih enak dengan
rendang lainnya (red: kalau kata pak Bondan Winarno sih ’maknyus’)
ritual memasak nenek juga lain dari tukang masak yang lainnya. Bahkan
tak akan ditemui pada “master chef” sekalipun hehehehe.
Yah,
selain menyiapkan bumbu-bumbu komplit hasil racikannya sendiri, nenek
juga menyiapkan “jampi-jampi”. Eits! Jangan su’uzon dulu. Jampi-jampi
nenek bukanlah sejenis sihir atau pelet agar rendangnya laku. Nenek
hanya membacakan doa-doa yang di ambil dari Al-qur’an. Mungkin dalam
doanya nenek meminta keberkahan.
Ritual menghidangkan Uda makan tak
pernah hilang. Meskipun tak selamanya ada rendang. Hal itu tetap terjadi
saat restoran kami terbakar hingga ekonomi keluarga mengalami pailit.
Disusul tak lama kemudian Abak meninggal dunia Akan tetapi berkat
kesabaran dan ketekunan Uda jugalah perlahan-lahan ekonomi keluarga kami
terangkat naik kembali, sehingga semua adik-adiknya termasuk saya,
bisa berkuliah ke Pulau Jawa.
Yah, meminjam filsafah rendang
yang butuh kesabaran dalam menggodok rendang hingga berjam-jam agar
hasilnya sempurna, Uda juga melalui proses yang tidak sebentar untuk
mencapai sukses hingga berhasil mendirikan perusahaan sendiri. Jauh
sebelum Uda berhasil, beliau pernah merasakan ejekan sanak saudara
ketika mengangggur begitu tamat dari kuliah. Dibilang “sarjana pak ogah”
lah, atau “buat apa jadi sarjana kalau akhirnya gak bisa kaya?”dan
ejekan-ejekan lainnya.
Kesabaran Uda kembali diuji ketika
mendapati beasiswanya dibatalkan. Rupanya selidik punya selidik ada
permainan uang dari perwakilan lembaga yang memberi Uda beasiswa. Namun
usaha dan kerja keras Uda akhirnya terbayar juga. Beliau kembali
mendapat bea siswa untuk sekolah ke luar negeri di bidang Manajemen
Bisnis. Lagi-lagi Uda tak ingin berpindah rasa dengan meminta dikirimin
rendang meskipun telah mencicip aneka kuliner luar negeri.
Dilemanya
ketika Uda tak mau berpantang makanan berlemak dan bersantan terutama
rendang. Padahal dokter telah mewanti-wanti saat Uda divonis terkena
kanker hati. Memang selama ini kesukaan Uda pada rendang dan masakan
Padang tak diimbangi dengan pola hidup sehat yaitu olahraga dan
makan-makanan berserat. Uda memang anti makan sayuran. Tak dinyana,
akhirnya perjalanan ‘si rendang’ untuk terus menemani Uda Wan sahabat
sejatinya harus berakhir. Setelah dua tahun menjalani pengobatan Uda
pun tak bisa bertahan Tepat di bulan kelahirannya Uda Wan pergi untuk
selama-lamanya. Namun Uda Wan dan rendang akan terus hidup di tengah
keluarga kami.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung ke blog BaW. Mohon kritik dan komentar yang membangun untuk setiap postingan ;)