Monday, July 22, 2013

Cerpen: Kolak Istimewa


Penulis: Lia Herliana            

Ramadan hari ketiga. Hani masih libur. Sore itu, ia mulai merasakan lemas karena haus dan lapar. Rasanya, jadi malas bergerak. Setelah shlalat Ashar, Hani tidur-tiduran di sofa.
            Ibu menghampiri dan menepuk pundak Hani. “Biar semangat, kita bikin kolak istimewa, yuk!” ajak Ibu sambil tersenyum.
            “Kolak istimewa? Kolak apa, Bu? Apa istimewanya?” cecar Hani penasaran.
            “Ada, deh. Makanya, yuk, bantu Ibu!” sahut Ibu sambil berjalan ke dapur. Di meja dapur, sudah ada sebungkus singkong, kolang kaling, dan satu sisir pisang kepok. Juga, sebungkus kelapa parut, dan sekantung gula merah.
Kening Hani berkerut. Ia bingung. Apanya yang istimewa? Bukankah itu semua bahan-bahan untuk membuat kolak pisang? Tapi, Ibu cuma tersenyum jenaka, saat Hani lagi-lagi bertanya penasaran.
Ibu dan Hani mulai mengolah aneka bahan itu. Hani membantu mengupas dan memotong-motong pisang. Juga, mencuci singkong dan kolang kaling. Lalu, semuanya dididihkan bersama santan dan gula merah. Tak lupa, Ibu menambahkan beberapa lembar daun pandan, untuk menambah aroma.
Beberapa saat kemudian, harumnya pandan menguar. “Hhmm… wanginya!” kata Hani sambil mengendus-endus. Terbayang sudah, rasa kolak yang lezat dan mantap. Perut Hani jadi tambah keroncongan, hehehe.
Tapi, ini kan kolak biasa? Seingat Hani, tak ada bahan yang istimewa di dalamnya. Cara membuatnya, sepertinya juga tidak luar biasa. Terus, apanya dong yang bikin istimewa?
“Hani, segera mandi, ya. Setelah itu, tolong antarkan kolak ini ke tetangga-tetangga,” pinta Ibu. Rupanya, Ibu telah membungkus kolak pisang itu dalam beberapa bungkusan plastik.
Sampai selesai mandi pun, Hani masih belum bisa menebak soal kolak istimewa itu. “Ah, jangan-jangan, Ibu hanya bercanda. Supaya aku penasaran, dan mau membantu Ibu di dapur,”  batinnya.
Hani lalu mulai mengantarkan bungkusan kolak ‘istimewa’ itu. Pertama, ke rumah Pak Danu, tetangga sebelah kanan rumah. “Wah, alhamdulillah… Terima kasih banyak, ya!” kata Pak Danu dengan senyum lebar. Hani ikut tersenyum.
Kemudian, Hani beranjak ke rumah Bu Atik, tetangga sebelah kiri. Aisha, anak Bu Atik yang masih kecil, melonjak-lonjak senang. “Yeeei, asyiik, kolaaak! Aku suka sekali kolak, Mbak Hani!” serunya.
Bu Atik tersenyum. “Sampaikan terima kasih pada ibumu, ya. Baru saja saya mau ke luar membeli kolak. Eeh, kok ya ada yang mengantarkan kolak,” kata Bu Atik. Hani tersenyum lebar.
Lalu, Hani menuju rumah Mbah Rob. Nenek itu menyambut pemberian Hani dengan doa. “Terima kasih banyak, ya, Nduk. Semoga keluargamu selalu diberikan kesehatan dan rezeki yang banyak,” begitu doa tulus Mbah Rob. Hani mengaminkan dengan khusyuk.
Ya, Mbah Rob merasa sangat senang dan terbantu dengan kiriman kolak itu.  Memang, kehidupan Mbah Rob serba kekurangan. Jadi, walaupun hanya sebungkus kolak, sangat berarti buat Mbah Rob.
Selanjutnya, bungkusan kolak diantarkan ke rumah Bu War. Setelah mengucap salam dua kali, belum terdengar ada yang menjawab. Hani mengucap salam sekali lagi, kali ini lebih nyaring.
“Hani, ya? Masuk Han, pintunya enggak dikunci!” terdengar suara Bu War dari dalam rumah. Pelan, Hani membuka pintu dan masuk ke dalam.
“Ke sini, Han. Bu War di kamar depan,” panggil Bu War. Hani menyibak gorden di pintu kamar. Lalu, ia melihat Bu War sedang terbaring di tempat tidur. Ada beberapa buah koyo menempel di kening dan lehernya.
“Bu War sakit?” tanya Hani.
Bu War mengangguk. “Iya, mungkin masuk angin. Seharian ini, Bu War cuma tiduran.”
“Pak War ke mana?” tanya Hani lagi. Bu War menjelaskan, Pak War sedang ke luar kota, dan baru pulang malam nanti.
Hani mengacungkan bungkusan kolaknya. “Ini Hani bawa kolak, Bu. Hani bantu tuang ke mangkuk, ya?”
Bu War mengangguk. Wajah pucatnya terlihat berseri-seri. “Waah, kebetulan sekali! Bu War belum sempat menyiapkan makanan buat berbuka nanti. Alhamdulillah, dapat kiriman kolak!”
Hani ikut senang, melihat wajah Bu War yang berbinar. Sambil tersenyum-senyum, ia mengambil mangkuk di dapur Bu War. Dituangnya kolak ke mangkuk, lalu diletakkannya di meja kecil dekat tempat tidur.
“Ada lagi yang bisa Hani bantu, Bu?” tanya Hani.
Bu War menggeleng. “Sudah cukup, Hani sayang. Bu War sudah merasa enakan, kok. Apalagi kalau sudah berbuka dengan kolak dari Hani nanti,” jawab Bu War. Hani mengangguk senang. Ia segera pamit pulang.
Sepanjang jalan ke rumah, Hani menandak-nandak gembira. Rasanya, ia ingin bernyanyi-nyanyi. Lupa sudah akan lapar dan dahaganya. Senyum bahagia para tetangga tadi, seakan mengisi hati dan pikiran Hani.
Hmm. Sebungkus kolak biasa, ternyata bisa membahagiakan orang begitu, ya! Tak pernah terpikir oleh Hani. Dan yang lebih hebatnya, ternyata bisa memberi dan membuat orang lain senang itu, rasanya luar biasa! Hati jadi ikut bahagia, melihat orang lain gembira menerimanya.
Di depan rumah, tiba-tiba, Hani menjentikkan jarinya. Ia buru-buru masuk. “Ibuu, Hani sudah tahu apa istimewanya kolak itu!” serunya riang.
Kolak itu, kolak pembawa bahagia.

2 comments:

Terima kasih telah berkunjung ke blog BaW. Mohon kritik dan komentar yang membangun untuk setiap postingan ;)